Kumpulan Puisi Tok tok Ugai oleh Sabahuddin Senin
oleh Sabahuddin Senin
Last
editing 27 April 2016 12:58 PM
Lampiran:
Tok
tok Ugai (Mengajat budak-budak)*
Tok
tok ugai
ugai
si duyung duyung
mana
ambok ba ugai
atas
kepala duyung.
Umpu
umpu bulan
natuk
ke tailand
minjam
kupedang
pa
natak buku bulu.
Kanapa
buku bulu
titian
ke seberang
kenapa
ke seberang
menangkap
ayam tukong.
Kanapa
ayam tukong
kan
ubat dayang pingai.
kanapa
dayang pingai
terhantuk
bibir perahu
di
mana ta antoknya
ditundun
sua-sua
berapa
banyak darahnya
saipang
ngarah-ngarah.
Unja-unja
papan
papan
tak ngiu-ngiu
nenekmu
lambat datang
membawa
salai hiu.
Unja-unja
papan
belapik
daun bulu
lakinya
dua lapan
binimu
dua pulu.
Sikiang
angkang-angkang 2X
pianai merah mata.
Bit-bit
uting
uting
tak ngiak-ngiak
siapa
kepedasan
naik
di rumah tinggi
rumah
siapa
rumah
pianai merah mata.
Ngiak-ngiak-ngiak.
Kota
Kinabalu
28 November 2013
1.
Mesapol
manis
madu di hujung lidah
bertakiding
di hutan harimau berjuntai.
memetik
lambiding, pakis,
sayur
bunggar, sayur saya baguna.
Kampung
lama padi huma
pohon
getah dan rumpun bamboo
hutan
pelanduk kosong menyepi.
Mesapol,
sekali menyebutmu
kukenangkan
cerita Karuhai
kasih
ma lebih dari Kinabalu
sekali
ia memberi perintah
tiada
dua kali kata berulang
Karuhai
berlari sepintas waktu.
Mesapol,
di situ kau dilahirkan
meskipun
kampung lama tinggal nama
Mengapa
mengatap segunung daun?
Kata
mama sambil matanya meredup
“Kasihan,
Karuhai mati tertimbus.”
Sungai
Lakutan kusimpul arusmu mengalir lesu.
Kampung
lama
Mesapol
March 2008
2.
Nenek
Kutatap bola matamu
menafsir
gerak dan kerdip
menghimpun
cerita belum selesai
malam
menghamparkan isi hatinya
pada
malam Ramadan al Mubarak
pada
malam kemerdekaan.
Aku
puas hanya menatapmu
mengunyah
dan melayani selera
nasihatmu
mengalir dalam urat nadi
kami,
penerus nafas dan mimpimu.
Kalau
bunga, kau bunga raya merah
yang
tumbuh di tanah tradisi
rumahmu
tak ada perhiasan
berandamu
luas tanah di jelapang
kini
cucumu punya cermin
semakin
menyukainya pula.
Ketika
kau mencium dahiku
kubalas
dakapan sepenuh purnama
pada
itikaf Ramadan al Mubarak
pada
hari kemerdekaan
kau
selalu menyatakan kasihmu.
Kota
Kinabalu/Kuala Lumpur
1
September 2010
3.Titian
Kudatangi kau ketika siangmu merekah
katamu
mengapa berangkat terlalu cepat
sebelum
bermalam menjamah mimpi
kita
keburu meraih dunia datang bergolek.
Sila
minum hidangan ala kadarnya
lalu
kau pun baru teringat persaudaraan
yang
ditinggalkan dalam semak belukar
seakan
sirna pada malam bertaburan bintang.
Kalau
kau menaruh curiga pada sebuah kasih
bagaimana
mungkin aku dapat mendekatimu
kita
telah ke sasar pada senja yang menunggu
lembut
kata manis dan seri wajah yang mekar
menghakis
cuka-cuka hati masa silam.
Haruskah
kita menjadi gusar dan menjauh
memang
kita tak kenal dan jauh di lubuk hati
ada
pematang yang menjadi titian antara kita
supaya kenal dan bisa mengucap salam.
Mesapol
Sipitang
1
September 2010
4.
Jembatan Lama
Jembatan lama
jalan
ke kampung
kebun
buah di liku sungai.
Sungai
Lakutan mengikis
tanah
tebing jembatan lama.
Dalam
mimpi semalam
pohon
cempedak
pohon
bambangan
getah
tua
buah
terap
rumpun
bambu
hanyut
dibawa banjir ke kuala
bukit
Mesapol
Jembatan
lama
kerongsang
masa silam.
Kampung
Lama
Mesapol
9
Jun 2010
5.
Dagang
Seperti pada keramaian siang
sekilas
pandang, tanpa menyapa
berlalu
pergi
katamu,
aku dagang di tanah sendiri.
Ketika
bertemu
laut
di waktu pagi tak beriak
tapi
pada sepasang mata
ada
dendam yang menelur
dan
berendam di situ.
Mesapol,
tak ingin kulepaskan
biar kujabat tanganmu!
Mesapol
8 Jun 2010
6.
Hujan Angin
Berkali kubisikkan ke telingamu
suara
hati meletus pada
ranting
kering dalam berkas api.
Malam
itu badai pun bingkas
atap
rumahmu terbang dibawa angin
lalu
hujan pun turun.
Aku
menyemak kata dan langkah
tentang
moyangku yang perkasa.
Kuseru
nama-Mu
pada
batu-batu kenangan
yang mendarahi sebuah doa.
Honiara
7
Jun 2010
7.
Dodoi
Nyanyi mama mendodoi Mesapol
tidurlah
sayang dalam koyotan
hentikan
tangismu usah bersedih
mama
nyanyikan lagu untukmu.
Angin menderu pohon jatuh
menimpah batu
hatiku bimbang orang jauh
lagi dikenang.
Entah
ratusan kali kudengar
nyanyi
ma mendayu dalam mimpi
mendodoiku
seperti hujan petang
menidurku
sampai jauh malam.
Kuingat
cerita-cerita mama
sambil
duduk mengurut kaki
cerita
Batu Belah Bertangkup
si
Karuhai* anak sayangkan ibu.
Dalam
kamar di malam berkeringat
kami
duduk berdua musim kemarau
mama
mulai bercerita dengan tertib
kutatap
seperti mama menatapku.
Angin menderu dahan jatuh
menimpa batu
hatiku bimbang orang jauh
lagi dikenang.
Kuceritakan
kepadamu, wahai sayang
rambut
nenek yang hitam berkilat
matanya
menyimpul kasih selautan
senyumnya
merangkum benua.
Kini
sayat usia mencuri jauh ke dinihari
langkahnya
melemah menitih jembatan
kabus
berendam di pinggir mata
hatinya
masih seperti umbut kelapa.
Angin menderu dahan jatuh
menimpa batu
hatiku bimbang orang jauh
lagi dikenang.
Sekalipun
Mesapol sudah berubah
tapi
matahari masih ramah
kau
tetap tak berubah masih
mama yang suka mengucup dahiku.
Mesapol
Sipitang
10
May 2010
*Karuhai, cerita tentang anak yang gagah perkasa sangat sayang pada ibunya. Suatu hari ibunya menyuruh Karuhai mengatap rumah. Dia pulang dengan membawa gumpalan daunan terlalu banyak. Ketika ia membuka akar ikatan tertimbus Karuhai, menemui ajalnya.
Apa ada pada sebuah harapan
salam
yang terhimpun
dalam
doa makbul musafir
merah
tanah tergenggam.
Apa
ada pada sebuah fikiran
kalau
setiap orang diam
setiap
kata hanya getaran
pada
cuping telinga anak.
Apa
ada pada sebuah tanah
kalau
nanti terhakis ke laut
tapaknya
yang tergenang air
rimbanya
sunyi tak bercerita.
Apa
ada pada sebuah ingatan
tradisi
segumpal terus tertimbus
kau
pun cepat menjadi pelupa
mereka
pula tak ingin bertanya.
Apa
ada pada sebuah wajah
kerat-kerat
pada pohon getah
lereng
bukit yang dirintis
mimpi
kesiangan yang terputus.
Apa
ada pada sebuah kata
penghibur
sebuah duka
menjadi
baris-baris puisi
membuat
kau gundah.
Apa
ada pada sebuah doa
kalau
tak dinafaskan
dalam
solat dan tahajud
pada
malam tasyakur.
Noumea
September
2004
9.
Rumah
Rumah Lama
Pohon
cempedak di atas bukit
telah
tumbang disambar petir
rebah
menjadi batang mati.
Jalan-jalan
perkebunan getah tua
telah
lama tak dikunjungi penoreh
menjadi
semak-belukar yang sepi.
Pernah
duduk di serambi rumah
melihat
sekumpulan monyet
bergayutan
dari pohon ke pohon.
Burung
merak terbang menjauh
dari
penggetah burung
yang
masih berpendam rasa.
Ketika
banjir besar datang
memukul
tebing runtuh
sampai
ke pokok bambangan.
Jembatan
bambu hanyut
tenggelam
sampai ke lutut
biawak
riuh di jelapang.
Tanah
sebidang itu ranjang tidur
yang
memanggilmu sekalipun
beberapa
musim telah kautinggalkan.
Rumah
lama di pinggir paya
pohon
bambu yang merimbun
masih menunggumu datang.
Kampung
lama
Mesapol
25
April 2010
10. Sungai Lakutan
Sungai Lakutan,
liku-likumu
kain selendang sutera mengelus
arusmu
ketenangan Kinabalu selepas subuh.
Sungai
Lakutan,
kupanggil
namamu pada rembulan
kuusap
dadamu kerana aku terlalu rindu.
Sungai
Lakutan,
kudengar
patah ranting tebing yang runtuh
langsir
malam yang mengusik.
Sungai
Lakutan,
kuanyam
dukalaraku pada riak-riakmu
telah
kulepaskan mimpi terhiris pada langit biru.
Sungai
Lakutan,
kekasih
yang bersimpuh
matahari
yang tersirah.
Mesapol
Sipitang
3
Mei 2010
11.Tamu
Kedai
lama dua sederet
pasar
tamu selera sekampung
buah
salak kesukaan mama
kelupis
mengubit rindu.
Tiap
tamu ia pasti turun
bergonceng
basikal
minum
kopi seusai berbual
ke
kedai hujung bertanya surat.
Pada
tamu yang datang
penumpang yang turun
atau
orang jauh singgah
ia
masih terus berharap.
Mata
tuanya rimbunan hijau
senyum
bersongkok hitam
foto
kelabu melekat pada album
sudah
kulihat belum ketemu.
Senja
yang merangkak
malam
yang sarat
ia
masih terus menunggu
kata-katanya
menjadi genap.
Dulu
ia seorang ayah kepada
anak
seorang perempuan
di
malam gundah itu
selamat
tinggal Mesapol.
Kini
puluhan musim buah berlalu
ia
pun tak menunggu atau bertanya
jambatan
gantung sungai Mesapol
mengalir
tenang ke laut lepas.
Mesapol
Sipitang
3
Mei 2010
12.
Mimpi Pohon Cemara
Padi
huma di lereng bukit
tinggal
kisah menjadi debu
kenangan
dalam lipatan
di
pinggir sungai tunggul durian
reput
dalam air payah.
Kampung
lama telah bertukar wajah.
Di
musim banjir,
kolam
ikan talapia digenangi air.
Dari
pohon tinggi menghadang ke laut.
lama
sudah si helang menghilang.
Ketenanganmu
beriak ke tebing
mengelus
mimpi pohon cemara!
Honiara
29
Oktober 2010
13.
Aku Mengusikmu
Mesapol,
kau tetap ramah sekalipun kau tak ingin bicara
aku
megenangmu sepanjang musim sampai ke hati tamyiz
mengapa
sebak terluka kerana kasihmu ikut bermusim
biarkan
takiding silam tersangkut pada dahan malam.
Mesapol,
aku masih rindu padamu, air mengalir keruh
pelanduk
sudah menghilang di kaki bukit rimba musa
pemburu
gundah kerana telah lama tak berburu
jerat
dipasang tak dikunjung, ditinggal-tinggalkan.
Mesapol,
kita tak ketemu tapi masih bersaudara
aku
datang tanpa khabar, jalan sudah
bertukar warna
lenggang
jembatanmu pernah menemukan sepasang
hati
sungai
Lakutan mengalir jauh membawa cerita ke laut.
Mesapol,
tak mungkin kau dapat dilupakan
aku
tak akan berpura asing di tanah leluhur
pakis
dan batang nibung masih tumbuh meliar
rumah
lama di situ, cempedak masih berbuah.
Mesapol,
getah tua tumbang satu demi satu
dingin
pagi, bau peluh dan gemerisik rumput
patah
ranting terpijak, jalan kecil di lereng
bukit
bercerita
dalam angan dan mimpi yang menjauh.
Mesapol,
baumu merangsang rindu si burung punai
pelanduk
yang mengucil kini pulang ke rimbanya
sayang,
kalau kau belum mendengar cerita Karuhai
mari,
aku akan bercerita supaya kau suka mendengar.
Kuala
Lumpur
April
2011
14.
Sapa Dan Salam
Dari
pagi nenek menatap rumpun bambu
Sekilas
pada pohon cempedak, limau kapas
Salam
pada langit biru kerana mengusir jauh
awan
mendung ke pedalaman siang yang damai.
Menari
nafas panjang mengendur perlahan
mata
nenek pada pepohonan hijau sekitar
jalan
ke bukit, semak-semak pohon getah
alam
merelakan nenek sibuk berdandan,
menghias
halaman.rumah lama di lereng bukit.
Burung
punai bertenggeklah di ranting pohon
biar nanti tamu nenek puas bisa melihat.
monyet
bergayutan dari pohon ke pohon
di
sini lama tak ada pemburu bersenapang.
Bau
hutan di waktu pagi, menyenangkan
usah
bersedih pohon bambangan kalau kau
tak
berbuah, nenek maafkan, asal esok berbuah
“Wah,
rumpun bambu, kau masih sihat dan subur,
sayur
rebung gulai santan.” Lintas fikir nenek.
Matahari
tersenyum mengenyit mata pada nenek
di
anak tangga nenek berdiri puas, katanya perlahan.
Alhamdulillah
sambil mendongak ke langit.
ketika
angin diam-diam melintas,
mengusik tin-tin kosong
mencipta
keramaian, kesunyian pada nenek terhibur
sepi
lebur dalam danau sekilas.
Kini
masa berangkat ke bukit,
biar
awal menunggu dari ditunggu
di
bawah pohon cempedak nenek tua menanti
matanya
memandang bukit menunggu tamu tiba.
Rasa
sabarnya telah kebal, alampun mengenal
sejenak
ia melihat ke arah rumah lama di kaki bukit
semuanya
siap berdandan dan berhias,
tinggalmenunggu tamu tiba.
Nenek
duduk, berdiri, berjalan, matahari pun kasihan,
sambil
menulis-nulis di tanah pasir
dengan
ranting kayu kering
huruf-huruf
abjad, cuba-cuba menulis namanya.
Tamu
masih belum datang,
sabar
kata angin melintas nanti kubawa khabar
embun
telah lama kering matahari duduk
di
pundak nenek mengulang kata
ia
tak mungkir janji, ia tak mungkir janji,
nenek
menuruni jalan pulang.
sunyi
terusik sesekali tin-tin kosong bergegar
Ketika
angin bukit mencela dari jauh
Sabar
kalian, tamu nenek pasti datang,
Bunyi
kereta menaiki bukit mendekat
Perlahan,
mencari-cari pohon cempadak,
Tempat
berhenti di atas bukit sebelum turun.
Sebentar
nanti alam sendiri menjadi saksi,
Sepi
masih hinggap pada wajah nenek tua.
“Nenek,
nenek, nenek...” suara itu mendekat
Nenek
bangkit membalas panggilan cucunya
“Nenek
fikir kau tak datang ti.” Wajah nenek
Seperti
matahari pagi yang lembut dan ramah.
Kegirangan
nenek dan hutan getah tua turut
Gembira
menyambut kedatangan cucu dari kota
Perjalanan
berdebu panjang dan melelahkan
Tapi,
hadiah perjalanan ini bertemu dengan nenek
Kerinduan
terubat dan penantian kasih sempurna.
Pada
cucu melihat hutan nenek berdandan
Aroma
udara hutan dan keramaian pagi indah
Di
langit biru bersih tak ada tanda-tanda hujan
Hutan
nenek tua hidup penuh dengan kehijauan.
Alam
pun meramaikan.mereka berpelukan.
Tadi
ketika cucu nenek ke rumah lama,
Coret-coret
nenek dengan ranting kayu
Masih
di situ dekat pohon cempedak.
Kota
Kinabalu
6
April 2011
15. Hidangan Kasih
Lama
kita tak ketemu dan bersalam
Nasi
dihidang kita makan bersama
Siang
berkeringat, tanahmu ramah
Pada
bekas jalanan di lereng bukit
Kau
menerima dan menjamu tamu.
Di
sini katanya orang selalu bermimpi
Kalau
tidak hatinya disayat-sayat.
Tiada
jawaban sekalipun langit biru
Senyum
mekar dari pohon kemboja.
Maaf,
kata orang jauh malam ini kami pulang
Nanti
datang lagi mendengar cerita dari lidahmu
Datanglah
ke rumah lama kerana ia ingat riamu
pohon
bambangan dan nyanyi pohon bambu.
Mesapol
12
April 2011
16.
Nenek Menghilang
April,
2011.
Ke
mana nenek tak ada khabar
berapa
kali ia telah dipanggil pulang
semak
jalan ke sana masih begitu
hutan
bambu mengenalnya baik
Siti
payung, nenek menggelarnya,
berkirim
pesan pulang cepat.
Air
paya jalan melintas kampung lama
hingga
pohon Bambangan, halamanmu
tiap
hari pohon getah di bukit bertanya
rindu
dendam sentuhan pisau nenek
di
jalan lereng ke bukit, lurah curam.
Keringat
nenek menitis di sepanjang
jalan
pulang terdengar nenek mengomel
sendiri
pokok cempedak, rumpun bambu,
limau
kapas biasa dengan telatah nenek
tukaran
musim panas semakin menembus
liang
hati kampung lama sungai Lakutan.
Hutan
getah biasa nenek mencatuk
suara,
denyut nafas nenek pendek
omelan
di awal pagi kini telah tiada
semua
di hutan getah tua kehilangan
nenek
yang pergi tanpa mengucap salam
kerinduan
pada yang ditinggalkan.
Di
suatu pagi cerah, angin bukit pergi
merayau-rayau
mencari nenek tua
bertanya
khabar dan berkirim pesan
ke rumah lama di lereng bukit Mesapol
kalau
ketemu, katakan pada nenek yang,
warga
emas, datang ke Pejabat Daerah.
Kota
Kinabalu
13
April 2011
17.
Ma
Bendul
waktu telah jauh surut ke tengah laut
matahari
mencair di horizon senja aku termangu
telah
lama lenggang-lenggok air mengalir
pohon
cemara di danau rembulan masih di situ
kuhimpun
sejuta bintang gemerlapan di langitmu
malam
berlalu membawa mimpi gerun dan hiba
masih
terucap cinta dari hening air matamu
kuhimpun
kata teranyam dari taman doa samawi
kalau
ada mengusik ketenangan lautan fikir
bebayang
semakin panjang di sini belum tersingkap
langit
biru dan membasuh debu di kedua kakimu.
Kota
Kinabalu
8
Mei 2011
18. Nyanyi
Nenek
Nenek
berpesan,
“Tak
apalah,
dari
dulu nenek sendiri.
Dodoi
anak, tidurlah,
malam
telah jauh.
Hujan
telah berhenti.”
Balas
anak,
'Ma,
lihat kami sekarang,
bergelang
emas dan bertanah.
Anak-anak
dah besar ke universiti.
Aduh,
Ma, kenapa berbaju lusuh
di
majlis perkahwinan.'
Cucu-cucu
bernyanyi korus,
“Untuk
mama dan ayah,
kami
lengkapkan,
dijauhkan
kemiskinan
dipohon
derajat dan mewah.
Buat
nenek, bukan kami.'
Maaf
nak, cu, nenek makan bersepah,
berbaju
lusuh, jarang mandi,
berselipar
getah. Untunglah kamu.
“Tak
apalah,
dari
dulu nenek sendiri.
Dodoi
anak, tidurlah,
malam
telah jauh.
Hujan
telah berhenti.”
Canberra
5
Jun 2011
19.
Atok
Atok,
tubuhmu seperti akar tunjang
menjunam
ke dalam sukmaku.
Kau
adalah pepohonan rending
tumbuh
seribu tahun dalam ingatan
daunmu
lebar jadi tempatku berteduh
ketika
loceng rehat berbunyi,
kau
menungguku datang.
Ketika
aku rindu
melihat
langit malam
senyummu
terpahat pada
bintang-bintang
gemerlapan
Atok,
kau datang dalam mimpi
bulan
kunyit cempaka.
Canberra
30
Mei 2011
*20.
Nenek Pulang Kampung
Kerisik
kaki nenek tua menuruni jalan bukit
langit
menitis doa, tabik burung terbang melintas
wajahnya
tersenyum lagi, salam pada pohon getah,
nenek
pulang kampung, sabar alam menunggu.
“Assalamualaikum,”
kata nenek membuka pintu
air
masih dalam tempayan, minyak kerosen di penjuru
nenek
pulang kampung, sekarang bukan musim buah
langit
malam masih mengirim mimpi.
Air
melimpah, hujan turun sebagai kekasih
kerinduan
bukit dan lambaian pohon bamboo
air
paya bergenang sampai ke pinggang
gelegar
jambatan bambu telah hanyut
tapi
nenek pulang kampung, hatinya puas.
Tanah
sejengkal, satu musim buah berlalu
ia terpegun
cengkerama orang kota
selama
itu tidurnya tak pernah mekar bunga
kini
nenek pulang kampung, tumis pakis ikan kering
semalam
hujan lagi, rahmat tujuh tempayan penuh.
Canberra
11
Jun 2011
21.
Nota Kaki Dari Nenek
Ketika
melangkah pulang
nenek
memandang sekilas, Mesapol.
Degup
nafasmu masih segar
segala
pesanmu sampai
segala
beritamu telah dibaca.
Mesapol,
genggamanku semakin kendur
pelukanku
semakin lemah dibawa arus menjauh
datangmu
tanpa paluan kompang
pergimu
tanpa selamat jalan
Mesapol,
mimpiku kesiangan
telah
kucuba, segalanya hanyut ke muara.
Cintamu,
Mesapol masih jelapang hijau
dendammu
telah jadi hakisan runtuh ke laut lepas.
Honiara
20
September 2011
22. Puisi
Buat Ma
Ada
masih yang belum terbuat
melihat
matamu kendur
gelombang
nafasmu.
langkahmu
semakin terbatas
perlahan
dan lemah.
Bagai
air menitis
selepas
hujan
membuat
riak dan
bunyi
sesaat jarak.
Kau
semakin perasa
pada
dunia sekitarmu.
Aku
ingin melihatmu
makan
berselera
berbual
dan mengusik.
Kenangan
pun semakin
rapuh
dan menjauh.
Dalam
bola matamu
yang
redup dan kabur
kau
menatap sekilas
klik,
lalu berlalu
terasa
ada yang masih
belum
terbuat.
Canberra
7
Mei 2012
23. Aku
Dan Ma
Suatu
siang aku melihat cermin diri
ada
paruh di dahi dan kepala seperti keratin
di
sebuah pohon di tepi jalan.
Seruling
malam mendayu aku mencari,
kepastian
memahami degup jantungnya
seperti
anak kecil menemukan sesuatu
di
halaman laut. Lalu bercerita sendiri.
Aku
beryanyi kecil lagu dari
masa
lalu. Laut pasang mengirim khazanah
rumpaian
laut lambang kasih yang sampai.
Ya,
burung helang di pohon tinggi di atas bukit
melebarkan
kepaknya di langit perkasa.Turun
mengenapkan
kasihnya pada laut.
Di
tepi laut senja aku berdiri memandang
laut,
mengagih sebuah harapan. Sepasang mata
menatap
dan perlahan berpaling dari kanan
ke
kiri. Degup jantungnya menabur gendang siang.
"Ya
Allah, kirimkan kepadaku, kasih-Mu."
Seperti
memasang lampu selepas hujan
kunang-kunang
di malam remang.
Pengorbanan
memang diagihkan.Lalu aku mencium
syurga
pada kembang bunga ros dalam kalbu ma.
Canberra
8
Mei 2012
24. Lagu
Ma dan Kucing
Ma
berjalan mundar-mandir
sekejap
pandangannya melihat ke luar jalan
menyelusuri
pagar, melihat ke bawah ranjang
ke
pinggan nasi di penjuru. Ia tiada.
Ma
menaiki tangga memanggil namanya
(kepada
dirinya) tak pernah ia berpergian
hujan
telah berhenti. Anak-anak sekolah telah
lama
pulang. Jalan kembali sunyi dan sepi.
Kenderaan
telah lama parker di pinggir jalan.
Ma
lalu di kamar Dahlia malam itu
ia
sudah lama di dalam kamarnya
malam
turun sekerat-sekerat. Pintu
kamar
di tingkat bawah segaja dibuka
kekasih
ma belum pulang. Ia menunggu.
Mata
ma setengah terpejam. Suara muezzin
masjid
memanggil jemaah. Dengkurnya kendur
ma
berbicara sendiri. Rasa menyesal berbaur
rindu.
Mata ma masih melihat ke penjuru. Senyap.
Bagai
lagu laut dan ombak
memulangkan
angin rindu
rahsia
suatu malam telah terjawab
senyum
merekah, mata ma bercahaya.
Ia
melangkah masuk dan mengelus
kaki
ma, lembut dan manja.
Canberra
8
Mei 2012
*25********1
26.
********2
27.
Sedikit Nasihat Ma
Berkata
biar indah
salam
bermuka manis
doa
dipanjangkan.
belajar
biar rajin
membaca
sampai tamat
kembara
melangkau bumi.
sabar
biar berlanjut
tangan
member
hidup
sederhana.
cinta
biar sejagat
benci
pada yang dosa
berdendam
jangan sekali.
berjuang
biar maju
berpura-pura
pantang sekali
taat
bertunjang langit.
menegur
biar santun
makan
bersopan
mata
menunduk.
solat
biarkan sempurna
tahajud
secara dawwam
pengorbanan
amalan suci.
Canberra
21
Mei 2012
28.
Pa Dan Mu
Sendiri
berdiri
di tebing sungai
melihat
terapung hanyut
ke
kuala dan laut lepas.
Manis
madu
kasih
sayang yang
terhimpun
dan
mencium
pa harum
kembang
cempaka.
Langit
tergerak
hujan
menitis
doa
yang sarat.
Kepadamu
aku,
kau lihat
bukan
pada kata nama
tapi,
kata perbuatan.
Canberra
17
Jun 2012
29.*********3
30. Bual-bual
Ma Dan Aku
Ma,
sudah kupanggil berkali-kali
ternyata
ia tak membalas panggilan
telah
kuletakkan suara di peti suara
tapi
masih ia tak membalas. Aku masih
asing
di telinga ma.
Ma,
kau bilang aku punya ramai saudara
"Kau
bukan sendiri. Mereka orang besar
dan
dihormati. Perkenalkan dirimu,
kau
adalah anak ma, pertalian darah.
Ma,
Kakak mereka yang paling tua."
Sudah
ku bilang ma, tapi ia masih
belum
terbuka sukmanya untuk menerima.
Ia
orang penting. Orang berpengaruh
dan
ramai orang suka membuntutnya.
Ia
orang yang paling sibuk di muka
bumi
ini.
Ma,
sekarang aku selalu di tanah kita.
Pohon
bambu, cempedak dan bambangan
terlalu
rindu pada Ma, dan turunanmu.
Ketika
rimbamu tau aku lalu di situ
hutan
belukar di tanah Ma riuh rendah
kegembiraan
kerana mendapat khabar
aku
berada tak jauh dari tanah kita.
Ma,
lebih baik lupakan saja, kita telah
puas
mengenangkannya dalam impian
tetapi
dalam kenyataan ia telah menolak
Ma
dan aku. Persaudaraan darah seperti
tak
ada ertinya, hanya kalau saja kau
seorang
berada dan berkedudukan.
Ma,
kita tak mengharap atau tumpang
meraih
kejayaannya. Biarkan mereka
memanggilnya
orang berbangsa tapi
sebenarnya
ia orang yang tak berbudaya
tohor
dalam budi pekerti.
Ma,
kalau Karuhai masih hidup
apakah
ia sayang pada saudaranya.
Ma,
membalas, "Ya." sambil senyum.
Kota
Kinabalu
16
Januari 2013
32.
Pulang Karuhai
Mari
aku mulai supaya kau tau yang tersirat
aku
tak ingin kau gegabah menangkap firasat
meskipun
kakiku di lautan atau berpijak di-
pulau
tapi sukmaku masih membumi di sini.
Kau
tak melihat sekalipun aku dekat padamu.
Oh
kepulauan yang berhampuran di lautan
aku
pernah menitiskan air mata tiap satu
kalau
tidak keseluruhannya. Dan kasihku
bersayap
melewati sempadan jiwamu. Aku
tak
pernah menuntut kepada yang bukan hak.
Di
benuamu, dari masa silam kedamaian
pantaimu
memang pernah didatangi dalam
malam
kencana dan pertarungan. Di tanah
merah
dan pasir putih pernah pelautmu
kelelahan
dan berteduh. Dan pelautmu ini
pernah
menambat kasih dan rindumu di sini
Sekalipun
dirimu telah jadi debu tanah kau
tak
pernah dilupakan kerana di tanah asli
Aborigine
debu-debu dari masa silam ini
telah
menjadi pohon Eucalyptus ribuan tahun.
Di
tanah kelahiran aku pulang dengan bau
benua
dan bau lautan. Aku pulang bukan
bukan
pulang si Tanggang, derhaka. Pulang
Karuhai
ke pangkuanmu, ma. Yang ada pada
sukma
ini kasih dan cinta anak musafir.
Kota
Kinabalu
21
Januari 2013
32.
Seorang Ibu Seorang Nahkoda
Ada
seorang ibu hidup sendiri di kotaraya
ia
adalah perabut dari pilihannya sendiri
melihat
wajahnya pasti kau melihat wajah
sebuah
kota. Alis matanya, gincu bibirnya
dan
bedak dan minyak wangi yang disembur
tiap
pagi sebelum turun menaiki trem terus
ke
ibu kota.
Seorang
ibu seorang pekerja di kotaraya
ia
jauh dari desa impiannya, jauh dari
sanak-saudara.
Semua itu tak mengapa.
Kerana
ini adalah pilihannya, pilihan
yang
terbaik. Menyeberangi lautan
dan
mencuba nasib di buminya sendiri
sekalipun
terpisah dari gunung, udara
di
lembah, berunsai dan kulintangan.
Beberapa
kali sukmanya bagaikan terpukul
ingin
pulang. Keghairahan kota sudah luntur
dalam
hidupnya. Kini ia keseorangan,
nahkoda
yang melayari bahtera mereka
telah
berpulang. Tinggallah ibu muda ini
bergempur
dengan angin dan gelora
samudera
hidup.
Bukan
ia tak mencuba mencari nahkoda,
satu,
dua, tapi selalu tak kesampaian ke-
pelabuhan.
Ketika kematian mata angin
atau
ketika lautan bergelora, dirinya sendiri
nahkoda.
Adakalah ia berhanyut-hanyut,
melihat
kejuitaan alam raya di waktu malam.
Ingin
ia merangkul keindahan itu dalam
sukmanya.
Tapi ia tak sendiri.
Di
kotaraya ini ia adalah seorang ibu,
seorang
pekerja dan seorang nahkoda.
Ia
tak akan dikalahkan, sekalipun kabus
jerebu
ia tetap memandang ke depan
mengawasi
gerak langkahnya sekalipun
jerebu
menusuk-nusuk pada kedua
mata
dan mencekik rongga dadanya
ia
tetap seorang wanita, seorang ibu
sambil
berkata,"Ma akan membawamu
terbang
sekalipun sampai ke bintang suriya."
Memandang
kasih kepada anaknya
yang
tersenyum duduk di atas kereta roda.
Kota
Kinabalu
23
Januari 2013
33.
Dodoi, Tidurlah Anak
Tidurlah
sayang hari semakin malam
Kodok
di kolam masih memanggil hujan
langit
enggan menyahut panggilanmu
angin
lalu menghilang ke dalam hutan
gunung
menyepi sendiri, sedang lembah
di
hutan jati mulai berdekur. Rembulan
masih
bertahta, kelip-kelap tenggelam
timbul di tepi sungai.
Anak
comel, kau akan mewarisi hutan jati
laut
biru dan pulau-pulau batu permata
Melaju
perahumu melaju sampai ke simpang
mengayau.
Terbang burung kenari terbang sampai
ke
puncak Kinabalumu. Tidur sukmamu,
tidur,
esok ma bisikan khabar dari jauh.
Aku
melihat sebutir bintang gugur dari
cakerawala.Tapi
wajahmu tersenyum dan
bercahaya.
Kau mengucap salam dan berlalu.
Lalu
kau menjadi cahaya dari kecil,
membesar
dan lenyap.
Dalam
ketiduran, wajahmu kulihat
tenang,
setenang samudera di waktu malam.
Kota
Kinabalu
15
March 2013
34.
Rindu Tak Bertepi
Mesapol,
igauku cuba menyentuh bumbungmu
sukmaku
masih membumi di tanah leluhur
ada
suara merayau ke sasar sampai ke anak tangga.
Tanahmu
di Mesapol di kampung lama
atau
jalan ke Lubuk, biarkan lembiding
dan
Pakis tumbuh subur di halamanmu.
Pohon
bambu, aku merindukan suaramu
berdesir
dibawa angin bukit turun ke kali.
Pokok
Kabayau, kau cepat membesar
bersama
pokok manggis di tanah bukit.
Satu
hari nanti kupulang membawa ma.
Impianmu
tanah Mesapol adalah impianku.
Aku
tak mengharapkan apa-apa dari
kalian.
Langit dan bumi, keramaian
hutan
di halaman telah mencukupi.
Sampaikan
kepada telinga yang
belum
mendengar tentang ini.
Tanah
ini adalah
tanah
selamat. Terbanglah kalian,
di
sini ada langit biru lain dari yang
lain.
Aku
tak menghentikanmu ketika
kau
terbang dan berbual di udara atau
hinggap
di pohon-pohon.
Lebah
madu, musim hujan telah berlalu
bersaranglah
di pohon tinggi
di
tanah kasih sayang, Mesapolmu.
Kota
Kinabalu
18
March 2013
35.
Mak Tua Membersihkan Bilis
Tiap
petang Mak Tua seperti biasa
duduk
di atas lantai membuang
kepala
ikan bilis dan isi perut ikan.
Di
depannya masih selonggok bilis
di
atas surat khabar lama. Diam
dan
sabar, Mak Tua membersihkan
bilis
lalu masukkan ke dalam berkas.
Kepenatan
pada anak mata Mak Tua
tapi
kehidupan ini tak boleh patah
semangat,
berulang kali ia member
tahu
pada anak-anaknya. Kita mesti
berjuang.
Mak Tua jalan membongkok(kakak )
Sedikit
dan perlahan.
Tidurnya
sedikit. Ketika Mak Tua
merasa
terlalu penat, ia tertidur
sambil
tangan masih mengopak
bilis,
sesekali tersedar, melihat
sekeliling
dan memulai lagi.
Ia
meneruskan pekerjaan tanpa
mengira
rembulan telah jauh
di
langit malam. Atau kereta jiran
pulang
malam berhenti parkir.
Malam
beredar, Mak Tua belum tidur
Nasi
Lemak ini masih dibungkus daun
dan
kertas. Pekerja telah mulai turun.
Pelajar
jururawat di Country Height
bergegas
keperhentian bus.
Di
atas meja kedai makan ada tempahan
tapi
Nasi Lemak Mak Tua belum datang
hari
ini. Pelanggannya setia tetap beratur
menunggu
sabar Nasi Lemak Mak Tua.
Kota
Kinabalu
25
March 2013
36.
Urut Ma
Aku
memang sedar diri
matahari
telah condong dari paksi
tulang
belulang dan sendi-sendiku
telah
longgar dan sakit pun mulai
merata.
Kukira aku tak sepantas
seperti kuda semberani, ketika
menaiki tangga denyut jantung
seperti dikejar anjing jiran di
jalan masuk di kedai hujung.
Otot-otot ini menjadi kencang
tapi langkah ini pula semakin
perlahan dan kecil.
Walaupun
begitu aku masih
ada
semangat burung, tiap hari
aku
menerjah ke dalam siang
dan
sampai ke tempat tujuan
tanpa
bimbang dan takut.
Pertukaran
musim, sempadan
dan
lanskap tak sedikitpun
membuat
aku jera sendirian
di
perantauan. Sendirian
memanggilmu
ketika sakit
tak
tertahan.
Aku
pantang menyerah
ketika
kata putus telah dibuat
dengan
Bismillah
aku
melangkah siap pada
segala
kemungkinan
yang
tersembunyi atau
yang
lahir. Keberanian ini
adalah
kerana Tuhan Rahman
selalu
disamping dan para
malaikat
siap-siaga. Keselamatan
ini
adalah kerana aku yakin
hidup
mati dalam genggaman-Nya.
Ketika
aku berada dekat
padamu.
Aku tetap seorang puteramu
seperti
anak kecil aku merangkak
ingin
bermanja. Aduhai si anak,
tertiarap
di atas lantai, berdekur
sedang
ma mengurut otot-otot
kaki
yang pejal. Sekalipun tangan
tak
seberapa, aku rindu urutan mama.
Kota
Kinabalu
4
April 2013
37.
Salam Mak
Kau
telah siap mengemas-ngemas akan pulang
di
atas lantai empat ekor semut hitam membawa
serpihan
roti bergerak ke lubangnya.
Di
dalam kamar tercium baumu, lantai ini
kau
melelapkan mata. Jendela masih terbuka.
Suaramu
memberi perintah, seribu nasihat masih
bergema
dan menampal di dinding-dinding.
Kau
pernah berkata, "ketika kau berpergian, aku
terulit
rindu dan sunyi." Selama ini akulah tamu
yang
datang dan pergi. Tapi, hari ini, kau tamu
dan
musafir yang akan pergi.”
Sukmaku
bagai dinding dermaga yang dipukul
ombak
musim tengkujuh. Aku berdiri sendiri,
sedang
hujan turun, air bergenang, aku menatapmu
hingga
nokhta dan hilang di horizon.
Malam
akan tiba, tiap detik itu adalah
bayanganmu.
Di matamu ada rahsia.
Kau
tak pernah mengalah. Semangatmu
langit
siang berjuang, malam adalah bumi
bertahan.
Kunci
telah dipulangkan, amanat telah
disampaikan,
pintu itu telah terbuka dan
ma
mengucapkan salam.
Kota
Kinabalu
26
Mei 2013
38.
Ibu Tua Bulan Ramadan
Ramadan
Al Mubarak
Matahari
siang bergerak
dan
melontarkan salam.
Rembulan
kembang kenanga
malaikat
menemanimu
di
malam-malam tahajud.
Ada
seorang ibu tua
yang
tekun berhari-hari di bulan puasa
ia
duduk sepagian, kekadang sepetangan
atau
semalaman rimbun.
Mata
tuanya tekun
walaupun
benang dan jarum
ketika
terputus mengambil masa.
Ibu
tua menjahit baju baru
dengan
mesin tangan.
Kekadang
ia menggunakan
tangan
menjahit, duduk sendiri.
Ibu
tua mengira-gira
tangannya,
hari ini jatuh
hari
ke berapa
Ramadan
suci. Sesekali ia
berhenti
seperti ingin melihat
rumah
jirannya.
Ibu
tua nekad dan berdoa
beberapa
hari sebelum menjelang
pagi
raya yang ditunggu-tunggu
ia
dapat menyerahkan sepasang
baju
kurung corak pecah bunga biru
sepasang
baju melayu kepada
anak
jiran sebelah.
Setiap
jahitannya dilakukan
dengan
hati-hati dan kasih sayang
Ia
berdoa, semoga ia dapat
menyelesaikan
jahitan dan melihat
anak-anak
itu tersenyum dan gembira
di
pagi raya Ramadan Al Mubarak.
Kota
Kinabalu
19
Julai 2013
39.
Kelupis
Pada
suatu siang menawan
diparuh
kelapa dan diperah santan
bau
berbaur daun pandan
menipis
ke udara masuk ke
halaman
sukmamu.
Tiap
tindakan mengundang kesabaran
kusentuh kau dengan pengayuh, manis
bicara dan sopan dalam gerak.
Ketika
kau siap bagai pengantin akan
diijab
kabul. Kau disatukan ke dalam
kawah.
Lalu tangan-tangan kasih sayang
ini
membungkus dan melipatmu dengan
daun
nyirik dan siap untuk dikukus.
Lai,
aku kenal tanganmu
bertahanlah
pada tradisi
tak
akan kau lepaskan.
Kota
Kinabalu
3
September 2013
*
Kelupis, seperti lemang makanan terbuat dari nasi pulut dimasak dengan santan
dan dibungkus daun nyirik dan dikukus. Kelupis bagi suku kaum Kedayan dan
Jelurut bagi suku kaum Brunei.
40.
Ma Pulang
Kelihatan
dua ekor
Kuda
mengunyah
rumput
dalam
hujan.
Hujan
masih bertahta
senja
hanyut ke dalam
malam.
Mereka
telah tiba
di
penghujung jalan
ingin
pulang.
Pulanglah,
Di
sini sudah halamanmu.
Kota
Kinabalu
8
September 2013
41.
Nenek dan Bayi
Aku
melihat seorang nenek
mendokong
bayi
membawanya
masuk
ke
dalam kamar.
Nenek
tua berbual
Sendiri
bayi
berguling
ke
kiri dan kanan
menatap
mata
nenek
sedang
gusinya
belum
tumbuh gigi.
Suasana
tenang
pada
langit
tak
ada
kelihatan
noda
hitam
biru
bersih
nenek
tua
menyanyi.
Nenek
tua
memangku
bayi
baru
enam bulan
ingatannya
kembali
setengah
abad lalu
pernah
seorang bayi
lelaki
duduk
di ribanya.
Ditelitinya
raut
muka, rambut,
tangan
dan kaki
bayi
dalam pangkuan
lalu
tersenyum sendiri.
Kota
Kinabalu
14
November 2013
*42
Rimba Musa******4
*43*********5
44. Gak
Gak Cendawang
Gak
gak Cendawang
bukan
aku tak menyapamu
atau
melupakan wajah rembulan
suaramu
indah seperti gema air
mengalir
di celah-celah batu.
Sendiri.
Kaki melangkah dan
membiarkan
dirimu terbawa
hanyut
di kotaraya atau di desa
yang
hening.
Apa
kau katakan itu
adalah
artifak di sebuah pulau sepi.
Kata
dan kalimatmu seperti
tak
tahan melawan gelombang
tepat
di saat itu kau datang.
Unggu
warnamu
kerana
di situ
ada
ketulusan.
Gag
gak Cendawang
Kau
telah tumbuh bagai
pohon
nyiur di tanahmu
hujan
di pedalaman
air
turun ke muara
ada
orang membakar hutan
di
mana-mana.
Mengapa
peduli
pada
perosak alam
bumi
terbeban ribuan tahun.
Semalam
impianmu hancur
denyut
bumi bergerak.
Gak
gak Cendawang
Suara
yang kau dengar itu
membuat
kau bersalah
lalu
terhukum.
Tiada
yang lebih hebat
perjuangan
dan pengorbanan
sampai
ke garis terakhir.
Siapa
kamu ingin memadam sejarah
dan
menconteng foto-foto silam
dan
memotong lidah seorang pendiam.
Sebenarnya
mereka itu
dalam
kegelapan yang nyata.
Gak
gak Cendawang
aku
mengulang kalimat suci
pengampunan
alam sejagat.
Selebihnya
itu Kemurahan Allah.
Ya
Rabbi, akal budi adalah
senjata
yang mampan
bahasa
yang memikat
menembusi
lapisan sukma.
Tiap
kata dan kalimat
adalah
kasih sayang
yang
melunakkan seorang kaisar.
Siapa
berdoa dengan air mata
di
pojok malam yang dingin?
Gak
gak Cendawan
Aku
mengirim doa kepada-Mu
dengan
lidah lembut
kerana
di situ ada harga diri
sekali
lagi sukmamu teruji
Siang
ini kita berpergian
kau
adalah seorang da'i
membawa
khabar suka
di
daerah-daerah rawan dan sepi.
Honiara
2001
45.
Orang Tua Di Tanah Asing
Dia
telah menemui kata-kata dan kalimatnya
di
sebuah dinding gua silam jauh di luar kota
tapi
ia melupai mengapa ia harus menulisnya
lalu
meninggalkannya puluhan tahun lamanya.
Gema
suaranya telah hilang dalam kepul udara
jauh
sebelum ia teringat akan kembali ke sini
ternyata
segalanya telah berubah, bukit-bukit
sukma
telah diratakan dan hutan telah musnah.
Menurut
orang yang melihat dan mengenalnya
ia
telah berpergian dari kampung halamannya
sejak
desanya sunyi sepi dari keriuhan kota.
Tapi
kini, bandar raya ini telah menelan desa
di
sekelilingnya berubah menjadi lorong gelap.
Di
suatu kota yang jauh dari tanah air
ia
berdiri, usia sudah menjeratnya dalam diam
keinginan
kembali ke desanya telah meredup
suatu
hari ia berpapasan dengan sekumpulan
pemuda
berbahasa Melayu di tanah asing
kepala
tenggoraknya seperti dicatuk kerana
puluhan
tahun ia tak mendengar bahasa itu.
Wajahnya
tersenyum kerana ia masih dapat
memahami
bahasa ini, sekalipun ia telah
merangkak
ke hujung senja di perantauan.
Di
jalan pulang di tanah asing benua selatan
ia
memandang laut siang dan akhir musim
tengkujuh.
Lalu berkata kepada dirinya sendiri,
“Ya,
kau telah jauh berjalan dan belum pulang.”
Auckland
Mei
2009
46.
Padamu, Ma
Menunggu
hari tua
kau
sendiri telah meragukannya
mereka
berkata dari atas anak tangga
sedang
kau mendengar dari bawah.
Tiap
kalimatmu sampai ke telinga
kau
memital sebuah harapan
suara
itu makin bergema keras
mengingatkan
kalian dalam tiap percakapan.
Mereka
telah memindahkan lampu kamar
sejak
itu
pintu
rumahmu tak terkunci
dan
mereka tak pulang.
Kau
tak melihat rembulan
dendam
di hujung mata pisau
langitmu
gelap
mereka
telah berpaling.
Canberra
September
2008
47.
Nenek Di Kerusi Roda
Aku
duduk di kerusi roda tenang
mata
ini memandang terus ke depan
kegelisahan
ini ketika aku tak melihat
atau
mendengar suara anak perempuan.
Aku
telah biasa mencari-carimu, nak
sekalipun
kau berdiri disampingku
siap
memberikan harapan dan khidmat
ketenangan
sukma berdoa dan bersyukur.
Pernah
aku menangis dan marah-marah
tapi,
tak terlalu lama, sekejap saja
memang
aku selalu bertanya kerana
bingung
seperti aku ditinggalkan sendiri.
Aku
mengucapkan kata bismillah tiap perbuatan
saksi
langit dan bumi, Ya Rabbi, Empunya hidup ini
sepanjang
perjalanan aku telah pasrah dan redah
Pada-Mu
aku kembali dengan istighfar dan tawajuh.
Canberra
Januari
2007
48.
Hari Ibu*****6
Aku
tak hanya ingatmu pada hari ini ma
kasih
sayang ma tanah gembur Khatulistiwa
sukma
ma seluas cakerawala dan mindamu
Firasat
tak luntur, tekadmu tak dapat dikalahkan.
Otot-otot
kaki dan tanganmu seperti gunung anggun
mamaku
ini, nenekmu juga seorang perempuan.
Kau
menyayangi ibumu, rahmat Allah
turun
dan senantiasa membawa berkat.
Usah
berhenti di situ, sebelum ibumu
ada
nenekmu, dan ia juga perlu sapaan
dan
kasih-sayang merangkum langit biru.
Aku
hanya mengenangkanmu seorang ibu
adalah
bumi yang dilindungi dan langit
yang
melepaskan dahaga musafir yang
pulang
dari rantau. Kalau kau hanya terus
membatasi
dirimu dan membuat tembuk
pemisahan,
tunggulah hari mendatang
taufan
pasir yang merobek-robek langitmu.
Tiap
generasi berusaha tanah gemburnya
lebih
baik dan terpelihara dari sebelumnya
antara
satu tak ada pemisah, bergandingan
dan
terikat satu sama lain. Generasiku dan
generasimu
adalah mengangkat martabat ibu
sampai
ke pintu samawi, pengorbanan abadi.
Hobart
Oktober
2008
49.
Ibu Tua di Hari Ibu
Walaupun
aku tak mengubahmu sebuah lagu
dan
bangun membuatmu sarapan pagi
menulis
kad dan memposkan hadiah hari ibu
dalam
sukma ada doa-doa yang kulafazkan.
Datang
berkunjung di hujung minggu
mencium
dahi dan tangan ma, berbual
dan
kelakar. Lalu memilih lagu suka ma
sambil
menari-nari kecil di atas lantai.
Kau
tak pernah bersandar pada kejayaan
anak-anak.
Melihat mereka di tangga bahagia
Memastikan
turunan tak pernah lapar dan
Mereka
telah tidur selesa di rumah sendiri.
Dulu
seorang gadis sunti lalu diisterikan orang
sejak
remaja meninggalkan kampung halaman
Lalu
nikah di perantauan, lahir seorang putera
benih
tumbuh dalam rahim kasih sayang ma.
Lihat,
selera makan ma masih kuat dan bagus
kau
tak pernah meminta tapi lebih memberi
Kata
kalimatmu senantiasa nasihat dan ingatan
sujudmu
panjang berdoa kesejahteraan anak.
Hari
itu aku melihat ma menimang cucumu
dan
berkelakar senang dengan anak menantu
Dalam
kesenanganmu berbual dan kasih
melihat
ibu dan anak mertua mesra sezaman.
Mesapol
Julai
2006
50.
Doa Ma
Aku
terlalu perlahan
Membawamu
langit
purnama.
Degup
sukmamu dan suara
mengerang
di malam buta telah
menyerap
ke
dalam mimpi.
Waktu
jauh
ke
dalam senja.
Tapi
sosok tubuh ini
Menunduk
membasahi
sejadah
doa-doa
panjang dan
suaranya
ditelan waktu.
Aku
melihat
syurga
dalam sukma dan mata tuamu
Ma,
memandang
samawi
seperti dirinya telah
melayang
ke pusar langit.
Nilai
Julai
2015
51.
Nenek dan Kampung Warisan
Kampung
ini telah lama ditinggalkan
Hutan
belukar menutupi padi huma
Air
sungai telah mengalir jauh
Pohon-pohon
getah tua tumbang sendiri.
Kau
pun tak pernah bertanya, dulu
Pernah
ada sebuah kampung yang riuh
Penghuninya
akan turun menoreh getah
Berpadi
huma di lereng-lereng bukit.
Pada
keratan tanah dan lereng bukit
Hutanmu
penuh cerita warisan
Di
halaman kampung rumpun bamboo
Bernyanyi
lagu rindu anak kembara.
Malam
hari nenek duduk bercerita
Sambil
mengunyah sireh pinang
Tentang
anak sayangkan ibu
Legenda
Karuhai turun-temurun.
Tiap
jalan ke bukit ke hutan jati
Ketuk
Kulingtangan wanita bertakiding
Ada
grafiti peninggalan leluhur
Rimba
di sini tak pernah sunyi.
Tapi,
tanah payah itu telah lama liat
Anak
pelanduk berhijrah ke hutan jiran
Rimbamu
kini sepi dari kicau burung
telah
menjauh beberapa musim lalu.
Di
penjuru nenek mengunyah kelupis
Berbual
sendiri sampai jauh malam
Memanggil-manggil
nama Karuhai
Pandangannya
larut bersama malam.
Warisan
Kampung Lama tinggal nama
Gema
suara nenek telah lama hilang
Kapok
sepohon di hujung kampung
Tumbang
dibawa banjir ke muara.
Mesapol
November
2013
52.
Dalam Kasyaf
Selamat
Datang
Kembara
Bahasa
ke
Mesapol
tanah
peribumi
tanah
leluhur dan rimba raya
Sungai
Mesapol masih berdenyut
merelakan
sejarah silam terhakis
dalam
perubahan zaman.
Dalam
kasyaf, kau telah
melimpasi
jembatan gantung
kampung
lama nenek
duduk
mengunyah sireh.
Si
Karuhai, anak bonda
legenda
kasih-sayang dan
pengorbanan
rimbamu
masih terpahat
di
perbukitan sukmamu.
Lambiding
dalam Takiding
Pakis
dan rumpun bamboo
di
sini kau melipat kelupis
di
tanah ini pernah kau
gores
Laksamana
menghadang
penceroboh malam.
Mesapol
kusebut
namamu berulang-kali
supaya
ia menyerap ke dalam sukma.
Mesapol
November
2011
53.
Menunggu Karuhai
Langitmu
indah menjelang senja
gunungmu
agung dalam takaran waktu
nafasmu
bau hujan hutan khatulistiwa
keindahan
kata dan kalimat sempurna.
Duniamu
kini kamar kecil di penjuru
matamu
memandang bumbung langit
memanggil
pulang Karuhai, anak Kedayan
seribu
malam penantian kau tetap sabar.
Di
ranjang ini kau berbual sendiri
menunggu
salam terucap tamu jauh
Karuhai,
pulanglah biar dalam mimpi
kau
tak pernah derhaka, janjimu matari.
Tanah
Peribumi melambaimu pulang
degup
jantung seperti kapal belayar sarat
suaramu
tak terdengar hanya gerak mulut
mencium
dahi memegang telapak tangan.
Honiara
September
2012
54.
Pohon Getah
Aku
melihat pohon getah
tumbang
dan tercabut
dengan
akarnya sekali.
Di
tanah waris
getah
tua adalah
cerita
dari zaman silam.
Tiap
pagi kau dilukai
grafiti
sejarahmu masih
terguris
di dinding sukmamu.
Sydney
2006
55.Tepung
Tumpe Ma
Tepung
dan air sedikit garam
kasihmu
berbaur larut dalam
tepung
tumpe.
Matamu
redup tersimpan rahsia
seperti
kasih sayang samawi
tiap
gerak di sukmamu membawa
khabar
gembira.
Tanganmu
pernah menimang
bayi
di pangkuan dan lagumu
adalah
getaran di danau cinta
membolak-balik
halaman kenangan
perutusan
masa silam
yang
mengalir terus ke lautmu.
Kata-katamu
mengiyang-iyang
bergema pada lembah gunung
suara
seorang ibu ditinggalkan
Kesabaranmu
adalah bumi
dalam
takaran waktu.
Kau,
gunung yang bertahan
ketenangan
nadimu berakar
di
rimba jati
dan
tak akan pernah dikalahkan
sekalipun
mereka menjauh.
Noumea
2006
56.
Anak Yang Pulang
Waktu
senyap mengalir jauh
mimpimu
telah sempurna
kepulanganmu
rindu terubat
sekalipun
siang telah condong.
Bulan
Ramadan menemukan
anak
dan orang tua di tanah leluhur
tiada
yang lebih bahagia dan gembira
duduk
berbuka dan solat berjemaah.
Doa-doamu
adalah senjata makbul
yang
mustahil kau perlihatkan
samawi
tetap tak akan melupakan
ketulusan
dan keyakinanmu ini.
Anak
yang pulang di bulan Ramadan
sebenarnya
pengubat ibu dan bapa
kehadiranmu
telah membawa cahaya
tak
akan redup sepanjang takaran waktu.
Sydney
Oktober
2013
57.
Cucu Dan Nenek
Doa
mengalir bersama bertaut di muara
kasih-sayang
melimpah dari dua sukma
tangan
yang membelai jiwa menyerah
dianyam
dengan takwa dan cinta Illahi.
Cucu
yang tumbuh akarnya bersemi
di
lahan tanah peribumi air dari samawi
mekar
kembang bunga di musim semi
Ramadan
Al Mubarak talian kasih.
Anak
bulan muncul di langit Ramadan
pengalaman
bersama hati yang pasrah
ilmu
mengalir dari kalbu ke kalbu
Tazkirah
di bulan suci penuh rahmat.
Nenek
yang memberi tangan terbuka
cucu
menerima duduk di riba kasih
kemenangan
dua kalbu meraih kurnia-Nya
kelangsungan
hidup menawan dan berberkat.
Nilai
Disember
2015
58. Takiding
Ramadan
Menjelang
purnama Ramadan
memandang
langit
seperti
sehelai sutera
kasih
sayang-Mu
seperti
air dingin turun
dari
lembah gunung.
Geduk
dipalu
muazin
mengumandangkan azan
bagai
cinta telah sempurna
lafaz
seorang kekasih.
Berita
musafir pulang
telah
sampai
di
halaman seorang ibu
telah
lama menunggu
malam
itu ia bersujud
Kau
telah mengabulkan doa.
Kapal
telah berlabuh
anak
kapal menurunkan sauh
rindu
tanah daratan
kembang
kenanga
udara
khatulistiwa.
Sandakan
Oktober
2013
59.
Kita Masih Bersaudara
Hujan
rahmat, kota digenangi air
tapi,
aku masih melihatmu, jarak
bukan
pemisah. Gemuruh hujan,
air
melimpah turun dari bukit,
seperti
warna teh susu. Sekarang
musim
buah. Aku memanggilmu,
saudaraku.
Ia membalas selamba.
Mesapol,
tanah bukitmu masih
tersimpan
tanah waris. Kalau belum
saling
mengenal, tiap pertanyaan
menimbulkan
curiga. Bagaimana
aku
dapat menerangkan sedang
kau
tak punya waktu mendengarkan.
Lalu
aku berkata, tak apalah lain
kali
saja aku akan memanggilmu.
Bagaimana
aku dapat menerangkan.
Semua
memerlukan masa. Soalnya,
aku
merasa tertekan ketika ditanya,
“Ada
apa?” Kerana ia tak mengenalmu.
Jawabku
mudah, "Tak ada apa-apa".
Tiap
orang ada rahsia di bawah
kepak
dan sebaiknya membiarkan
ia
terus begitu tidak terganggu.
Asalkan
kita masih bersaudara
sekalipun
tak kenal atau pura-pura
ambil
tak kisah.
Kudat
17
November 2012
60.
Menunggu Sapaan
Malam
ini aku mengingatimu
Mesapol,
nama itu kembali
kau
bukan sebuah kotaraya
tapi
sebuah desa yang sepi
menunggu
hadirnya sapaan.
Dari
halaman rimbamu, aku
melihat
airmatamu jatuh
menitik
ke atas bumi. Kau
bertanya
mengapa tiada
khabar
si burung punai,
kera
di hutan telah lama
meninggalkan
sulap.
Pelanduk
di hutanmu
menjauh
ke hutan jiran.
Mesapol,
kusapa kau
dalam
puisi sekalipun
kau
menganggap nyanyian
di
pinggir jalan atau igau
di
malam hari. Suara rimba,
getah
tua, tanah sejengkal,
desa
bagai pohon tak tumbuh
semuanya
kuresapkan
ke
dalam genta puisi.
Rumah
kosong di kaki
bukit,
pohon Bambangan
dan
pohon bambu masih
memanggilmu.
Tapi saudaraku
yang
duduk di sana masih tak
mendengar
ketukan pintu
suatu
siang yang kelabu.
Ada
waktunya air pasang
surut.
Rembulan pulang
ke
horizon di hujung malam.
Mentari
menyingkap hari baru.
Aku
akan memanggilmu
dengan
panggilan yang
lembut
hingga kau menoleh
dan
melihatku. Kerana kau
dan
aku bukan apa-apa
tapi
saling menguatkan
satu
sama lain.
Kota
Kinabalu
30
November 2012
61. Ma,
Aku Pulang
Ma,
aku pulang. mentari masih tinggi sedikit
lihatlah
aku masih bisa berdiri segak
gempal
dan masih berkumis dan berjanggut
hanya
perut gendut sedikit seperti pak Dogol.
Ma,
aku anak pernah kau bawa ke sana ke mari
ketika
ada kejahatan dan guntur dan petir
kau
kandung aku dalam kainmu dan
merelakan
tubuhmu dibelasah dan disakiti.
Ma,
Allah telah menurunkan tangan-Nya
dan
menghadiahkanmu di rumah ini
aku
ingin mendengarmu tentang
pemuda
Karuhai, anak yang taat itu.
Ma,
aku mulai melihatmu jalan berbongkok
gigimu
jarang tapi masakanmu selalu
membuka
selera musafir, anak yang pulang
dan
menanggalkan kasut ini sebentar.
Ma,
mari kita adun mimpi bersama, jalan ke
anak
bukit dan pohon getah, paya dan
pohon
bambangan. Pohon bambu masih
mengirim
rindu pada desir angin yang lewat.
Ma,
mereka bilang kau warga emas
memang
kau nilam gemala di sukma
sekalipun
wajahmu terkandung usia
tapi
hitam dahimu kerana lama bersujud.
Ma,
aku menulis puisi. Ada huruf dan kata-kata
bersayap
terbang jauh sampai ke alam kasyaf
ada
Gazel, pandai menari, menerjang udara
dan
ada sepasang kasut yang taat.
Ma,
dari dulu kau pendengar yang baik
tapi
ngomelmu selalu menjadikan aku
Karuhai
yang kecil. Kerana telah ada,
akan
kubawa kau ke tanah kebaikan.
Ma,
lama kita tak melihat rumah lama
di
daerah selatan. Barangkali tiangnya
digenangi
air, atapnya telah bocor dan
dindingnya
dimakan anai-anai.
Ma,
ketika banjir turun sungai Mesapol
melimpah
sampai jauh ke paya dan
desa
di kampung lama. Bagaimana
nasib
saudaraku di PantaiTimur?
Ma,
aku telah pulang disampingmu
ini
anakmu dulu, cuma aku
pulang
bukan sebagai si tenggang
yang
ada sekujur tubuh dan sukma.
Ma,
kekuatan dan pengorbanan
telah
menyatu dalam ketulusan dan
nizam.
Dan di tanahmu telah disiapkan
pelabuhan,
aku membawamu ke bintang kejora.
Kota
Kinabalu
2
Januari 2013
*Terbit di Majalah Wadah
62.
Mesapol, Musim Buah
Musim
buah datang lagi
adakalanya
aku ingin meremas
tanahmu
dan bergolek-golek
seperti
kucing di atas debu.
Aku
telah jauh ke depan
sekalipun
langkah ini berat
memandangmu
aku harus
menoleh
ke belakang arah
selatan.
Kuselak
daun pisang dan
mencium
bau kenangan
hujan
tropik turun bersama
angin
petang bagai aku terhukum.
Aku
telah menebus janji
di
ranjang malam igaumu
seperti
mengheret mimpi
ke
dalam api belerang.
Kota
Kinabalu
23
Disember 2013
63.
Jalan Ke Selatan
Bualnya
seperti
letusan minyak panas
memercik
mendekatinya
seperti
memasukkan
tangan
ke
lubang ular.
Sudah
berapa kali
Diumumkan
pada
dinding telah
ia
tampal suara perintah
datang
bagai
deru gelombang
dan
badai malam
menghempas-pulas
tiang
rumah
kasih sayangmu.
Hujan
turun
Masuk
ke
dalam halaman
akar-akarmu
menyerap
sepuasnya
seperti
musim kemarau
telah
berakhir.
Kau
menggulung
malammu
dalam diam
jalan
ke selatan
menggusikmu
dalam
mimpi
jalan
panjang
tanpa
belokkan.
Noumea
2005
64.
Serah Keris
Malam
itu
kau
bersembunyi
penantian
yang gelisah.
Remang
bulan
kau
muncul
dari
kembang
bunga
di taman
Menyelinap
ke
dalam malam
rembulan
sarat
dan
terpanah.
Kedua
mempelai
datang
menghadap
bapa
mertua
dengan
keris bersampul
sapu
tangan putih.
Kota
Kinabalu
1
Disember 2013
65.
Karuhai
Aku
mengenal namamu bukan dari membaca sejarah
tidak
juga dari batu bersurat kerana kuburmu memang
tak
ada. Namamu disebut, lalu cerita pun bermula
Karuhai,
demikianlah namamu, begitu indah di hujung
lidah
seorang ma. Karuhai diam di dalam sukma.
Kalau
aku merindukan seorang Karuhai kerana Karuhai
adalah
si legenda yang tak akan dilupakan. Karuhai
hidup
dalam mimpi dan impian. Karuhai, namamu tak
akan
dilupakan. Namamu hidup dalam imajinasi se-
orang
ma, seorang anak, dalam cerita, dalam puisi.
Namamu
tak hilang dibawa harus ke muara dan hilang
dan
tenggelam selamanya. Aku tak akan membiarkan
itu
akan terjadi. Kau adalah lambang ketaatan. Aku
bisikan
kepada telinga alam sejagat, semuanya akan
menjawab,
"ya, benar." Karuhai adalah lambang ketaatan.
Tak
ada duanya dalam lagenda. Ketaatan tak dipertikaikan.
Ketaatan
Karuhai adalah ketaatan seorang anak kepada
ma.
Cinta tulus seorang anak kepada ibu. Cinta yang
membuat
tradisi dimartabatkan. Diletakkan pada tempatnya.
Aku
adalah anak-anak yang dibesarkan dalam cerita ma.
Karuhai,
gagah perkasa tiada tandingnya di mata ma.
Ini
rahmat Allah kekuatan yang istimewa anugerah
dan
kemampuannya berkhidmat.Cinta Karuhai pada ma.
Cinta
aku pada ma seperti cinta Karuhai pada ma.
Aku
ingin seperti Karuhai. Karuhai mengkhidmati ma.
Aku
juga mau, mengkhidmati ma.Tujuh lautan akan
aku
berperahu kalau di sana ada yang membahagiakan ma.
Tujuh
lipatan langit kudaki bersama ma kalau di langit
terakhir
di situ ada kemahuan ma. Kerana ma, Karuhai
tak
pernah membantah, maka aku pun mau begitu.
Karuhai
tak pernah bersikeras dan menjawab walaupun
sepatah
kata maka aku mau begitu juga. Karuhai hidup
mau
membahagiakan ma, maka aku juga mau begitu.
Bagi
Karuhai ma adalah segala-galanya, maka aku pun
juga
mau ma adalah segala-galanya. Karuhai tak ada
bandingan,
Karuhai satu-satunya di atas bumi ini,
insan
yang tak pernah ingkar dan derhaka pada orang
tua,
pada ma. Ketika ma bercerita tentang seorang
Karuhai,
akulah anak ma yang pertama, si Karuhai itu
adalah
aku. Bayangkan kalau ma bilang pada Karuhai
tolong
ambil rembulan dari langit dibawa turun ke sini
supaya
rembulan boleh menerangi pondok ma. Tentu
Karuhai,
tidak mustahil akan mendaki langit membawa
pulang
rembulan buat ma. Karuhai sukmamu sukmaku
telah
menjadi satu. Aku bawa Karuhai dalam sukma ke
mana-mana.
Namamu tak akan mati.Karuhai akan
hidup
dan abadi, Karuhai melekat di tiap bintang di-
langit.
Karuhai, pengorbananmu mencipta syuga
di
bumi ini. Bukan syurga ilusi, adalah syurga tercipta
buat
seorang ma. Tiada boleh menyangkal pengorbanan
Karuhai
buat seorang ma. Ketika ma menyuruhnya
dedaun
kering buat atap rumah, Karuhai, anak yang
gagah
perkasa telah siap mengumpul dedaunan kering
setinggi
bukit dan mengikatnya dengan tali akar.
Karuhai,
namamu tercipta kerana pengorbananmu.
Karuhai,
namamu hidup abadi pada bangsa yang
kenal
pada pengorbanan seorang anak kepada ma.
Walaupun
pengorbanan itu mengundang maut bagi
Karuhai
demi kebahagian seorang ma, ia akan kerjakan.
Ketika
tali akar yang melilit dedaunan merimbun
sebesar
bukit dilucutkan, Karuhai, gagah perkasa itu…
Suara
ma merendah dan perlahan. Ada emosi bagai
elektrik
memulas sukma, air mataku menitis mulai
dari
gerimis kemudian hujan turun lebat. Karuhai
tertimbus
dedaunan sebesar bukit. Aku diam. Sekalipun
aku
telah mendengar cerita Karuhai mungkin lebih
dari
ratusan kali, tiap akhir cerita Karuhai, air mata
pasti
menitis. Karuhai, kuingat namamu, lambang
pengorbanan,
cinta dan memartabatkan seorang ma.
Kota
Kinabalu
18
Disember 2012
66.
Segerombolan Pemburu
Malam
itu telah bersatu hati semua akan pergi berburu
hutan
belukar di belakang desa di kaki bukit memanjang
jadi
banjaran gunung dan puncaknya menyentuh awan.
Segerombolan
pemburu mempertaruh nasib dengan
senapang
angin berangkat selepas senja mengepong
hutan
belukar, mencium angin dan mempelajari
gerak-gerak
mangsanya di sepanjang malam.
Soalnya
hutan belukar ini telah selalu diburu
bukan
sekali malah puluhan dan ratusan kali
hutan
peribumi ini seperti terdera, akhirnya
senyap
dan sepi, dan burung-burung tak pernah
singgah,
apa lagi haiwan. Seakan Haiwan ini
berkata
satu sama lain, 'Kami telah jerah,
di
hutan ini, kami diracun, dijerat dan ditembak.'
Mereka
tak menyukai kami, apa lagi menyayangi.
Dari
desa ke dalam hutan gerombolan pemburu
mendengar
hanya degup jantungnya tetapi tak
mendengar
apa-apa, hutan sunyi. Para pemburu
merasa
tersiksa, tak ada satu yang boleh ditembak.
Kemarahan
para pemburu memuncak, mereka jadi
hilang
akal, menembak apa saja ke mana-mana.
Ke
pohon mangga, durian dan cempedak, tarap
dan
nangka. Mereka menggeliat kehausan untuk
melihat
darah dari mangsanya.Tapi malam ini
pelanduk
dan rusa pun tak muncul di hutan belukar.
Akhirnya
di atas bukit semua pemburu berkumpul
tak
ada haiwan yang jadi mangsa malam ini.
Mereka
mengeluh. Mengapa pulang kosong?
Tak
seekor kera, apalagi biawak yang boleh
didagangkan.
Mereka kesal. Seorang dari mereka
bilang,
“sial.”
Malam
itu segerombolan pemburu pulang tanpa
banyak
bercerita. Tak ada kelakar di sepanjang jalan.
Diam.
Hanya sekali-sekali terdengar kata-kata
kesat
dan menyumpah hutan belukar di belakang desa.
Kota
Kinabalu
31
Januari 2013
67. Tanah Ma
Tanahnya tak terlalu besar
memanjang dan mengecil ke
tengah
Rumah lama itu di kaki bukit
tak jauh dari sungai kecil kampung lama
Langitmu selalu menurunkan hujan
sungai menenggelamkan
tebing
Panas di siang hari dan dingin
malam hari mengumpulkan kenangan.
Tanah-tanah tetangga masih penuh
getah tua dan pendatang turun menoreh
Tuan punya tanah berumah
jauh ke selatan
dan telah meninggalkan kampung
Anak-anak baru telah lupa tapak
kampung lama kini kampung bertukar wajah
Pendatang baru telah menggantikan
penghuni kampung dan orang tak bertanya.
Tanah ma masih tanah warisan
tamu-tamunya masih
berdatangan
Di sini ma mesra alam ketika
hutan terbakar haiwan turun
mencari hutan baru
Langitmu penuh dengan burung-burung
berpasangan terbang hinggap
di pohon
Keriuhan hutan di tanah warisan
terus memanggilmu walaupun
kau jauh di rantau.
Hobart
2007
68. Jalan Ke Selatan
Bualnya
seperti letusan minyak panas
memercik
mendekatinya
seperti memasukkan
tangan
ke lubang ular.
Sudah berapa kali
diumumkan.
Pada dinding telah
ia tampal suara perintah
datang
bagai deru gelombang
dan badai malam
menghempas-pulas
tiang
rumah kasih sayangmu.
Hujan turun
masuk
ke dalam halaman
akar-akarmu
menyerap sepuasnya
seperti musim kemarau
telah berakhir.
Kau menggulung
malammu dalam diam
jalan ke selatan
menggusikmu
dalam mimpi
jalan panjang
tanpa belokkan.
Perth
2007
69. Doa ma
Aku terlalu perlahan
membawamu
langit purnama.
Degup sukmamu dan suara
mengerang di malam buta
telah
menyerap
ke dalam mimpi.
.
Waktu jauh
ke dalam senja.
Tapi sosok tubuh ini
menunduk
membasahi sejadah
doa-doa panjang dan
suaranya ditelan waktu.
Aku melihat
syurga dalam sukma
dan mata tuamu
ma, memandang
samawi seperti dirinya
telah
melayang ke pusar
langit.
70. Padamu, Ma
Menunggu hari tua
kau sendiri telah
meragukan
mereka berkata dari atas
anak tangga
sedang kau mendengar
dari bawah.
Tiap kalimatmu sampai ke
telinga
kau memital sebuah
harapan
suara itu makin bergema
keras
mengingatkanmu
percakapan itu.
Mereka telah memindahkan
lampu kamar
sejak itu
pintu rumahmu tak
terkunci
dan mereka tak pulang.
Kau tak melihat rembulan
dendam di hujung mata
pisau
langitmu gelap
mereka telah berpaling.
Sandakan
Jun 2014
71. Balada Nenek
Nenek terbaring di dalam
kamar
Ia tak melihat matahari
telah masuk berapa
minggu
apalagi mencium bau
hujan.
Ingatan ini menipis dan
menjauh
bau bunga kemboja dan
melatih
ketika tercium bau lauk
dan
seleranya masih tak
lepas.
Siang itu nenek resah
gelisah
terbaring sendirian dan lemah
anak perempuan dan
cucunya
bermain di penjuru
kamar.
Masa muda nenek tak
pernah
duduk diam dalam rumah
turun ke kebun, menorah
getah
dan berjual sayur dan
halia.
Suatu hari anak
perempuan
merasa kasihan pada
nenek
kerana usia makin bertambah
dan tinggal sendiri di
kampung.
Dijual tanah ia
berpindah
ke kotaraya membawa
nenek
tinggal di rumah flat
dengan anak dan cucu.
Nenek sekarang di
kotaraya
jiwanya terganggu
mengingatkan
tanah sejengkal di
kampung
telah dijual dan tak mungkin
pulang.
Di kotaraya ini, nenek
mengutip tin
botol dan kotak kertas dan
menjualnya.
Matahari di sini tak
sebaik kampung
di kotaraya ini dada
nenek tercengkam.
Hari bala itu turun,
ketika mengangkat
karung, nenek jatuh.
Kini usianya makin jauh, tubuhnya
makin lemah tak bermaya.
Ia tak dapat menahan
diri
keinginannya ke bilik
air telah lama
nenek bingkas berdiri
dan melangkah
ke bilik air.
Ketika nenek ingin
mengapai
tempat berpegang, nenek terpeleset
jatuh di atas lantai
semen di bilik air.
Nenek merasa tangan
kanannya sakit.
Tulang pinggang patah
ditempat dulu.
Cicak di penjuru
mengedipkan mata
Petang itu nenek ditahan
di ICU.
72.
Puteri Siti Payung
Ketika
sungai beralih
lahir sebuah danau
dan pulau daratan
di tepi desa.
Kalau dulu
ia tebing yang kuat dan
bertahan
sepak terjang banjir
melimpah
ia tetap mencengkam
bumi.
tanpa mengaku kalah.
Malam terakhir ini,
sukmanya
bagaikan sungai yang
terputus
terbagi dua
impiannya tenggelam
terbawa arus jauh ke
laut.
Penghuni hutan diam
tak berani berkata-kata.
Musim cepat berubah
Puteri Siti Payung duduk
di atas tangga memandang
gerimis turun
menunggu kepulanganmu.
Kota Kinabalu
31 Disember 2013
*Menurut Tradisi
kedayan/Brunei, Siti Payung itu, panggilan kepada tikus.
73.*********** (7)
74.
Khabar
Dari Kampung
Ada khabar dari kampung,
sekarang musim penghujan
sungai terus naik
arusnya semakin deras, tanah leluhur
digenangi air. Kebun
buah tak menjadi. Jagung muda
tak sempat ranum.
Lama sudah tak berbual.
Sekali bertelefon banyak yang
ingin dibualkan. Tentang
kebun, buah-buahnya dimakan
monyet. Mesra alam masih
belum dimengerti. Semua
dilihat hitam dan putih.
Nenek duduk di anak
tangga, melihat cucunya
balik dari sekolah. Ia
masih boleh menjawab cuma
tangan terketar dan
jalannya lambat. Kekadang
suaminya turun berkebun,
cuma jantungnya tak selincah
dulu.
Kota Kinabalu
20 November 2013
75. Nenek Dan Bayi
Aku melihat seorang
nenek
mendokong bayi
membawanya masuk
ke dalam kamar.
nenek tua berbual
sendiri
bayi berguling
ke kanan dan kiri
seperti menatap
mata nenek
sedang gusinya
belum tumbuh gigi.
suasana tenang
pada langit
tak
ada kelihatan
noda hitam
biru bersih
nenek tua
menyanyi.
nenek tua
memangku bayi
baru enam bulan
ingatannya kembali
setengah abad lalu
pernah seorang bayi
lelaki
duduk di ribanya.
ditelitinya
raut muka, rambut,
tangan dan kaki
bayi dalam pangkuan
lalu tersenyum sendiri.
Kota Kinabalu
14 November 2013
76. Ma Pulang
Kelihatan dua ekor
kuda
mengunyah rumput
dalam hujan.
Hujan masih bertahta
senja hanyut ke dalam
malam.
Mereka telah tiba
di penghujung jalan
ingin pulang.
Pulanglah, di sini
rumahmu.
Kota Kinabalu
8 September 2013
77. Kelupis
Pada suatu siang menawan
diparuh kelapa dan
diperah santan
baumu berbaur daun pandan
menipis ke udara masuk
ke
halaman sukmamu.
Tiap tindakan mengundang
kesabaran
kusentuh kau dengan
pengayuh, manis
bicara dan sopan dalam
gerak.
Ketika kau siap bagai
pengantin akan
diijab kabul. Kau
disatukan ke dalam
kawah. Lalu
tangan-tangan kasih sayang
ini membungkus dan
melipatmu dengan
daun nyirik dan siap
untuk dikukus.
Lai, aku kenal tanganmu
bertahanlah pada tradisi
dan tak akan kau
lepaskan.
Kota Kinabalu
3 September 2013
* Kelupis, makanan
dibuat dari nasi pulut dimasak dengan santan dan dibungkus daun nyirik dan
dikukus. Kelupis bagi suku kaum Kedayan dan Jelurut bagi suku kaum Brunei.
78. Berenang di Lubukmu
Kuseru namamu berkali-kali
di sungai ini kita
pernah memancing
tapi bumimu cepat berubah,
terlalu
cepat.
Butakah mata ini atau
aku memang tak
melihatmu.
Ke mana perginya?
Dulu hanya ada satu
jalan
sekalipun kupejamkan
mata
pasti aku akan sampai
menyentuh airmu yang
dingin.
Aku dapat meraba ke
dalam
dasarmu dengan kaki dan
menyentuh pagutanmu.
Waktu telah berhanyut
jauh
Di sini, kau kehilangan
lubuk
Keli, Haruan Putian,
Karuk
dan Pangal.
Manisku, berenanglah
ke lubuk sukma.
Kugenggammu
dan kulepaskan sebagai
kenangan.
Kota Kinabalu
15 Ogos 2013
79. Menggali Tanah Warisan
Aku menggali ke dalam
tanah warisan, ma
Tradisi budaya berakar
di tanah gembur yang subur
Yang membawa angin
kesegaran hidup beradab
Anak-anak peribumi yang
akan datang belajar.
Anak dalam kandungan
sampai menjadi pohon dewasa
Kau dengar ma bercerita
tentang anak sayangkan ibu
Anak mengalahkan raksasa
dan suami yang turun ke sungai
Cerita ma seperti menonton film yang diputar tak berhenti.
Mendengar ma berpantun dan bercerita , menyanyi ketika
Mendodoikan adik kecil
supaya tidur di dalam buaian
Nyanyi dan cerita ma, dan
keseronokan kami mendengar
Sampai kami dewasa dan
berumah tangga tak akan lupa.
Kedayan nama suku ma
hidup di sekitar sempadan Sipitang
Dan jalan arah ke
Beaufort memberikan warna jati suku ma,
Kehilangan dan terkuburnya
tradisi seperti bertamu ke-
Rumah tak melihat hasil budaya
pada dinding dan sajian.
80. Dodoi, Tidurlah Anak
Tidurlah sayang hari
semakin malam
Kodok di kolam masih
memanggil hujan
langit enggan menyahut
panggilanmu
angin lalu menghilang ke
dalam hutan
gunung menyepi sendiri,
sedang lembah
di hutan jati mulai
berdekur. Rembulan
masih bertahta,
kelip-kelap tenggelam
timbul di tepi sungai.
Anak comel, kau akan
mewarisi hutan jati
laut biru dan
pulau-pulau batu permata
Melaju perahumu melaju
sampai ke Simpang
Mengayau. Terbang burung
kenari terbang sampai
ke puncak Kinabalumu.
Tidur sukmamu,
tidur, esok ma bisikan
khabar dari jauh.
Aku melihat sebutir
bintang gugur dari
cakerawala.Tapi wajahmu
tersenyum dan
bercahaya. Kau mengucap
salam dan berlalu.
Lalu kau menjadi cahaya
dari kelip-kelap,
Bintang dan bulan purnama penuh.
Dalam tidur malam,
wajahmu kulihat
tenang, setenang
samudera di waktu malam.
Kota Kinabalu
15 March 2013
81. Rindu Itu Tak
Bertepi
Mesapol, igauku masih
cuba menyentuh bumbungmu
sukmaku masih membumi di
tanahmu
ada suara merayau dan ke
sasar sampai ke anak
tangga.
Tanah Mesapol di kampung
lama
atau jalan ke Lubuk,
biarkan lembiding
dan Pakis tumbuh subur
di halamanmu
Pohon bambu, aku
merindukan suaramu
berdesir dibawa angin
dari bukit.
Pohon Kabayau, kau cepat
membesar
bersama pohon
manggis di tanah bukit.
Satu hari nanti kupulang
membawa ma.
Impianmu tanah Mesapol
adalah
impianku.
Aku tak mengharapkan
apa-apa dari
kalian. Langit dan bumi,
keramaian
hutan di halaman telah
mencukupi.
Sampaikan kepada telinga
yang
belum mendengar.
Tanah ini adalah
tanah selamat.
Terbanglah kalian,
di sini ada langit biru
lain dari yang
lain.
Aku tak menghentikanmu
ketika
kau terbang dan merawang
di udara atau
hinggap di pohon-pohon.
Lebah madu, musim hujan
akan datang
bersaranglah di pohon
tinggi
di tanah kasih sayang,
Mesapol.
Kota Kinabalu
18 March 2013
82. Bual-bual Ma Dan Aku
Ma, sudah kupanggil
berkali-kali
ternyata ia tak membalas
panggilan
telah kurakam suara di
peti suara
tapi masih ia tak
membalas. Aku masih
asing di telinganya.
Ma, kau bilang aku punya
banyak saudara
"Kau bukan
sendiri." Mereka orang besar
dan dihormati.
Perkenalkan dirimu,
kau adalah anak ma,
pertalian darah.
"Ma, Kakak mereka
yang paling tua."
Sudah ku bilang ma, tapi
ia masih
belum terbuka sukmanya
menerima.
Ia orang penting. Orang
berpengaruh
dan orang-orang suka
mengekornya.
Ia, orang yang paling
sibuk di muka
bumi ini. Kalau bisa
diminta tambah
waktu dari 24 jam jadi
30 jam, pasti
ia orang pertama memohon
supaya
ditukar satu hari ada 40
jam.
Ma, sekarang aku selalu
di tanah kita.
Pohon bambu, cempedak
dan Bambangan
terlalu rindu pada Ma,
dan aku.
Ketika mereka tau aku
lalu di situ
hutan belukar di tanah
Ma riuh-rendah
Mereka gembira kerana dapat
khabar
aku berada tak jauh dari
tanah kita.
Ma, lebih baik lupakan
saja, kita telah
puas mengenangkannya
dalam impian
tetapi dalam kenyataan
ia telah menolak
Ma dan aku. Persaudaraan
darah seperti
tak ada ertinya, hanya
kalau saja kau
seorang berada dan berkedudukan.
Ma, kita tak mengharap
atau tumpang
meraih kejayaannya.
Biarkan mereka
memanggilnya orang
berbangsa tapi
sebenarnya ia orang yang
tak berbudaya
tohor dalam budi
pekerti.
Ma, kalau Karuhai masih hidup
apakah ia sayang pada saudaranya.
Ma, membalas,
"Ya." sambil senyum.
Kota Kinabaliu
16 Januari 2013
83.
Matahari Kembali
Di
anak tangga seorang ibu
dengan anak-anaknya
memandang deras air
sungai
yang melaju ke laut.
Air menurun sedikit
dari semalam, langit
perlahan
terang. Ada suara haiwan
terjerat
semalaman telah
terlepas.
Memang kau tak
berkata apa-apa
bagai gunung bertahan
kesabaranmu adalah
sungai yang mengalir
ketenangan wajahmu
adalah
sumur yang bergenang.
Ketika kulihat
mataharimu kembali
di bumbung langitmu
resahku menjadi
kepul-kepul asap
menjauh terbawa angin.
Kuusap ubun-ubunmu
telapak tangan kanan
ke pipimu
dan menatap matamu
sambil tersenyum
Kau selamat.
Kota Kinabalu
28 Disember 2012
84. Hujan Pagi
Setelah fajar hujan pagi
kau menyanyi sambil
menggulum mulut
tanpa kata-kata.
Pesta perkahwinan
jiran sebelah
selesai malam tadi.
Tuan rumah puas,
keramaian Karaoke
pun telah berhenti.
Tamu telah pulang
kerusi dan meja telah
disusun.
Ma mencium dahi
anak perantau yang
pulang
ditanya bila Ma dibawa
pergi.
Malam tadi dalam mimpi
aku bertemu dan mencium
tangan seorang Khalifa
yang telah berpulang.
Sandakan
25 November 2012
*Disiarkan dalam Utusan Borneo 7 April 2013.
85.
Menunggu Sapaan
Malam
ini aku mengingatimu
Mesapol, nama itu
kembali
kau bukan sebuah
kotaraya
tapi sebuah desa yang
sepi
menunggu hadirnya
sapaan.
Dari halaman rimbamu,
aku
melihat airmatamu jatuh
menitik ke atas bumi.
Kau
bertanya mengapa tiada
khabar si burung punai,
kera di hutan telah lama
meninggalkan sulap?
Pelanduk di hutanmu
menjauh ke hutan jiran.
Mesapol, kusapa kau
dalam puisi sekalipun
kau menganggap nyanyian
di pinggir jalan atau
igau
di malam hari. Suara
rimba,
getah tua, tanah
sejengkal,
desa bagai pohon tak
tumbuh
semuanya kuresapkan
ke dalam genta puisi.
Rumah kosong di kaki
bukit, pohon Bambangan
dan pohon bambu masih
memanggilmu. Tapi
saudaraku
yang duduk di sana masih
tak
mendengar ketukan pintu
suatu siang yang kelabu.
Ada waktunya air pasang
surut. Rembulan pulang
ke horizon di hujung
malam.
Matahari menyingkap hari
baru.
Aku akan memanggilmu
dengan panggilan yang
lembut hingga kau
menoleh
dan melihatku. Kerana
kau
dan aku bukan apa-apa
tapi saling menguatkan
satu sama lain.
Kota Kinabalu
30 November 2012
86. Impian Ma
Ma telah berhempas pulas
melindungi tanah leluhur ini
Perjuangan tidak ada
kalah yang dituntut kemenangan
Kesejesteraan
anak-anak yang nanti menerus perjuangan
Anak-anak kemudian
mewakili zamannya meneruskan lagi.
Tiada impian selain
berjaya dalam hidup dan anak-anak
Tumbuh membesar dalam
lingkung dan mendahulukan rohani
Melangkahi sempadan
menggali khazanah ilmu sampai ke orbit baru
Tawajuh dalam berdoa dan
berzikirullah rahmat-Nya.
Pengorbanan dan ujian
yang tempuh dalam seribu ikhtiar
Jiwamu istiqamah
berpegang pada kebenaran dan tak gusar
Menantang gelombang dan
badai menuju pelabuhan damai
Kau betah dalam bahasa
ibunda, bahasa Melayu.
Kasih sayang ma memegang
tanganmu sampai ke jalan kebaikan
Di jalan ini, kau meraih
pintu syafaat sampai ke akhir
Takaran waktumu anugerah
Tuhan Rahman dan setiap langkah
Kau bermunasabah dan
merenung langkah selanjutnya.
87. Pintu Ini
Telah berapa kali ma
bilang
kami telah lama di sini,
kami ingin pulang.
Pintumu masih terbuka.
Siang dan malam
tak ada had dan batas
tiap ruang ini adalah
kepunyaanmu
kami adalah
pengkhidmatmu yang rajin
kau selalu datang dengan
warna pelangi
dan selalu membawa harum
kembang
bunga di taman.
Buatmu, ma, aku tak
pernah lelah
apa lagi membuang muka
dan berdiam diri
kau adalah matahari
selalu didambakan
kau adalah rembulan
sukma sebuah rindu.
Datanglah, kami rindu
pada suaramu
kami ketagih pada
cerita-ceritamu sebelum tidur.
Sekarang banyak
perubahan bukan atas kehendak
tapi adalah tekanan dan
dorongan hidup itu
menjauh orang di bumi
yang dipijak.
Kemenangan hidup selalu
dihitung
dari pencapaian mata
kasar.
Kegagalan adalah suatu
yang tak mungkin
dan tak boleh bertolak
ansur.
Mereka mengibar bendera
di halaman rumah
kejayaan anak-anak
pulang dengan ijazah
dan bekerja, roda
kehidupan berjalan terus
Tiap keluarga memeras
siang biar air sarbat
menitis dari
genggamannya
memupuk impian pada
malam supaya rezekinya
menjulang sampai ke
langit.
Dalam kesibukan membesar
rumah dan
menakluki sempadan baru
galaksi dan orbit baru
rembulan dan matahari
mereka terlupa di
pojokan ada seorang tua
sendiri dan memandangmu
dengan diam.
Saudaraku, bahasamu
makin keras
dan kasih-sayangmu telah
lama terbang menjauh
Tiap malam ma tua
bercerita sendiri
seperti dulu masih kecil
duduk mendengar
Cerita Karuhai dan
menidurkanmu dengan
lagu rakyat.
Malam telah jauh
meninggalkan halamannya.
bahasa ma dan mereka
telah berubah
dan semakin tak dapat
dimengerti.
Mereka, saudaraku,
melihat dunia kembang api
dan bungai rampai.
Aku hanya mau melihatmu,
ma
tenang dan tak mengigau
dalam tidur.
Datanglah, pintu ini
terbuka padamu.
Yang ada pada siang
itulah rezeki yang Allah
berikan
Kami menunggu, membawamu
pulang.
Kota Kinabalu
15 September 2013
88. Gubang
Tadi, tebing tanah
pusaka
runtuh jauh ke dalam.
Hari ini, hujan tak
turun.
Ketika lalu rumah Si
Badin,
sepi. Memang ia pemburu
pelanduk dan payau. Kini
entah
ke mana. Orang tak
mengetam padi.
Durong, telah dimakan
anai-anai.
Sekarang bukan musim
banjir
lalu, berhanyut-hanyut
sendirian
membawa gubangku ke
Kuala
Sungai Lakutan.
Gubangku, tadi
di laut kini di atas
pasir.
Di Pantai Palakat,
di bawah pohon
aku membuka bungkusan
tompeh dan ikan goreng.
Sendiri, tapi dalam
sukma,
aku mengenangkan ma,
mengenangmu, Karuhai.
Kota Kinabalu
3 September 2013
Glossari kata-kata
Kedayan, etnis suku Kedayan di Sabah, Malaysia.
* Karuhai-watak lagenda
yang itaat kepada ibu
*Gubang-perahu
*Durong, tempat
menyimpan beras
*mengetam-menuai
*Payau-rusa
*tompeh-pancake
89. Cukundai
Langitmu bagai catatan
yang hampir penuh.
Rembulan cahaya mata
Bajumu kebaya kain
lepas, gelang kaki
mas sewasa kerongsang emas
berbunga
bagai gadis jalan
berlenggang
cukundai pada rambut
ikal mayang
rendah rimbunan
dua sukma, sempurna
wajahmu
mengarak ke jinjang pelamin.
Kota Kinabalu
4 Januari 2014
*Cukundai-cucuk sanggul
90. Apa Yang Kau Tak
Rasakan
Aku tidak melihat kerbau
berkubang
di kampung. Orang seakan
beranggapan
memelihara kerbau
terkait kepada masa
lampau.
Semakin kurang orang
kampung turun
menoreh getah. Selain
pekerja upahan
berkongsi hasil. Sungai
Lakutanmu masih
mengalir. Ketika musim
banjir, arusnya
melimpah sampai ke anak
tangga, bergenang.
Tanah pokok cempedak di
pinggir jalan
tanah bukit pokok getah
tua telah lama
ditebang. Kampung ini
bertukar kulit.
Wajahnya kini wajah
orang pekan. Dari
dulu di sini, telah
bermukim pendatang.
Kalau kau tak ketemu
kerana aku berumah
di tanah bukit. Di situ
tumbuh lebat lamiding
dan pakis, rebung dan
cekuk manis. Aku
ingin merasakan apa yang
kau tak rasakan.
Kota Kinabalu
3 April 2013
91. Kita Masih
bersaudara
Hujan rahmat, kota
digenangi air
tapi, aku masih
melihatmu, jarak
bukan pemisah. Gemuruh
hujan,
air melimpah turun dari
bukit,
seperti warna teh susu.
Sekarang
musim buah. Aku
memanggilmu,
saudaraku. Ia membalas
selamba.
Mesapol, tanah bukitmu
masih NT
Kalau belum saling
mengenal, tiap
pertanyaan menimbulkan
curiga.
Bagaimana aku dapat
menerangkan
sedang kau tak ada waktu mendengar.
Lalu aku berkata, tak
apalah lain
kali saja aku akan memanggilmu.
Bagaimana aku dapat
menerangkan.
Semuanya memerlukan
masa. Soalnya,
aku merasa tertekan
ketika ditanya,
“Ada apa?" Kerana
ia tak mengenalmu.
Jawabku mudah, "Tak
ada apa-apa".
Tiap orang ada rahsia
dibawah kepak
dan sebaiknya membiarkan ia terus
begitu tidak terganggu.
Ada esok.
Kita masih bersaudara walaupun
kita tak kenal, ambil
tak kisah.
Kudat
17 November 2012
92. Sedikit Nasihat Ma
Berkata biar indah
salam bermuka manis
doa dipanjangkan.
Belajar biar rajin
membaca sampai tamat
kembara melangkau bumi.
Sabar biar berlanjut
tangan memberi
hidup sederhana.
Cinta biar sejagat
benci pada yang dosa
berdendam jangan sekali.
Berjuang biar maju
berpura-pura pantang
sekali
taat bertunjang langit.
Menegur biar santun
makan bersopan
mata menunduk.
Solat biarkan sempurna
tahajud secara dawwam
pengorbanan amalan suci.
Canberra
21 Mei 2012
93. Dodoi Mama
Cerita ini belum
selesai, sayang.
Melihat foto ma
berbaju kebaya dengan
kerongsang emas
berkain lepas. Subangnya
indah,
berantai dan bergelang
emas.
Ma suka makan ambuyat
dan gulai hati ayam
bila ke pasar ia membeli
tapai nasi atau ubi
dibungkus daun pisang,
buah kedundung,
mangga, timun dan
kepayas muda dibuat jeruk.
Ma bilang,
"Nin, sekali-sekali
langkuas, sekali makan puas."
Ada cerita, maukah kau
dengar, sayang.
Ayah punya surat lahir zaman
kolonial
alas plastik dijahit
empat penjuru dengan benang
"Surat beranak
penting, jangan hilang." tegas ma.
Malam cahaya lampu
minyak gas
Ma mendodoi anak, kalau
tidak bercerita
ada yang lucu ketika ma
mengingat dan
mengucap dari abjad A
sampai Z.
Ya, dodoi ma masih
kudengar
jelas dengan sari
katanya.
Canberra
18 Mei 2012
94. Pulang Ke Selatan
Pulang ke selatan
jalan-jalannya telah
tertimbus
menyatu menjadi hutan
di situ pernah ada
sebuah rumah
dalam waktu bergeser
atapnya telah bocor
dindingnya dari masa
silam
merindukan kekasih tak
pulang.
Di situ ada rumpun bambu
selalu berseloka kini
senyap
pepohonan tinggi telah
reput
terpanah petir di suatu
malam
jalan ke bukit sepi
gemerisik patah ranting
makin menjauh dan melodi
lagumu hilang.
Memandang ke selatan
terasa melangkah undur
menyemai benih tak
tumbuh
mimpi jatuh sebelum
ranum
cinta dan benci berbaur
bagai menyicip air buah
limpahung.
Berdiri ke selatan
matamu tertutup kabut
sepotong bulan lebur
menjadi pasir
tapi, kau masih menyelak
ingatan, bau tanah
suara tilawat dan tafsir
selepas fajar.
Sebuah rumah di selatan
di situ, anai-anai
telah lama bersarang.
Canberra
29 Mei 2012
95. Aid Mubarak
Mesapol, aku berdiri di
serambi
matahari Aidil Fitri
terpencar
di atas bukit, jalan ke
Weston.
Ramah alam: “Aid Mubarak”
hutan sekeliling berhias
hijau berkilat keemasan
burung terbang sekawan
lagu raya berkumandang
pokok getah cuti
berkemas.
Sejak beberapa hari
dapur
berasap memasak kelupis
tiap malam kunang-kunang
tersangkut di
dahan-dahan
menjadi
tanglung-tanglung
menerangi malam Lailatul
Qadar.
Harum masakan ma
berlingkar
dalam udara menyerap ke
dalam
sukma di malam-malam
tarawi.
Mesapol berdandan dan
berinai
malam itu, sungai
Lakutan mengalir
membawa salam ke setiap
pintu
rembulan dalam mimpimu.
Di sini aku masih
mendengar
suara-suaramu yang
hinggap
di anak bulan dan
panggilanmu
titis madu di hujung
lidah
sesekali kau menyebut
nama
aku mendarahi lidahku.
Honiara
17 Ogos 2012
96.
Warnamu Bertukar
Mesapol,
warnamu sedikit bertukar
hutanmu adalah
khutub khanah, tidak
terlalu besar
sederhana dari keluasan
mata
memandang.
Apalah erti sebuah bukit
yang terhakis
ketika hujan turun terbawa
air sedikit
demi sedikit, khazanah
masa silam, menjadi
lumpur yang
bertekong esok.
Namamu selalu dipanggil
sungaimu adalah
urut-urat nadi
hutanmu itu adalah sukma
langit dan lautmu,
memori hidup
udaramu penyambung masa
lalu dan esok.
Patutkah kau melupakan
adat dan tradisi
menjadi barang silam
yang terbiar dan luntur?
Lalu datang
musim perasmian
kita pun berdandan
berhias dan berpakaian
warna-warni, kain
polyester.
Seharusnya ia hidup
dalam sukmamu
mengalir dari satu
generasi
ke generasi lain.
Budayamu bukan tempalan,
tanpa menjiwai.
Dalam rumahmu
kosong tanpa seni kraf
tradisi
yang bernilai tinggi!
Didik citarasamu,
mengapa perabutmu
barangan murahan
di pasar filipina,
atau bunga plastik
jualan
di pasar borong?
Aku suka caramu
membuat kelupis,
apa lagi kuih Jelurut.
Mesapol,
ketika bertamu,
makan berulam dan
sayur lemak nangka
dari hutanmu.
Honiara
6 Oktober 2012
97.
Khazanah Ditemukan
Mesapol,
telah lama tak terdengar
dekurmu. Sekalipun
sungaimu belum
bertukar arah. Kerinduan
rimbamu
bergenang dalam
diam.Irama hujan
turun di atap zink.
Pokok Bambangan
masih di situ. Kau tak
akan dilupakan.
Khazanah ditemukan.
Musim panas
semalam, kau hilang.
Lalu terasa kau tak
akan kembali, bermukim
di samudera
lautan dan kau tak dapat
diraih hilang
terbawa angin benua.
Tadi, kau datang
setelah lenyap, bau
nafas dari perjalanan
jauh dan mendarat ke
telapak tangan.
Mesapol, kucium bau
tanah
udaramu dalam sukma
mimpi.
Honiara
28 September 2012
98. Resepi Dan Ma
Biar
kau mendengarkan, sayang.
Bagaimana ma mengulit
tepung
tari jemarinya lincah
menggiling
lalu memanas tompe di
kuali logam.
Aku rindu resepimu, ma
bau kaki kerbau dibakar
di atas kompur minyak
gas
lalu dikupas kulitnya
diambil isi dan tulang
dibuat sup.
Ketika turun ke pasar
ma membeli lemak lembu
di atas daun simpul.
Suatu malam kulihat
ma melukis bunga
pada sarung bantal
pensilnya teliti di atas
kain putih
merenda ke dalam malam.
Canberra
17 Mei 2012
99. Firasat Sebuah Hati
Masih kuingat pesan ma
ketika kutinggalkan
mosaik hati di pintu
masuk ke bilik tunggu
ia berdiri dengan mata
redup, bersandal getah
kain pelikat dan berbaju
kurung agak besar sedikit.
Ia mendakapku, bagai
mendakap rembulan
berjengkit sedikit
mencari keningku
lalu menciumnya, ke dahi
kepala dan kedua pipi.
Aku menatap matanya
bagai mencari kekuatan
sambil memeggang tangan
kanannya
"Mohon doa."
"Ya, ma selalu
mendoakanmu."
Kami terdiam sebentar.
Panggilan keberangkatan
terakhir. Lalu kupegang
kedua bahu ma
terasa ringan dan tanpa
perlawanan.
Kudakap ma sekali lagi.
Para penumpang
bergegas masuk. Ma
meregutku,
aku membongkok dengan
rela.
"Ada pesan ma yang
terakhir buatmu."
Kudekatkan telinga cuba
mendengar bisik ma.
"Ikut suara hatimu,
ikut suara hatimu." ma mengulang.
"Firasat."
tegas ma.
Lalu tangan kanannya
menyentuh pipi kananku.
"Pergilah, usah
menoleh."
Canberra
10 Mei 2012
100.
Lagu Ma Dan Kucing
Ma berjalan
mundar-mandir
sekejap pandangannya
melihat ke luar jalan
menyelusuri pagar, melihat
ke bawah ranjang
ke pinggan nasi di
penjuru. Ia tiada.
Ma menaiki tangga
memanggil namanya
(kepada dirinya) tak
pernah ia berpergian
hujan telah berhenti.
Anak-anak sekolah telah
lama pulang. Jalan lengang
dan sepi.
Kenderaan telah pulang
dan parkir.
Ma lalu di kamar Dahlia
dia sudah lama di dalam
kamarnya
malam turun
sekerat-sekerat. Pintu
kamar di tingkat bawah
segaja terbuka
kekasih ma belum pulang.
Ia menunggu.
Mata ma setengah
terpejam. Suara muazin dari
masjid memanggil jemaah.
Dengkurnya kendur
ma berbicara sendiri.
Rasa menyesal berbaur
rindu. Mata ma masih
melihat ke penjuru.
Senyap.
Bagai lagu laut dan
ombak
memulangkan rindu
rahsia suatu malam
terjawab
senyum merekah, mata ma
bercahaya.
Ia melangkah masuk dan
mengelus
kaki ma, lembut dan
manja.
Canberra
8 Mei 2012
101. Aku Dan Ma
Suatu siang di sebuah
pohon di tepi jalan
aku melihat cermin
ada paruh di dahi.
Malam mendayu degup
jantungku
seperti anak kecil
menemukan sesuatu
di halaman laut. Lalu
bercerita sendiri.
Aku beryanyi kecil lagu
dari masa lalu
rumpaian laut lambang
kasih yang sampai.
burung helang di pohon
tinggi di atas bukit
melebarkan kepaknya di
langit perkasa.Turun
mengenapkan kasihnya
pada laut.
Di tepi laut senja aku
berdiri memandang
laut, mengagih harapan.
Sepasang mata
menatap dan perlahan
berpaling dari kanan
Degup jantungnya menabur
gendang siang.
"Ya Allah, turunkan
kepadaku, kasih-Mu."
Seperti memasang lampu
selepas hujan
kunang-kunang bertebaran
di malam remang
Pengorbanan memang
diagihkan. Lalu aku
Mencium syurga pada
kembang ros di dahi ma.
Canberra
8 Mei 2012
102. Puisi Buat Ma
Melihat matamu kendur
gelombang nafasmu.
Langkahmu semakin
terbatas
perlahan dan lemah.
Bagai air menitis
selepas hujan
membuat riak dan
bunyi sesaat jarak.
Kau semakin perasa
pada dunia sekitarmu.
Aku ingin melihatmu
makan berselera
berbual dan mengusik.
Kenangan pun semakin
rapuh dan menjauh.
Dalam bola matamu
yang redup dan kabur
kau menatap sekilas
klik, lalu berlalu
terasa ada yang masih
belum terbuat.
Canberra
7 Mei 2012
103. Kanan
Aku diajar guna tangan
kanan
kepada semua yang baik.
Ma, menasihati
makan guna tangan kanan
bersalaman tangan kanan
menulis tangan kanan
jempul ibu jari kanan
terima hadiah tangan
kanan
jemput masuk tangan
kanan
melangkah ke kanan
berbaring ke kanan.
Di kanan itu malaikat
bulan berpusing ke kanan
bumi berpusing ke kanan
memakai baju dari kanan
jantung ke kanan.
cincin di tangan kanan.
Pak Lah, Badawi, BJ
Habibie,
Harry S. Truman, Ronald
Reagan,
George H.W. Bush, Bill
Clinton,
Barack Obama, Ghandi,
Winston Churchill,
Alexander Agung,
Aristotle
Charlemagne, Julius
Caesar,
Raja Perancis Louis XVI,
Ratu Inggeris Victoria,
Raja muda Inggeris
Charles
Raja muda Inggeris
William,
Fidel Castro, Benjamin
Netanyahu
Ehud Olmert, Jack the
rapper.
Mereka ini pula biasa
kiri.
Kau pula tangan apa
kebiasaanmu?
Canberra
6 Mei 2012
104.
Pesan
Dari Nenek
Ketika melangkah pulang
nenek memandang sekilas.
degup nafasmu masih
segar
segala pesanmu sampai
segala beritamu telah
dibaca.
Mesapol, genggamanku
semakin kendur
pelukanku semakin lemah
dibawa arus menjauh
datangmu tanpa paluan
kompang
pergimu tanpa selamat
jalan.
Mesapol, mimpiku
kesiangan
telah kucuba, segalanya
hanyut ke muara.
Cintamu, Mesapol masih
jelapang hijau
dendammu telah jadi
hakisan runtuh ke laut lepas.
Honiara
20 September 2011
105. Mesapol
Mesapol, menyebutmu
manis madu di hujung lidah
Memetik pakis di hutan
harimau berjuntai
Padi huma kini selamanya
tamu dalam kenangan
Pepohonan getah, Batu
Belah Batu Bertangkup
Halaman hutan pelanduk
kini kosong menyepi.
Mesapol, kukenangkan
cerita si Keruhai
Tak usah dahimu berkerut
kau telah terlupa
Kasihmu lebih dari
Kinabalu yang utuh
Pengorbanan meremaskan
dedaunan kasih merimbun
Ketika mama memberi
isyarat tiada dua kata berulang
Keruhai berlari sepintas
waktu menurut perintah.
Mesapol, kau dilahirkan
kampung lama tinggal nama
huyung-hayang meniti
jambatan mencari nenek
Sayang kebun durian di
tebing sungai telah mati
Sungai Lakutan kusimpul
arusmu mengalir lesu.
Mengapa mengatap rumah
mama segunung daun?
Kata mama sambil mata
meredup, “Keruhai mati tertimbus”.
Kampung lama
Mesapol
Sipitang
2007
106. Cerita nenek
10 March 2011.
Nenek tua
ke mana tak ada khabar
ia dicari dan dipanggil
pulang
semak jalan ke sana
masih itu
hutan bamboo mengenalnya
baik
Siti payung, nenek tua menggelarnya
berkirim pesan supaya
pulang cepat.
Jalan melintas kampung
lama masuk
Ke pepohonan cempedak,
halamanmu.
pohon getah di lereng
bukit rindu
dendam sentuhan pisaumu
di sini, di jalan lereng
ke bukit
lurah curam, keringat
nenek menitis
di sepanjang jalan
pulang nenek
mengomel sendiri
pohon cempedak, rumpun
bambu,
limau kapas akur pendirian
nenek tua
pertukaran musim semakin
menembus liang hati
sekarang kehilangan
nenek mencatuk
ria hutan pepohonan
getah
suara dan cunggap
nafasnya dan
omelan di awal pagi kini
telah tiada
kerinduan pada nenek
kekosongan dan
kehilangan
hutan halaman rumah
lama.
Di suatu pagi cerah,
datang
berita merayau-rayau
mencari nenek
bertanya khabar dan
berkirim
pesan ke rumah lama di
lereng bukit
kalau ketemu, kata
pegawai kebajikan
katakan kepada nenek, datang
ke pejabat Daerah
kami ingin
berbuat-bual dengan nenek tua.
Sipitang
13 April 2011
107. Hidangan Kasih
Lama kita tak ketemu
lalu bersalam
Nasi dihidang kita makan
bersama
Siang berkeringat,
tanahmu masih ramah
Kau menerima tamu dan memberi.
Di sini orang suka
bermimpi
Kalau tidak hatinya
disayat-sayat.
Aku terus bertanya
kerana asyik
Senyum mekar bunga
kemboja
Kami diulit rasa saudara.
Waktu luntur di tapak
tangan
Mengapa mengadai kasih
Lalu membuat pintu
meminta upah.
Maaf, kata orang jauh
Malam ini aku pulang
Mendengar cerita dari
lidahmu sendiri
Kita masih saudara.
Datanglah ke rumah lama
Kerana ia mengingatkan
riamu
Pada pohon bambangan dan
nyanyi pohon bambu.
Kota Kinabalu
12 April 2011
118.
Rumah Tua
Pohon cempedak di atas
bukit
telah tumbang disambar
petir
rebah menjadi batang
mati.
Jalan-jalan pepohonan
getah tua
lama tak dikunjungi
penoreh
menjadi semak-belukar
yang sepi.
Dulu duduk-duduk di
serambi
melihat sekumpulan
monyet
bergayutan dari pohon ke
pohon.
Burung merak terbang
menjauh
dari penggetah burung
yang masih berpendam.
Ketika banjir besar
memukul tebingmu runtuh
sampai ke pohon
bambangan.
Jambatan bambu hanyut
tenggelam sampai ke
lutut
biawak teman di
jelapang.
Tanah sebidang itu
ranjang tidur
yang memanggilmu
sekalipun
beberapa musim telah
kautinggalkan.
Rumah tua di pinggir
paya
pohon bambu yang
merimbun
masih menunggumu datang.
Kampung lama
Mesapol
Sipitang
25 April 2010
109.
Aku Mengusikmu
Mesapol, kau tetap ramah
sekalipun tak ingin bicara
mengenangmu sepanjang
musim sampai ke hati tamyiz
haruskah sebak terluka kerana
kasihmu ikut bermusim
biarkan tekiding silam di
dinding yang dilupa-lupakan.
Mesapol, aku masih rindu
padamu, air mengalir keruh
pelanduk sudah menjauh
di kaki bukit ke dalam hutan
mundar-mandir pemburu
telah lama tak melenting
jerat dipasang tak
dikunjung, ditinggal-tinggalkan.
Mesapol, kita tak ketemu
tapi masih bersaudara
sekalipun aku datang
jalan sudah bertukar arah
jambatanmu pernah menemukan
sepasang hati
sungai mengalir membawa
cerita ke laut.
Mesapol, tak mungkin kau
bisa dilupakan
aku pun ak akan berpura
asing di tanah leluhur
pakis dan batang nibung
masih tumbuh meliar
rumah lama di situ,
pohon cempedak masih berbuah.
Mesapol, getah tua di
tanah pusaka kering satu demi satu
tapak-tapak kaki dingin
pagi, bau peluh dan gemerisik rumput
atau patah ranting
terpijak, jalan kecil di lereng-lereng
bukit
segalanya bercerita
dalam angan dan mimpi yang menjauh.
Mesapol, bau hutanmu
merangsang rindu si burung punai
pelanduk yang mengucil telah
pulang ke rimba malam tadi
sayang, kalau ada belum
mendengar cerita si Keruhai
mari, aku akan bercerita
supaya kau suka mendengar.
Kota Kinabalu
6 April 2011
110.
Ma Pulang Kampung
Kerisik kaki nenek tua
menuruni jalan bukit
langit menitis doa,
tabik burung terbang melintas
wajahnya tersenyum,
salam pada pohon getah,
nenek pulang kampung,
sabar alam menunggu.
'Assalamualaikum,' kata
nenek membuka pintu
air masih dalam
tempayan, minyak kerosen di penjuru
nenek pulang kampung,
sekarang bukan musim buah
langit malam masih
mengirim mimpi.
Air melimpah, hujan
turun sebagai kekasih
kerinduan bukit dan
lambaian pohon bambu
air paya bergenang
sampai ke pinggang
gelegar jambatan bambu
telah hanyut
tapi nenek pulang
kampung, hatinya puas.
Tanah sejengkal, satu
musim buah berlalu
ia terpegun
cengkerama orang kota
selama itu tidurnya tak
pernah mekar bunga
kini nenek pulang
kampung, tumis pakis ikan kering
semalam hujan, rahmat
tujuh tempayan penuh.
Canberra
11 Jun 2011
111.
Harapan!
Pernahkah kau
bernyanyi
sebuah irama tanpa
senikata
menghibur diri
di malam kelam,
derap langkah
mengusik tidur
anjing desa sepi
menepuk bintang
dan bulan sebagai
teman bercanda.
Dengarkanlah
sekalipun air mengalir
telah jauh ke muara
rakit ingatan membuat
riak ke tebing kenangan
Engkau penghiburku
di malam gusar dan
gundah
selamat tinggal 2010.
Honiara
26 December 2010
112.
Nyanyi nenek
Nenek berpesan,
“Tak apalah,
dari dulu nenek sendiri.
Dodoi anak, tidurlah,
malam telah jauh.
Hujan telah berhenti.”
Balas anak,
“Mak, lihat kami sekarang,
bergelang emas dan
bertanah.
Anak-anak dah besar ke
universiti.
Aduh, Mak, kenapa
berbaju lusuh
di majlis perkahwinan.”
Cucu-cucu bernyanyi
korus
“Untuk mama dan ayah,
kami lengkapkan,
dijauhkan kemiskinan
dipohon derajat dan
mewah.”
“Maaf cu, nenek makan
bersepah
berbaju lusuh, jarang
mandi,
berselipar getah.”
“Dari dulu nenek
sendiri.
Dodoi anak, tidurlah,
malam telah jauh.
Hujan telah berhenti.”
Canberra
5 Jun 2011
113. Nenek
Bola matamu menafsir
gerak dan kerdip
menghimpun cerita belum
selesai
malam pun menghamparkan
isi hatinya
pada malam Ramadan al
Mubarak
di malam kemerdekaan.
Hanya menatapmu melayani
selera
Urutan tangan pada bahu
dan kepala
nasihatmu mengalir dalam
urat nadi
kami adalah nafas dan
mimpimu.
Kalau bunga, kau bunga
raya merah
yang tumbuh di tanah
tradisi
sekalipun rumahmu tak
ada perhiasan
berandamu seluas tanah
di jelapang.
Ketika kau mencium
dahiku
kubalas dakapan sepenuh
purnama
pada itikaf Ramadan al
Mubarak
di hari kemerdekaan
kau membisikan satu kata...
Kota Kinabalu/Kuala
Lumpur
1 September 2010
*114. Memaknakan
Di kelas kami belajar
sejarah seperti ma duduk bercerita
kemelut politik, peradaban runtuh, manusia tragik
bau darah, nanah pekat
meleleh, kota ranap, tanah dipagari.
Dari silam roda waktu
bergerak tuntas pada batu kerikil pejal
meregut suara dan
mendiamkan amarah menyembur inferno.
Bayang wajah-wajah kosong
pun hilang jejak
tak pernah tercium bau
gemilang, keagungan nasib
nafasmu berentap mengisi
pundi rongga dada
kami orang kecil tinggal
di kebun getah dan buah
barangkali memang tak akan
mengenal udara bukit
pohon kertas di lereng
rebung bambu di halaman.
Kami melukis langit
gerimis yang membasahi tanah
air bukit mengalir dari sungai
ke laut
kurnia pada rahim yang mengandung
roda waktumu bergerak
mencipta sejarah sendiri.
Honiara
7 Oktober 2010
*Mesapol sebuah pekan tak jauh dari Sipitang, 2 km, Sabah,
Malaysia.
115. Aid Mubarak
Aid mubarak
rumah kami di kampung
lama
bau pohon cempedak
menggurung
bukit dan jauh ke dalam
hutan.
Aid Mubarak pada pohon
bambangan
pada kekasihku, rumpun
bambu
teman ketika sunyi, sang
biawak
pada langit sabar
mencurahkan air
tanah, pendengar yang dermawan,
sungai yang mengalir,
jembatan bambu,
cicak, tikus, pohon
kertas, burung, monyet,
pohon pinang, rambai,
dan jalan ke bukit.
Silakan masuk,
lama tidak mendengar
khabar
lama sudah tidak
bercanda
hari mulia di bulan suci
masuklah, ada kelupis
dan ikan goreng
ramai anak si siti
kembang payung
harga getah naik, harga
getah naik.
Nenek menyanyi sendiri,
“Angin menderu
pohon jatuh menimpah
batu
hatiku bimbang....”
Hiburan, setahun sekali
kasih nenek pada semua.
“Sesekali-sesekali
langkuas
sekali makan puas....”
“Biar sedikit makan ramai-ramai
sedap
sambil ketawa, gigi ngompong
nenek
yang atas tinggal
sebilah.
“Pok amai-amai belang
kupu-kupu....”
“Lihat, si belang ke
mana saja
kau merantau baru
pulang...”
Malam pun berunsai
ketuk kulingtangan rumah
nenek meredup
dekur nafas dari wajah
pewaris masa silam
menarik nafas kendur
perlahan-lahan
menutup mata, tersenyum,
dalam mimpi
memandang jalan pulang,
sendiri!
Honiara
13 September 2010
116. Bual
Berkumpul warga ikan di
kampung lama
ketika pohon tarap
berbuah lebat.
sejak Putian dan Bantang
hanyut dibawa banjir
sunyi yang memulas dan
sejak itu mereka pun diam.
Pohon bambangan memang
ada di situ
ketika orang kampung
masih berpadi huma.
Sesekali air berkocak, ikan
kulian, toan dan tanai
berkirim salam, tapi
suara itu semakin menjauh.
Orang pun berumah di pinggir
paya
Di situ masih ada ikan
sapat, haruan,
karut, balut dan kali
Oh kali sungku, lami,
kami mengenangmu.
Aku hanya melihatmu
dalam mimpi
Putian dan Bantang telah
tiada
kemudian Kulian, Toan
dan Tanai
di airmu yang kering.
Mesapol
Sipitang
17 Mei 2010
117. Dodoi
Nyanyi ma mendodoi anak
tidurlah sayang dalam
koyotan
hentikan tangismu jangan
bersedih
ma nyanyikan lagu
untukmu.
“Angin menderu pohon
jatuh menimpah batu
hatiku bimbang orang
jauh lagi dikenang.”
Kami telah mendengar
nyanyi ma mendayu dalam
mimpi
mendodoiku kala hujan
petang
atau menidurku sampai
jauh malam.
Kuingat cerita-cerita ma
sambil duduk mengurut
kaki
Cerita batu belah
bertangkup
Karuhai anak sayangkan ibu.
Dalam kamar di malam
berkeringat
musim panas kami duduk
berdua
kali ini aku pula yang
bercerita
kutatap seperti ma
menatapku.
“Angin menderu dahan
jatuh menimpa batu
hatiku bimbang orang
jauh lagi dikenang.”
Ku ceritakan padamu,
wahai sayang
rambut ma yang hitam
berkilat
matanya menyimpul kasih
selautan
senyumnya merangkum
benua.
Kini sayat usia mencuri
jauh ke dinihari
langkahnya melemah
menitih jembatan
kabus berendam di
pinggir mata
tapi, hati ma masih
seperti umbut kelapa.
“Angin menderu dahan
jatuh menimpa batu
hatiku bimbang orang
jauh lagi dikenang.”
Sekalipun mesapol telah
berubah
tapi matahari masih
ramah
kau tetap tak berubah ma
ibu yang suka mengucup
dahiku.
Mesapol
Sipitang
10 May 2010
*Karuhai, cerita anak
yang gagah perkasa sangat sayang pada ibunya. Suatu hari ibu menyuruh si
keruhai mengatap rumah. Dia pulang membawa gumpalan daunan terlalu banyak.
Ketika Karuhai membuka akar ikatan, tertimbus Keruhai, menemui ajalnya.
118. Hujan Angin
Berkali kubisikkan ke
telingamu
suara hati meletus pada
ranting kering dalam
berkas api.
Malam itu badai pun
bingkas
atap rumahmu terbang
dibawa angin
lalu hujan pun turun.
Aku menyemak kata dan
langkah
kau mengingatkan aku
tentang moyangku,
perkasa.
Kuseru nama-Mu
pada batu-batu kelikir
yang mendarahi sebuah
doa.
Honiara
7 Jun 2010
119. Suara Rindu ma
Ketika kau berdekatan
dengan ma
Kau melihat sampai gerak
kesalahan kecil
Dan membualnya berulang
kali berhari-hari
Pertukaran iklim cepat
sekalipun berubah sedikit.
Kini kau telah berjauhan
lautan rasamu bergolak
Kau mencari cahaya
purnama di malam gelap
Tapi kau lihat kegelapan
pekat tak berbintang
Guruh bagai bom yang
meletup tetiba.
Kerinduan telah mencuat
di permukaan dan
Perpisahan itu
menjauhkan jarak dan kehilangan
Lalu kau memanggil ma
dalam kerinduan
Kesedaran ini telah
menguak pintu lama terbuka.
Honiara
Oktober 2011
120. Pohon Kasih Sayang
Kau tumbuh menjadi pohon
kasih sayang
Tanah bukit bumi peribumi ditinggalkan
Di situ ada sebuah rumah
tua dan lama
Penghuninya datang pergi
sepanjang tahun.
Pohon buah tumbuh dekat
pohon bambu
Kalau musim tak ada penghuninya pulang
Desa berhampiran datang
memetik buah
Dan mengayau dalam kebun
ini sesuka hati.
Yang datang mencari
rebung, mengetah burung
Mengambil buah, atau
turun menorah getah
Singgah di halaman Nenek
atau berteduh di
Bawah pohon kasih
menunggu hujan berhenti.
Kalau orang beradat kita
pun beradat
Dalam kebun ini tak akan
habis dimakan
Dan sayur seperti pakis,
lembiding dan nangka
Tangan memberi baik dari
tangan menerima.
Kota Kinabalu
September 2009
121. Impian Esok
Kita meraihi pintu ini
bersama
Waktu indah pemberian
samawi
Jauh kita melangkah tak
terasa
Penat atau menyerah di
tengah jalan.
Kau telah memegang
tangan ini
Sepanjang jalan ketika kau lepaskan
Aku meneruskan jalan di
bawah langit
Jauh ke benua selatan
dan lautan teduh.
Ke mana aku berpergian
tali pengikat ini
Menyatukan kita walaupun
terlalu jauh
Ketika pertukaran musim
dan mata angin
Kita dalam kandungan
samawi.
Kau telah mengingatkan
pada kembara ini
Doa-doa disemai sejak
awal itu tak akan
Pernah sia-sia malah
dalam istiqamah ia
terus berkembang dalam sabar dan tawakal.
Sydney
April 2008
122. Doa-doa Ma
Doa-doamu telah mengalir
jauh sampai ke cakerawala, ma
Tak dapat kubayangkan
kau bersujud dan telah terangkat
Sampai ke
bintang-bintang gemerlapan, berteduh di purnama
Kesabaranmu tak ada
sempadan, lafaz doamu senantiasa tulus.
Ma, kau asyik dalam
berdoa dan tak pernah berhenti
Ketika sujud, bisik
suaramu seperti kau berada di langit baru
Melafazkannya dalam
bahasa ibunda dengan tertib dan yakin
Kesungguhan ma berdoa
memberikan harapan dari langit.
Kini telah lahir
keturunan baru di tanah peribumi ini
Mewarisi dan meneruskan
tradisimu berdoa tulus
Dan berzikirullah amanat
hidup tak akan pernah
Menyerah dan ketahanan
dari kekayaan rohanimu.
Perjuangan ini kau
serahkan kepada anak-anak turunan
Purnama yang mencintaimu
dan talian yang kuat ini
Kukuh menjadi
butir-butir bintang pada orbit baru
Jayanya kami kerana
doa-doa ma yang tak pernah berhenti.
Kuala Lumpur
March 2014
123. Melangkah
Kita melangkah sambil
melakukan ishla
Masa silam telah kau
tinggalkan jauh
Kerinduan tak akan mengendurkanmu
Dari meraih kemajuan
rohani tiap langkah.
Doa-doa itu terkumpul
menjadi kekuatan menolong
Istiqamah dan ketakutan
dalam dirimu yang didambakan
Pengorbanan yang abadi
berlangitkan kebenaran nyata
Segala kepalsuan itu
adalah kegelapan yang merugi.
Dari mula sampai akhir,
dari perjuangan ma, kita lanjutkan
Tiap gelombang yang kita
harung perlahan-lahan membawa
Ke pelabuhan damai yang abadi, kita melangkah bersama
Tawakal dan
tanpa-Mu perjuangan ini tak ada erti
samasekali.
Kau telah mendidik aku
dalam berdoa dan menjadi insan
Dan aku mendidik
anak-anak hari ini buat persiapan esok
Kemenangan kau capai
dengan Qurub Illahi dan Zikirullah
Istighfar akan meluaskan
jalan lurus ke pintu-Nya.
Nilai
April 2014
124. Ikatan
Persaudaraan itu
bila-bila musim
Ketika gerhana kau
berikan cahaya
Menghalau kegelapan
menebal
Yang menjadi tembok
pemisah.
Ikatan persaudaraan
rohani berjuang
Membina jalan-jalan
kebaikan dan
Tak akan meninggalkanmu
ketika kau
Masih berjuang meraih tebing
tinggi.
Kalah bangun adalah
pengorbanan
Dan setiap langkah ujian
atasmu
Ketika kalbumu tercabar
kau pohon
Dari kekuatan
menolong dan rahmat-Nya.
Persaudaraan ini bukan
dari niat merangkul
Dunia dan merebut
kekuasaan singgahsana
Jelas ia adalah persaudaraan
rohani yang
Mendahulukan perintah
samawi dari dunia.
Nilai
Mei 2014
125. Makan Malam
Kalau rumah di desa
makan malam setelah maghrib
Ma telah menyiapkan
makanan, makan kampong
Pakis, lembiding, anak
rebung, buah cempedak, betik
Kalau tak bersantan,
makan berulam dan rebus.
Tak ada sambal belacan,
kicap pun boleh dan ikan masin
Lain hari makan ikan
tin, sotong tin, telur dan ikan bilis
Makan tumpeh waktu pagi,
lain hari makan jemput-jemput
Teh sedikit gula,
kopi itu pilihan, ma kurang minum kopi.
Waktu makan kami makan
diam dan bersyukur rezeki hari itu
Masa sarapan ada nasi goreng,
ada bawang dan udang kering
Bulan tua, musim hujan
makan apa saja mengenyangkan perut
biar nasi dan kicap,
nasi tak putus cukup sepanjang bulan.
Tanah leluhur ini tanah
yang luas cukup berkebun dan
cucu berkunjung ke rumah
lama raya dan cuti sekolah
Di sini sejarah kami,
hidup sederhana dan berkongsi bersama
Merindukan ma dan nenek
telah menjadi mimpi awal kami.
Kota Kinabalu
Ogos 2014
126. Hulur Tangan
Aku selalu bertanya pada
diri
Apakah aku telah
menyahut panggilan
Samawi memberikan yang
terbaik
Padamu, ma. Kalau tidak,
aku malu.
Usiamu ikut bersama senja
Kasih sayangmu tetap dan
makin bagus
Ketuaanmu tak menghalang
kau terus
Memberikan inspirasi
selama hayat.
Urat tanganmu makin
jelas, kulit wajahmu
Makin berkedut,
semangatmu masih hebat dan
Bertahan. Kau mencintai
anak-anak turunanmu
Tak membiarkan waktu
berlalu tanpa isian kasih.
Makin lama doamu makin
panjang, ma
Sujudmu makin lama dan isyakmu makin terang
Kaulah, ma, yang kami
cinta dan kasih
mewariskan pada
keturunanmu nikmat berdoa.
Kuala Lumpur
November 2014
*127. Tafsir Mimpi
Kau tak akan pernah percaya
Aku bilang selama ini aku
tak pernah
Bermimpi. Semua orang
yang mendengar
ketawa dan berkata ada
yang tak betul.
Aku tak pernah cemburu
kerana kau bermimpi
Paling tidak seminggu
sekali kau akan bermimpi
Tapi jangan heran
tidurku gundah dan terbangun
Di tengah malam buta di
tempat tidur.
Ketika terbangun waktu
pagi aku telah lupa
Kisah semalam, lalu memulai
hariku seperti biasa
Malam tiba aku tidur seperti
orang lain
tak mengharapkan malam
ini aku akan bermimpi.
Sebelum subuh aku
terbangun hairan
Apa telah terjadi datang
seperti ombak
aku telah bermimpi
sekali dalam hidup
Cuma aku tak tau menafsirkan
mimpimu.
128. Malam Panas
Malam ini seluruh tubuh
ini merasakan
Bahang panas di negeri
Khatulistiwa
Aku cari hawa dingin
dari malam purnama
Atau di lembah
pergunungan sebelum fajar.
Bisik kasih yang kau
lafazkan dan pegang
Pada dahan harapan
berpijak pada bumi iman
Kebenaran itu adalah siang
benderang
Mententeramkan jiwamu
sampai kiamat.
Kata-kata mengalir
seperti anak sungai
Yang mencari sungaimu
yang lebih besar
Menjadi satu kekuatan
ketika mengalir lalu
menjadi air terjun yang
dingin dan indah.
Hawamu langit telah menyejukkan kalbu
Dan seluruh tubuhmu
mendambakan air samawi
Membebaskanmu dari
malam-malam panas
Tapi kesabaran dan
tawakal adalah ketahananmu.
Sandakan
November 2013
129. Kuburan
Mengenangkanmu kembali
ke masa silam
Keupayaan dan langkahmu
kecil ketika itu
Tiap yang hidup
menemukan garis terakhir
Yang silam telah berlaku
sekarang pasti berlalu.
Ma kasih pada ibunya
walaupun sangat sedikit
Tapi menjadi kenangan
sampai akhir hidup
Ditanya tentang ma, ibu,
nenekmu seorang baik
melahirkan dua anak, jatuh sakit dan meninggal.
Ketika itu ma masih 12
tahun selain berkabung
Langit telah mengirimkan
isyarat meninggalkan
Tanah leluhurmu ke
seberang laut Pulau Labuan
Kuburan ibu ma bernisan
kayu merata dengan tanah.
Kota Kinabalu
Julai 2000
130. Langit Maghrib
Tabir langit maghrib
telah turun perlahan
Doa kelangsungan hidup
pada-Mu demi
Kekuatan menolong dan
kesabaran tak
Pernah dikalahkan, kasih
pada ma.
Kata-kata keterlanjuran
dan kekasaran
Datang seperti badai
dibawa angin kemudian
Redah sendiri laut
tenang di bawah langit siang
Selalu mengharapkan
terbaik pada seorang ma.
Aku telah kembali padamu
dari kembara jauh
Jarak waktu yang
panjang ini satu ujian terus
Waktu indah ini adalah
anugerah Allah Taala
Di dalam doa kita
melakukan yang terbaik.
Ketika aku berjanji
tentang dunia di pundak
Dan waktu tiba tak
menjadi sempurna kerana
Aku telah memilih samawi
dan ketika datang
Padamu, hanya musafir
melangkah garis terakhir.
Sandakan
Oktober 2013
131. Sujud Berdoa
Ma, kau makin asyik
berdoa tiap solat
Langit makin dekat dan
tersentuh lembut
Bisik-bisik dalam berdoa
terang dan jelas
Kau melihat alam maya
penuh pengertian.
Dunia telah lama kau
tinggalkan bagai bayang-bayang
Kau telah memilih jalan
ini ke pintu syafaat Muhammad
Perhatianmu hanya satu
perjuangan bertemu Kekasih
Inilah jalan kemenangan,
tak ada jalan pintas, menghadap-Mu.
Ma, kau merenungkan
hidup ia sebatang pohon kayu
Di rimba jati tentu
tinggi dan mempunyai daun-daun
Merimbun dan tunjangnya
menjunam kuat di dalam tanah
Ketika melihatnya, tiap
hati tenteram anugerah Tuhan.
Kota Kinabalu
Januari 2014
132. Sarapan Pagi
Tiap pagi selepas fajar
kau telah sibuk
Ikut suara hatimu
menikmati langit siang
Kedatangan siang menawan
telah memberi
Kekuatan anugerah dari
samawi sehari lagi.
Ma, kau tak selalu
mengomel hari yang datang
Dan pergi membawa rahmat
Illahi dan kau
Terus menyatakan
kesyukuran tambahan waktu
Kau berdoa dan bercakap
dengan Tuhan Rahman.
Di pojok dapur ma
berfikir sajian makan pagi
Kegembiraan ma, keluarga
makan semeja
Kenyang dan lapar biar dihadapi bersama
Berat sama dipikul
ringan sama dijinjing.
Derita-derita masa silam
telah berlalu
Anak-anak telah dewasa
mengurus hidup sendiri
Pada ma, mendirikan
solat itu mesti dikerjakan
Tak akan ada kejayaan duniawi
tanpa doa mengalir.
Sandakan
Disember 2013
133. Ingatan ma
Kampung lama telah
bertukar wajah
Dulu kampung kedayan
orang berpadi bukit
Menoreh getah di musim
panas ketika banjir
Air melempah sampai kaki
bukit, tebing runtuh.
Ramai penduduk asal
telah berpindah ke pekan dan kota
Orang baru berkahwin
tempatan duduk di kampung lama
Hutan getah di bukit
telah ditumbang getah baru ditanam
Jauh ke dalam hutan
ramai mulai berkebun di tanah sewa.
Mesapol masih
kampung-kampung orang Kedayan
Ada yang merantau
pulang ke tanah leluhur tapi
Yang asli pergi tak
pulang-pulang ke desa halaman
Pelatnya berubah kampung
kedayan hingga Sipitang .
Rimba dan hutanmu telah terbongkar
orang baru datang
Rusa dan pelanduk telah
mulai menghilang di hutan sendiri
Suara rimba mulai
mengendur dan terbang menjauh
Tanah leluhur Kampung
Kedayan berubah samasekali.
Mesapol
March 2014
134. Usia
Kalau usia nenek seperti
pokok getah
Kau berkata lebih
dari pokok getah walaupun
Sekarang tak bisa
mengeluarkan getah
Kerat-kerat di kulitnya
telah terlampau banyak.
Ketika pokok getah siap
masanya ditumbang
penduduk di sini telah setuju
tanam getah baru
Susunya nanti banyak, pendapatan akan tambah
Kehidupan pasti berubah
selangkah lagi ke depan.
Tapi kalau dibiarkan
pokok getah tua tumbang sendiri
Tanahnya ditanam kelapa sawit, hasil lumayan
Sekarang orang tak
mempedulikan pokok getah tua
Disambar petir atau mati
sendiri menjadi batang buruk.
Soalnya nenek bukan
pohon getah tua yang tak berharga
Ia adalah segala-galanya
lambang dan warisan hidup
rencah-rencah kehidupan
nenek dapat diturunkan waris
penerus anak keturunan
di bawah langit dan bumi baru.
Mesapol
Oktober 2013
135. Semangat Nenek
Cucuku, kau telah
mengenal nenekmu
Usiamu baru anak rebung
yang tumbuh
Hubungan kasih yang
telah tersimpul erat
Satu sama lain dalam
titis waktu mendambakan.
Cucuku, kau telah
mempelajari bahasa ibunda
Kata-kata beradat, bersulam
tradisi dan ugama
Dalam kalbumu membentuk
keperibadianmu
Kau meniru pengucapan
dan perasaan nenek.
Kau telah pandai
memanggil nenek turun sarapan
Ketika nenek dan cucu
berbual dalam bahasa rasa
Aku dapat melihat cahaya
pada kedua pasang mata
Hubungan erat seperti
kapal dan laut belayar tenang.
Nenek berdoa hari-hari
mendatang dan keselamatanmu
Hari semalam dan hari
ini berjalan bergandingan
Membawa cerita-ceritanya
sendiri saling kait-mengait
Pengalaman kasih dan
cinta nenek dan cucu menjadi pulau.
Nilai
Disember 2015
136. Makan Berulam
Selera makan ma masih
hebat
Makan Berulam, nasi
berlauk ikan tin
Kalau ada ikan bilis dan
udang kering
Kesukaan ma dicampur
dengan sayur tumis.
Kami makan bersama
semeja dan
nasi tambah berkuah
sayur labu rebus
Telur dadar, keropok
ikan, ayam goreng
Tukar sajian setiap pagi
dan makan sekahrli.
Setelah maghrib kami
berhenti makan
Minum ringan sebelum
tidur, dikurangkan makan
Begitulah tiap hari kami
di rumah, makan seadanya
Walaupun selera makan
masih bagus pada ma.
Nilai
Mei 2014
137. Perjuangan Ma
Halaman perjuangan
hidupnya telah
Menjadi teladan hidup
yang gah dan berani
Perjuangan dan
pengorbanan ma tak berhenti
Sampai akhir hayat menjadi
pengucapan yang dikenang.
Perjuangan Ma adalah
perjuangan kita bersama
Memberimu pakaian, atap tinggal
dan pergi ke sekolah
Kejayaanmu di sini
membuka pintu yang lain dan
Kau mengambil peluang
seperti ini tak akan berulang.
Pandangan hidup ma telah
menjadi kutipan
Tiap yang terbaik dari
penghidupan ma akan
Tinggal dalam dirimu dan ia tak akan pernah
Selamanya menjadi langit
biru dan lautan damai.
Ma hidup dalam doa
nenek, dan kau hidup dalam doa ma
Doa nenek dan ma akan
hidup dalam kelangsungan hidup
Tazkirah nenek dan ma
telah menyerap ke dalam kalbu
Doa mereka telah menjadi
perlindungan kekal abadi.
Kuala Lumpur
Ogos 2015
138. Kebahagiaan
Tiada kebahagiaan tanpa
kerja keras dan doa
terus-menerus dari
takabur dan sombong
Kesabaran dan rendah
hati membawamu pada
Kemenangan batin yang
tak terkalahkan.
Katamu kebahagiaan itu
yang dekat dalam dirimu
Ketika kau berkelana ke
hujung dan keliling dunia
Memburu dunia tak pernah
berakhir sampai kiamat
kau tak ingin berhenti
seperti mengejar mata angin.
Kebahagiaan rohanimu hanya
ikut jalan lurus
Sekalipun ia tetap cuba
menghadang kau supaya
Kau kalah dalam
kehidupan ini dan berundur
Dan berputus asa pada
sikap dan tindakanmu.
Jiwa yang tenteram
ketika kau kembali pada Allah
Kebahagiaan bukan pada
lahiriah sedangkan batin
Menderita sampai ke
gunung api dan tak ada jalan pulang
Tapi kebahagiaan hakiki
jiwa yang pasrah pada samawi.
Kuala Lumpur
Mei 2012
139. Melangkah Malam
Malam telah terhampar
luas
Aku telah melangkah
masuk
Kau berdiri membuka
pintu
Matamu bintang
gemerlapan.
Selama ini kau nahkoda
Penumpangmu adalah
dirimu
Pelayaran tanpa
gelombang
Dan ribut bukan
kembaramu.
Di tengah laut kau
menafsirkan
Rahsia langit terbuka
luas misteri
dan pertanyaanmu
terjawab sendiri
pada malam ada kekuatan
abadi.
Kau telah membaca
peralihan malam
Bergerak menuju ke
pelabuhan damai
Aku memandangmu dalam
takaran waktu
Menafsirkan arah
perjalanan malammu.
Honiara
April 2009
140. Kenangan
Matahari senja turun
tenang dan perlahan
Tanpa disedari hari
telah menjelang maghrib
Alam bertukar wajahnya
dengan terbuka
Atas kesedaran ini kau
bersiap tanpa membantah.
Kenangan silam kau lipat
dengan baik
Lalu menyimpannya dalam almari kalbumu
Kekadang ia mencuat ke
permukaan menyedut
nafas atau kau
terpanggil menyatakan rindu.
Kenangan itu telah
tersusun kemas dan rapi
Ia tak akan tersentuh
terkubur selamanya
Dan kepulangan ini
membawamu kenangan
Amanat yang disampaikan
pada yang tinggal.
Honiara
September 2010
141. Pakis
Nenek baru pulang dari memetik pakis
Dari hutan dekat kebun
getah tanah leluhur
Sayur Pakis tak pernah
habis asal ada selera makan
Masak tumis seperti
menumis kangkong.
Makan sayur kampung tak
pernah jemu
Mancing ikan di sungai
Lakutan atau di-
Pinggir kali memang
selalu berikan air tawar
Asal ada usaha pasti tak
lapar di tanah sendiri.
Hujan turun tanah bukit
basah sampai seminggu
Adakalanya petir dan
kilat sabung menyambung
Sungai Lakutan mengalir
penuh sampai melimpah
Dulu memang payah ke
Mesapol di musim banjir.
Wajah Mesapol kini
banyak berubah
Resah penduduk ikut
mengalir jauh ke laut
Musim pakis dari kaki
bukit sampai puncak
Matahari bersahabat
dengan langit Mesapol.
Mesapol
September 1214
142. Panggilan Dari Rantau
Dulu memang kerap berkirim
surat
Zaman bertukar cepat dan
pantas
Dari surat menyurat lalu
panggilan
Telefon rumah ke telefon
bimbit.
Musim dingin di selatan,
panas di Mesapol
Lama tidak menulis dan
bertanya khabar
Berapa Ramadan telah
datang dan berlalu
Rindu ma di perantauan,
jauh ma di rumah lama.
Siang itu kupanggil ma
di rumah lama
Tak berlestrik dan
bertali air, menunggu hujan
Telefon bimbit masih
berdering panjang
Tapi seminggu sekali ma
turun ke pekan.
Kalau tidak di rumah
lama ma jual buah
Atau ke Sandakan
menjenguk dik perempuan
Sakitkah ma kerana lama
tak jawab telefon
Aku berdoa satu purnama,
anakmu akan pulang.
Canberra
Februari 2008
143. Buah Bambangan
Pokok Bambangan itu
masih di situ
Dekat halaman rumah lama
yang ditinggalkan
Ia berdiri seperti
pegawal yang menjaga tuannya
Kesetiaannya tak
diragukan kau dapat melihat sendiri.
Rumah beratap zink itu
bertahan sekalipun
Penghuninya tiada
khabarnya entah di mana
Tapi Pokok Bambangan
masih tegak berdiri
Ketika ribut petir, pokok cempedak yang tumbang.
Pernah penceroboh datang
suatu siang ingin
Menumbang pokok
Bambangan di halaman
Tapi pencereoboh itu membatalkan
niatnya
Pokok Bambangan
terselamat dari rencana jahat.
Rindu Pokok Bambangan
akan nenek tua di rumah lama
Selalu nenek
mengelus-ngelus batang Pohon Bambangan
“Kau berbuah lebat, nenek
ingin pertama merasakannya.”
Tahun ini Pokok
Bambangan berbuah lebat, nenek belum datang.
Sandakan
Julai 2011
144. Nasihat Ayah
Ketika
aku dengar berita, senja mulai berkepak
kapal
yang bertarung gelombang semalam
telah
tiba di pelabuhan dan melabuh sauh
kini
nahkoda bisa menghirup udara puas.
Bukan
kembara kalau kisahmu hanya bulan purnama
kerana
ketika langkah pertama kau telah melihat
isyarat
pada langit dan perubahan bumimu
tak
akan menghalangmu menyempurnakan impianmu.
Doa
seorang ayah sampai ke pintu akhir zaman
dalam
kalbumu hidup kalimat tauhid dan kecintaanmu
Muhammad,
Rasulullah, wujud agung dan suci
mengalir
dalam darahmu, kedamaian yang hakiki.
Aku
mengingatimu dalam doa-doa anak
kata
dan kalimat yang tulus dan rendah hati
kelembutan
pada wajah dan pembawaan diri
tanpa
rahmat-Mu, gerak dan tindak tak ada kelazatan.
Canberra
April
2013
145. Rahmat turun
Solat di rumah nenek
pengalaman indah
Biar rumah lama dan
kecil masuk waktu
Turun mengambil wuduk
waktu solat fajar
Dengan air hujan sedikit
dan berhati-hati.
Azan berkumandang
menembusi dinding papan
Masing-masing sibuk
membuat persiapan diri
Pagi buta yang penuh
berkat berdiri saf kecil
Nenek lebih duluan siap
menunggu makmun.
Imam mengangkat takbir
dan meletakkan kedua tangan
Di atas pusat penuh perhatian di atas sejadah
Aku membacanya perlahan
dan tenang, berdiri, ruku
Dan sadjah sampai ke
salam terakhir lalu sedikit daras.
Menunggu tabir siang
tersingkat dan nenek sibuk
Mengulit tepung dan
mengoreng cempedak dan kopi hitam
Memandang halaman, rumpun bambu, nyanyi burung pagi
Dan kilas cahaya
matahari lembut masuk dari jendela.
Kemeriahan langit
Mesapol menerima kunjungan tamu
Ma menginginkan tiap
pertemuan satu kenangan istimewa
Rumah lama jalan turun ke
bukit kehadiran anak dan cucu
Ini anugerah rahmat
Allah turun dan tak pernah berhenti.
Mesapol
Julai 2010
146. Cucu Datang
Tahun itu cucumu
datang dari benua selatan
Ia turun dari angkasa
dengan kawan-kawannya
Lama ia mendengar
tentang tanah bukit rumah lama
sebagai anak muda masih
ada waktu menjenguk nenek.
Mereka menukar rumah
lama menjadi tenda bermalam
Tanah bukit dan sungai
kecil dan sebilah parang cukup
Menggeledah hutan
halaman rumah menjadi kubu lanun
Terjun ke dalam sungai
seperti berkelah di pantai pasir OZ .
Tanah kebun ini
suara-suara mereka melaung seperti
Tarzan walaupun musim
cempedak telah di hujung musim
Rumah lama tak berkamar,
malam itu tiga pemuda terlayah lelah
Sepanjang hari nenek
memberikan segala yang ada padanya.
Kunjungan kilat ini
meninggalkan kenangan pada nenek
tanah kebun tak pernah
menerima tamu dari Southern Cross
malam itu langit Mesapol
mengirimkan sekilas cahaya dan
nenek menyambut
perpisahan ini hadiah istimewa dari langit.
Canberra
November 2009
147. Doa Terkabul
Jauh di Selatan
Kepulauan Pasifik
Rindumu pada langit
tanah leluhur
Datang ketika kau dalam
kesunyian
Mencakar-cakar dalam
impianmu.
Ketenangan kalbumu ketika berdoa
Kau lafazkan kata-kata
yang tersusun
Tulus dari suara rindu
datang dari kalbu
Suatu masa kau akan
datang bertemu ma.
Gelombang waktu telah
merubah
Wajah lautan dalam sekelip mata
Kepulanganmu
diperhitungkan
Walaupun perubahan pada
bumimu cepat.
Doamu telah sempurna
tepat musim bunga
Kepulangan anak dari
rantau menggenapkan
Mimpi-mimpi yang terhimpun
selama ini
Menjadi pertemuan anak-anak
sungai di muara.
Canberra
Ogos 2009
148. Hidup, Hidup
Langkahmu terus dan tak
berhenti
Ketika berada di atas
puncak kau
Memandang laut luas dan
langit
Denyut nafasmu tenang
merelakan.
Berada di puncak kau tak
memikirkan
Segalanya telah berakhir
di sini
Kembara ini terus dan
tak akan berhenti
Tiap perhentian
kelangsungan hidup.
Pada wajahmu memang ada
perubahaan
Alam sekitarmu pun ikut
berubah
Perlahan dan cepat itu
masih perjuangan
Dan tiap perjuangan ada
pengorbanan.
Tiap penggal kau
tinggalkan di belakang
dari cerita sendiri dan
zamannya
Kau hanya melakukan ikut
keupayaan
Selain itu tawakal pada
Tuhan Rahman.
Canberra
Julai 2012
149. Kasih Abadi
Kerinduan ini telah
terbabat
Pada samawi menghulurkan
tangannya
Bumi yang pasrah pada
kasih sayang
Dan kau menyerapkan
semua ini dalam doa.
Ketika usiamu melangkah
naik ke tangga langit
Keyakinanmu bertambah
pasti dan tumpuan
Makin pasti berpijak
pada landasan yang kuat
Ini jalan yang tak
keliru dan benar bertemu-Mu.
Kebenaran itu adalah keyakinan dan pengertian
Yang tak keliru dan
semua kepalsuan telah tertutup
Jalan batil membawa
langkahmu pada kegelapan
Dan kau tak akan
menyerah dan berpatah balik.
Kasih sayang abadi yang
terpencar dari kalbu
Yang tulus dan menerima
maut lalu memulai
Kehidupan baru sekalipun
berat mata melihat
Tiada yang abadi hanya
kembali kepada Rabb-Mu.
Kuala Lumpur
March 2014
150. Hari Wanita Buat Ma
Aku
telah kembali padamu suatu malam bulan purnama penuh
kembara
ini tak merubah langit junjunganmu bumi berpijak
barangkali
yang berubah pohon di halaman kehilangan daun
kerat-kerat
di wajahmu, telah menunjukkan jati dirimu, ma.
Di
lautan rindu dan bumi terasing aku terus memanggilmu
ketika
aku bergelut pada gelombang dan jerebu kemarau
padamu,
aku mencari kekuatan dan ketahanan diri, ma
aku
tak pernah mengalah pada segala musim bertarung.
Kau
telah menunggu kepulangan ini di negeri pergunungan
malam-malam
gerhana dan gempa di kalbumu telah berlalu
mimpi-mimpi
buruk seperti komet yang hanggus di cakerawala
gema
suaramu ma, kelangsungan hidup dan kebenaran samawi.
Dalam
doa-doa tawajuh di Malam Tajalli aku mengenangkanmu
denyut
nafasmu ada kelembutan dan rendah diri seorang wanita
kau
mengajarku melangkah di tanah peribumi di bawah langit baru
berjihad
nafsi dan dalam aksaramu tak ada derhaka dan kekerasan.
Bernyanyilah
Cenderawasih, tiap lidah mengucap kejuitaanmu
lagumu
Zikirullah menurunkan hujan samawi di
tanah gersang
menyempurnakan
harapan dan purnama di langit kalbumu, ma
zalim
dan penderaan terhadap wanita, musuhmu yang dikalahkan.
*Tersiar di Utusan Borneo 13 March 2016
End/….
Comments
Post a Comment