Kumpulan Puisi Tok tok Ugai oleh Sabahuddin Senin

 

 Kumpulan Puisi Tok Tok Ugai (150 Puisi)

oleh Sabahuddin Senin

Last editing 27 April 2016  12:58 PM

Lampiran:

 

Tok tok Ugai (Mengajat budak-budak)*

 

Tok tok ugai

ugai si duyung duyung

mana ambok ba ugai

atas kepala duyung.

 

Umpu umpu bulan

natuk ke tailand

minjam kupedang

pa natak buku bulu.

 

Kanapa buku bulu

titian ke seberang

kenapa ke seberang

menangkap ayam tukong.

 

Kanapa ayam tukong

kan ubat dayang pingai.

kanapa dayang pingai

terhantuk bibir perahu

di mana ta antoknya

ditundun sua-sua

berapa banyak darahnya

saipang ngarah-ngarah.

 

Unja-unja papan

papan tak ngiu-ngiu

nenekmu lambat datang

membawa salai hiu.

 

Unja-unja papan

belapik daun bulu

lakinya dua lapan

binimu dua pulu.

Sikiang angkang-angkang 2X
pianai merah mata.

 

Bit-bit uting

uting tak ngiak-ngiak

siapa kepedasan

naik di rumah tinggi

rumah siapa

rumah pianai merah mata.

Ngiak-ngiak-ngiak.

 

Kota Kinabalu

28 November 2013 

1. Mesapol

 Mesapol, sekali menyebutmu

manis madu di hujung lidah

bertakiding di hutan harimau berjuntai.

memetik lambiding, pakis,

sayur bunggar, sayur saya baguna.

Kampung lama padi huma

pohon getah dan rumpun bamboo

hutan pelanduk kosong menyepi.

 

Mesapol, sekali menyebutmu

kukenangkan cerita Karuhai

kasih ma lebih dari Kinabalu

sekali ia  memberi perintah

tiada dua kali kata berulang

Karuhai berlari sepintas waktu.

 

Mesapol, di situ kau dilahirkan

meskipun kampung lama tinggal nama

Mengapa mengatap segunung daun?

Kata mama sambil matanya meredup

“Kasihan, Karuhai mati tertimbus.”

Sungai Lakutan kusimpul arusmu mengalir lesu.

 

Kampung lama

Mesapol

March 2008

2. Nenek

Kutatap bola matamu

menafsir gerak dan kerdip

menghimpun cerita belum selesai

malam menghamparkan isi hatinya

pada malam Ramadan al Mubarak

pada malam kemerdekaan.

 

Aku puas hanya menatapmu

mengunyah dan melayani selera

nasihatmu mengalir dalam urat nadi

kami, penerus nafas dan mimpimu.

 

Kalau bunga, kau bunga raya merah

yang  tumbuh di tanah tradisi

rumahmu tak ada perhiasan

berandamu luas tanah di jelapang

kini cucumu punya cermin

semakin menyukainya pula.

 

Ketika kau mencium dahiku

kubalas dakapan sepenuh purnama

pada itikaf  Ramadan al Mubarak

pada hari kemerdekaan

kau selalu menyatakan kasihmu.

 

Kota Kinabalu/Kuala Lumpur

1 September 2010

 

3.Titian

Kudatangi kau ketika siangmu merekah

katamu mengapa berangkat terlalu cepat

sebelum bermalam menjamah mimpi

kita keburu meraih dunia datang bergolek.

 

Sila minum hidangan ala kadarnya

lalu kau pun baru teringat persaudaraan

yang ditinggalkan dalam semak belukar

seakan sirna pada malam bertaburan bintang.

 

Kalau kau menaruh curiga pada sebuah kasih

bagaimana mungkin aku dapat mendekatimu

kita telah ke sasar pada senja yang menunggu

lembut kata manis dan seri wajah yang mekar

menghakis cuka-cuka hati masa silam.

 

Haruskah kita menjadi gusar dan menjauh

memang kita tak kenal dan jauh di lubuk hati

ada pematang yang menjadi titian antara kita

supaya kenal dan bisa mengucap salam.

Mesapol

Sipitang

1 September 2010

 

4. Jembatan Lama

Jembatan lama

jalan ke kampung

kebun buah di liku sungai.

Sungai Lakutan mengikis

tanah tebing jembatan lama.

 

Dalam mimpi semalam

pohon cempedak

pohon bambangan

getah tua

buah terap

rumpun bambu

hanyut dibawa banjir ke kuala

bukit Mesapol

Jembatan lama

kerongsang masa silam.

 

Kampung Lama

Mesapol

9 Jun 2010

 

5. Dagang

Seperti pada keramaian siang

sekilas pandang, tanpa menyapa

berlalu pergi

katamu, aku dagang di tanah sendiri.

 

Ketika bertemu

laut di waktu pagi tak beriak

tapi pada sepasang mata

ada dendam yang menelur

dan berendam di situ.

 

Mesapol, tak ingin kulepaskan

biar kujabat tanganmu!

Mesapol

8 Jun 2010


6. Hujan Angin

Berkali kubisikkan ke telingamu

suara hati meletus pada

ranting kering dalam berkas api.

 

Malam itu badai pun bingkas

atap rumahmu terbang dibawa angin

lalu hujan pun turun.

 

Aku menyemak kata dan langkah

tentang moyangku yang perkasa.

Kuseru nama-Mu

pada batu-batu kenangan

yang mendarahi sebuah doa.

Honiara

7 Jun 2010

 

7. Dodoi

Nyanyi mama mendodoi Mesapol

tidurlah sayang dalam koyotan

hentikan tangismu usah bersedih

mama nyanyikan lagu untukmu.

 

Angin menderu pohon jatuh menimpah batu

hatiku bimbang orang jauh lagi dikenang.

 

Entah ratusan kali kudengar

nyanyi ma mendayu dalam mimpi

mendodoiku seperti hujan petang

menidurku sampai jauh malam.

 

Kuingat cerita-cerita mama

sambil duduk mengurut kaki

cerita Batu Belah Bertangkup

si Karuhai* anak sayangkan ibu.

 

Dalam kamar di malam berkeringat

kami duduk berdua musim kemarau

mama mulai bercerita dengan tertib

kutatap seperti mama menatapku.

 

Angin menderu dahan jatuh menimpa batu

hatiku bimbang orang jauh lagi dikenang.

 

Kuceritakan kepadamu, wahai sayang

rambut nenek yang hitam berkilat

matanya menyimpul kasih selautan

senyumnya merangkum benua.

 

Kini sayat usia mencuri jauh ke dinihari

langkahnya melemah menitih jembatan

kabus berendam di pinggir mata

hatinya masih seperti umbut kelapa.

 

Angin menderu dahan jatuh menimpa batu

hatiku bimbang orang jauh lagi dikenang.

 

Sekalipun Mesapol sudah berubah

tapi matahari masih ramah

kau tetap tak berubah masih

mama yang suka mengucup dahiku.

Mesapol

Sipitang

10 May 2010

*Karuhai, cerita tentang anak yang gagah perkasa sangat sayang pada ibunya. Suatu hari ibunya menyuruh Karuhai mengatap rumah. Dia pulang dengan membawa gumpalan daunan terlalu banyak. Ketika ia membuka akar ikatan tertimbus Karuhai, menemui ajalnya.

 8. Lagu (Buat Orang Kampung)

Apa ada pada sebuah harapan

salam yang terhimpun

dalam doa makbul musafir

merah tanah tergenggam.

 

Apa ada pada sebuah fikiran

kalau setiap orang diam

setiap kata hanya getaran

pada cuping telinga anak.

 

Apa ada pada sebuah tanah

kalau nanti terhakis ke laut

tapaknya yang tergenang air

rimbanya sunyi tak bercerita.

 

Apa ada pada sebuah ingatan

tradisi segumpal terus tertimbus

kau pun cepat menjadi pelupa

mereka pula tak ingin bertanya.

 

Apa ada pada sebuah wajah

kerat-kerat pada pohon getah

lereng bukit yang dirintis

mimpi kesiangan yang terputus.

 

Apa ada pada sebuah kata

penghibur sebuah duka

menjadi baris-baris puisi

membuat kau gundah.

 

Apa ada pada sebuah doa

kalau tak dinafaskan

dalam solat dan tahajud

pada malam tasyakur.

 

Noumea

September 2004

 

9. Rumah

Rumah Lama

Pohon cempedak di atas bukit

telah tumbang disambar petir

rebah menjadi batang mati.

 

Jalan-jalan perkebunan getah tua

telah lama tak dikunjungi penoreh

menjadi semak-belukar yang sepi.

 

Pernah duduk  di serambi rumah

melihat sekumpulan monyet

bergayutan dari pohon ke pohon.

 

Burung merak terbang menjauh

dari penggetah burung

yang masih berpendam rasa.

 

Ketika banjir besar datang

memukul tebing runtuh

sampai ke pokok bambangan.

 

Jembatan bambu hanyut

tenggelam sampai ke lutut

biawak riuh di jelapang.

 

Tanah sebidang itu ranjang tidur

yang memanggilmu sekalipun

beberapa musim telah kautinggalkan.

 

Rumah lama di pinggir paya

pohon bambu yang merimbun

masih menunggumu datang.

Kampung lama

Mesapol

25 April 2010

 

10. Sungai Lakutan

Sungai Lakutan,

liku-likumu kain selendang sutera mengelus

arusmu ketenangan Kinabalu selepas subuh.

 

Sungai Lakutan,

kupanggil namamu pada rembulan

kuusap dadamu kerana aku terlalu rindu.

 

Sungai Lakutan,

kudengar patah ranting tebing yang runtuh

langsir malam yang mengusik.

 

Sungai Lakutan,

kuanyam dukalaraku pada riak-riakmu

telah kulepaskan mimpi terhiris pada langit biru.

 

Sungai Lakutan,

kekasih yang bersimpuh

matahari yang tersirah.

 

Mesapol

Sipitang

3 Mei 2010

 

11.Tamu

 

Kedai lama dua sederet

pasar tamu selera sekampung

buah salak kesukaan mama

kelupis mengubit rindu.

 

Tiap tamu ia pasti turun

bergonceng basikal

minum kopi seusai berbual

ke kedai hujung bertanya surat.

 

Pada tamu yang datang

 penumpang yang turun

atau orang jauh singgah

ia masih terus berharap.

 

Mata tuanya rimbunan hijau

senyum bersongkok hitam

foto kelabu melekat pada album

sudah kulihat belum ketemu.

 

Senja yang merangkak

malam yang sarat

ia masih terus menunggu

kata-katanya menjadi genap.

 

Dulu ia seorang ayah kepada

anak seorang perempuan

di malam gundah itu

selamat tinggal Mesapol.

 

Kini puluhan musim buah berlalu

ia pun tak menunggu atau bertanya

jambatan gantung sungai Mesapol

mengalir tenang ke laut lepas.

 

Mesapol

Sipitang

3 Mei 2010

 

12. Mimpi Pohon Cemara

 

Padi huma di lereng bukit

tinggal kisah menjadi debu

kenangan dalam lipatan

di pinggir sungai tunggul durian

reput dalam air payah.

Kampung lama telah bertukar wajah.

Di musim banjir,

kolam ikan talapia digenangi air.

 

Dari pohon tinggi menghadang ke laut.

lama sudah si helang menghilang.

Ketenanganmu beriak ke tebing

mengelus mimpi pohon cemara!

 

Honiara

29 Oktober 2010


13. Aku Mengusikmu

 

Mesapol, kau tetap ramah sekalipun kau tak ingin bicara

aku megenangmu sepanjang musim sampai ke hati tamyiz

mengapa sebak terluka kerana kasihmu ikut bermusim

biarkan takiding silam tersangkut pada dahan malam.

 

Mesapol, aku masih rindu padamu, air mengalir keruh

pelanduk sudah menghilang di kaki bukit rimba musa

pemburu gundah kerana telah lama tak berburu

jerat dipasang tak dikunjung, ditinggal-tinggalkan.

 

Mesapol, kita tak ketemu tapi masih bersaudara

aku datang tanpa khabar,  jalan sudah bertukar warna

lenggang jembatanmu  pernah menemukan sepasang hati

sungai Lakutan mengalir jauh membawa cerita ke laut.

 

Mesapol, tak mungkin kau dapat dilupakan

aku tak akan berpura asing di tanah leluhur

pakis dan batang nibung masih tumbuh meliar

rumah lama di situ, cempedak masih berbuah.

 

Mesapol, getah tua tumbang satu demi satu

dingin pagi, bau peluh dan gemerisik rumput

patah ranting terpijak,  jalan kecil di lereng bukit

bercerita dalam angan dan mimpi yang menjauh.

 

Mesapol, baumu merangsang rindu si burung punai

pelanduk yang mengucil kini pulang ke rimbanya

sayang, kalau kau belum mendengar cerita Karuhai

mari, aku akan bercerita supaya kau suka mendengar.

 

Kuala Lumpur

April 2011

 

14. Sapa Dan Salam

 

Dari pagi nenek menatap rumpun bambu

Sekilas pada pohon cempedak, limau kapas

Salam pada langit biru kerana mengusir jauh

awan mendung ke pedalaman siang  yang damai.

 

Menari nafas panjang mengendur perlahan

mata nenek pada pepohonan hijau sekitar

jalan ke bukit, semak-semak pohon getah

alam merelakan nenek sibuk berdandan,

menghias halaman.rumah lama di lereng bukit.

 

Burung punai bertenggeklah di ranting pohon

 biar nanti tamu nenek puas bisa melihat.

monyet bergayutan dari pohon ke pohon

di sini lama tak ada  pemburu bersenapang.

 

Bau hutan di waktu pagi, menyenangkan

usah bersedih pohon bambangan kalau kau

tak berbuah, nenek maafkan, asal esok berbuah

“Wah, rumpun bambu, kau masih sihat dan subur,

sayur rebung gulai santan.” Lintas fikir nenek.

 

Matahari tersenyum mengenyit mata pada nenek

di anak tangga nenek berdiri puas, katanya perlahan.

Alhamdulillah sambil mendongak ke langit.

ketika angin diam-diam melintas,

 mengusik tin-tin kosong

mencipta keramaian, kesunyian pada nenek terhibur

sepi lebur dalam danau sekilas.

 

Kini masa berangkat ke bukit,

biar awal menunggu dari ditunggu

di bawah pohon cempedak nenek tua menanti

matanya memandang bukit menunggu tamu tiba.

Rasa sabarnya telah kebal, alampun mengenal

sejenak ia melihat ke arah rumah lama di kaki bukit

semuanya siap berdandan dan berhias,

 tinggalmenunggu tamu tiba.

 

Nenek duduk, berdiri, berjalan, matahari pun kasihan,

sambil menulis-nulis di tanah pasir

dengan ranting kayu kering

huruf-huruf abjad, cuba-cuba menulis namanya.

 

Tamu masih belum datang,

sabar kata angin melintas nanti kubawa khabar

embun telah lama kering matahari duduk

di pundak nenek mengulang kata

ia tak mungkir janji, ia tak mungkir janji,

nenek menuruni jalan pulang.

sunyi terusik sesekali tin-tin kosong bergegar

 

Ketika angin bukit mencela dari jauh

Sabar kalian, tamu nenek pasti datang,

Bunyi kereta menaiki bukit mendekat

Perlahan, mencari-cari pohon cempadak,

Tempat berhenti di atas bukit sebelum turun.

 

Sebentar nanti alam sendiri menjadi saksi,

Sepi masih hinggap pada wajah nenek tua.

“Nenek, nenek, nenek...” suara itu mendekat

Nenek bangkit membalas panggilan cucunya

“Nenek fikir kau tak datang ti.” Wajah nenek

Seperti matahari pagi yang lembut dan ramah.

 

Kegirangan nenek dan hutan getah tua turut

Gembira menyambut kedatangan cucu dari kota

Perjalanan berdebu panjang  dan melelahkan

Tapi, hadiah perjalanan ini bertemu dengan nenek

Kerinduan terubat dan penantian kasih sempurna.

 

Pada cucu melihat hutan nenek berdandan

Aroma udara hutan dan keramaian pagi indah

Di langit biru bersih tak ada tanda-tanda hujan

Hutan nenek tua hidup penuh dengan kehijauan.

 

Alam pun meramaikan.mereka berpelukan.

Tadi ketika cucu nenek ke rumah lama,

Coret-coret nenek dengan ranting kayu

Masih di situ dekat pohon cempedak.

 

Kota Kinabalu

6 April 2011

 

15. Hidangan Kasih 

Lama kita tak ketemu dan bersalam

Nasi dihidang  kita makan bersama

Siang berkeringat, tanahmu ramah

Pada bekas jalanan di lereng bukit

Kau menerima dan menjamu tamu.

 

Di sini katanya orang selalu bermimpi

Kalau tidak hatinya disayat-sayat.

Tiada jawaban sekalipun langit biru

Senyum mekar dari pohon kemboja.

 

Maaf, kata orang jauh malam ini kami pulang

Nanti datang lagi mendengar cerita dari lidahmu

Datanglah ke rumah lama kerana ia ingat riamu

pohon bambangan dan nyanyi pohon bambu.

 

Mesapol

12 April 2011

 

16. Nenek Menghilang

 

April, 2011.

Ke mana nenek tak ada khabar

berapa kali ia telah dipanggil pulang

semak jalan ke sana masih begitu

hutan bambu mengenalnya baik

Siti payung, nenek menggelarnya,

berkirim pesan pulang cepat.

 

Air paya jalan melintas kampung lama

hingga pohon Bambangan, halamanmu

tiap hari pohon getah di bukit bertanya

rindu dendam sentuhan pisau nenek

di jalan lereng ke bukit, lurah curam.

 

Keringat nenek menitis di sepanjang

jalan pulang terdengar nenek mengomel

sendiri pokok cempedak, rumpun bambu,

limau kapas biasa dengan telatah nenek

tukaran musim panas semakin menembus

liang hati kampung lama sungai Lakutan.

 

Hutan getah biasa nenek mencatuk

suara, denyut  nafas nenek pendek

omelan di awal pagi kini telah tiada

semua di hutan getah tua kehilangan

nenek yang pergi tanpa mengucap salam

kerinduan pada yang ditinggalkan.

 

Di suatu pagi cerah, angin bukit pergi

merayau-rayau mencari nenek tua

bertanya khabar dan berkirim pesan

 ke rumah lama di lereng bukit Mesapol

kalau ketemu, katakan pada nenek yang,

warga emas, datang ke Pejabat Daerah.

 

Kota Kinabalu

13 April 2011

 

17. Ma

 

Bendul waktu telah jauh surut ke tengah laut

matahari mencair di horizon senja aku termangu

telah lama lenggang-lenggok air mengalir

pohon cemara di danau rembulan masih di situ

kuhimpun sejuta bintang gemerlapan di langitmu

malam berlalu membawa mimpi gerun dan hiba

masih terucap cinta dari hening air matamu

kuhimpun kata teranyam dari taman doa samawi

kalau ada mengusik ketenangan lautan fikir

bebayang semakin panjang di sini belum tersingkap

langit biru dan membasuh debu di kedua kakimu.

 

Kota Kinabalu

8 Mei 2011

 

18. Nyanyi Nenek

 

Nenek berpesan,

“Tak apalah,

dari dulu nenek sendiri.

Dodoi anak, tidurlah,

malam telah jauh.

Hujan telah berhenti.”

 

Balas anak,

'Ma, lihat kami sekarang,

bergelang emas dan bertanah.

Anak-anak dah besar ke universiti.

Aduh, Ma, kenapa berbaju lusuh

di majlis perkahwinan.'

 

Cucu-cucu bernyanyi korus,

“Untuk mama dan ayah,

kami lengkapkan,

dijauhkan kemiskinan

dipohon derajat dan mewah.

Buat nenek, bukan kami.'

 

Maaf nak, cu, nenek makan bersepah,

berbaju lusuh, jarang mandi,

berselipar getah. Untunglah kamu.

 

“Tak apalah,

dari dulu nenek sendiri.

Dodoi anak, tidurlah,

malam telah jauh.

Hujan telah berhenti.”

 

Canberra

5 Jun 2011

 

19. Atok

 

Atok, tubuhmu seperti akar tunjang

menjunam ke dalam sukmaku.

Kau adalah pepohonan rending

tumbuh seribu tahun dalam ingatan

daunmu lebar jadi tempatku berteduh

ketika loceng rehat berbunyi,

kau menungguku datang.

 

Ketika aku rindu

melihat langit malam

senyummu terpahat pada

bintang-bintang gemerlapan

Atok, kau datang dalam mimpi

bulan kunyit cempaka.

 

Canberra

30 Mei 2011

 

*20. Nenek Pulang Kampung

 

Kerisik kaki nenek tua menuruni jalan bukit

langit menitis doa, tabik burung terbang melintas

wajahnya tersenyum lagi, salam pada pohon getah,

nenek pulang kampung, sabar alam menunggu.

 

“Assalamualaikum,” kata nenek membuka pintu

air masih dalam tempayan, minyak kerosen di penjuru

nenek pulang kampung, sekarang bukan musim buah

langit malam masih mengirim mimpi.

 

Air melimpah, hujan turun sebagai kekasih

kerinduan bukit dan lambaian pohon bamboo

air paya bergenang sampai ke pinggang

gelegar jambatan bambu telah hanyut

tapi nenek pulang kampung, hatinya puas.

 

Tanah sejengkal, satu musim buah berlalu

ia terpegun cengkerama orang kota

selama itu tidurnya tak pernah mekar bunga

kini nenek pulang kampung, tumis pakis ikan kering

semalam hujan lagi, rahmat tujuh tempayan penuh.

 

Canberra

11 Jun 2011

 

21. Nota Kaki Dari Nenek

 

Ketika melangkah pulang

nenek memandang sekilas, Mesapol.

Degup nafasmu masih segar

segala pesanmu sampai

segala beritamu telah dibaca.

 

Mesapol, genggamanku semakin kendur

pelukanku semakin lemah dibawa arus menjauh

datangmu tanpa paluan kompang

pergimu tanpa selamat jalan

 

Mesapol, mimpiku kesiangan

telah kucuba, segalanya hanyut ke muara.

Cintamu, Mesapol masih jelapang hijau

dendammu telah jadi hakisan runtuh ke laut lepas.

 

Honiara

20 September 2011

 

22. Puisi Buat Ma

 

Ada masih yang belum terbuat

melihat matamu kendur

gelombang nafasmu.

langkahmu semakin terbatas

perlahan dan lemah.

 

Bagai air menitis

selepas hujan

membuat riak dan

bunyi sesaat jarak.

 

Kau semakin perasa

pada dunia sekitarmu.

 

Aku ingin melihatmu

makan berselera

berbual dan mengusik.

 

Kenangan pun semakin

rapuh dan menjauh.

 

Dalam bola matamu

yang redup dan kabur

kau menatap sekilas

klik, lalu berlalu

terasa ada yang masih

belum terbuat.

 

Canberra

7 Mei 2012

 

23. Aku Dan Ma

 

Suatu siang aku melihat cermin diri

ada paruh di dahi dan kepala seperti keratin

di sebuah pohon di tepi jalan.

 

Seruling malam mendayu aku mencari,

kepastian memahami degup jantungnya

seperti anak kecil menemukan sesuatu

di halaman laut. Lalu bercerita sendiri.

 

Aku beryanyi kecil lagu dari

masa lalu. Laut pasang mengirim khazanah

rumpaian laut lambang kasih yang sampai.

Ya, burung helang di pohon tinggi di atas bukit

melebarkan kepaknya di langit perkasa.Turun

mengenapkan kasihnya pada laut.

 

Di tepi laut senja aku berdiri memandang

laut, mengagih sebuah harapan. Sepasang mata

menatap dan perlahan berpaling dari kanan

ke kiri. Degup jantungnya menabur gendang siang.

 

"Ya Allah, kirimkan kepadaku, kasih-Mu."

 

Seperti memasang lampu selepas hujan

kunang-kunang di malam remang.

Pengorbanan memang diagihkan.Lalu aku mencium

syurga pada kembang bunga ros dalam kalbu ma.

 

Canberra

8 Mei 2012

 

24. Lagu Ma dan Kucing

 

Ma berjalan mundar-mandir

sekejap pandangannya melihat ke luar jalan

menyelusuri pagar, melihat ke bawah ranjang

ke pinggan nasi di penjuru. Ia tiada.

 

Ma menaiki tangga memanggil namanya

(kepada dirinya) tak pernah ia berpergian

hujan telah berhenti. Anak-anak sekolah telah

lama pulang. Jalan kembali sunyi dan sepi.

Kenderaan telah lama parker di pinggir jalan.

 

Ma lalu di kamar Dahlia malam itu

ia sudah lama di dalam kamarnya

malam turun sekerat-sekerat. Pintu

kamar di tingkat bawah segaja dibuka

kekasih ma belum pulang. Ia menunggu.

 

Mata ma setengah terpejam. Suara muezzin

masjid memanggil jemaah. Dengkurnya kendur

ma berbicara sendiri. Rasa menyesal berbaur

rindu. Mata ma masih melihat ke penjuru. Senyap.

 

Bagai lagu laut dan ombak

memulangkan angin rindu

rahsia suatu malam telah terjawab

senyum merekah, mata ma bercahaya.

Ia melangkah masuk dan mengelus

kaki ma, lembut dan manja.

 

Canberra

8 Mei 2012

 

*25********1

 

26. ********2

 

27. Sedikit Nasihat Ma

 

Berkata biar indah

salam bermuka manis

doa dipanjangkan.

 

belajar biar rajin

membaca sampai tamat

kembara melangkau bumi.

 

sabar biar berlanjut

tangan member

hidup sederhana.

 

cinta biar sejagat

benci pada yang dosa

berdendam jangan sekali.

berjuang biar maju

berpura-pura pantang sekali

taat bertunjang langit.

 

menegur biar santun

makan bersopan

mata menunduk.

 

solat biarkan sempurna

tahajud secara dawwam

pengorbanan amalan suci.

 

Canberra

21 Mei 2012

 

28. Pa Dan Mu

 

Sendiri

berdiri di tebing sungai

melihat terapung hanyut

ke kuala dan laut lepas.

 

Manis madu

kasih sayang yang

terhimpun dan

mencium pa harum

kembang cempaka.

 

Langit tergerak

hujan menitis

doa yang sarat.

 

Kepadamu

aku, kau lihat

bukan pada kata nama

tapi, kata perbuatan.

 

Canberra

17 Jun 2012

 

29.*********3

 

30. Bual-bual Ma Dan Aku

Ma, sudah kupanggil berkali-kali

ternyata ia tak membalas panggilan

telah kuletakkan suara di peti suara

tapi masih ia tak membalas. Aku masih

asing di telinga ma.

 

Ma, kau bilang aku punya ramai saudara

"Kau bukan sendiri. Mereka orang besar

dan dihormati. Perkenalkan dirimu,

kau adalah anak ma, pertalian darah.

Ma, Kakak mereka yang paling tua."

 

Sudah ku bilang ma, tapi ia masih

belum terbuka sukmanya untuk menerima.

Ia orang penting. Orang berpengaruh

dan ramai orang suka membuntutnya.

Ia orang yang paling sibuk di muka

bumi ini.

 

Ma, sekarang aku selalu di tanah kita.

Pohon bambu, cempedak dan bambangan

terlalu rindu pada Ma, dan turunanmu.

Ketika rimbamu tau aku lalu di situ

hutan belukar di tanah Ma riuh rendah

kegembiraan kerana mendapat khabar

aku berada tak jauh dari tanah kita.

 

Ma, lebih baik lupakan saja, kita telah

puas mengenangkannya dalam impian

tetapi dalam kenyataan ia telah menolak

Ma dan aku. Persaudaraan darah seperti

tak ada ertinya, hanya kalau saja kau

seorang berada dan berkedudukan.

 

Ma, kita tak mengharap atau tumpang

meraih kejayaannya. Biarkan mereka

memanggilnya orang berbangsa tapi

sebenarnya ia orang yang tak berbudaya

tohor dalam budi pekerti.

 

Ma, kalau Karuhai masih hidup

apakah ia sayang pada saudaranya.

Ma, membalas, "Ya." sambil senyum.

 

Kota Kinabalu

16 Januari 2013

 

32. Pulang Karuhai

 

Mari aku mulai supaya kau tau yang tersirat

aku tak ingin kau gegabah menangkap firasat

meskipun kakiku di lautan atau berpijak di-

pulau tapi sukmaku masih membumi di sini.

Kau tak melihat sekalipun aku dekat padamu.

 

Oh kepulauan yang berhampuran di lautan

aku pernah menitiskan air mata tiap satu

kalau tidak keseluruhannya. Dan kasihku

bersayap melewati sempadan jiwamu. Aku

tak pernah menuntut kepada yang bukan hak.

 

Di benuamu, dari masa silam kedamaian

pantaimu memang pernah didatangi dalam

malam kencana dan pertarungan. Di tanah

merah dan pasir putih pernah pelautmu

kelelahan dan berteduh. Dan pelautmu ini

pernah menambat kasih dan rindumu di sini

Sekalipun dirimu telah jadi debu tanah kau

tak pernah dilupakan kerana di tanah asli

Aborigine debu-debu dari masa silam ini

telah menjadi pohon Eucalyptus ribuan tahun.

 

Di tanah kelahiran aku pulang dengan bau

benua dan bau lautan. Aku pulang bukan

bukan pulang si Tanggang, derhaka. Pulang

Karuhai ke pangkuanmu, ma. Yang ada pada

sukma ini kasih dan cinta anak musafir.

 

Kota Kinabalu

21 Januari 2013

 

32. Seorang Ibu Seorang Nahkoda

 

Ada seorang ibu hidup sendiri di kotaraya

ia adalah perabut dari pilihannya sendiri

melihat wajahnya pasti kau melihat wajah

sebuah kota. Alis matanya, gincu bibirnya

dan bedak dan minyak wangi yang disembur

tiap pagi sebelum turun menaiki trem terus

ke ibu kota.

 

Seorang ibu seorang pekerja di kotaraya

ia jauh dari desa impiannya, jauh dari

sanak-saudara. Semua itu tak mengapa.

Kerana ini adalah pilihannya, pilihan

yang terbaik. Menyeberangi lautan

dan mencuba nasib di buminya sendiri

sekalipun terpisah dari gunung, udara

di lembah, berunsai dan kulintangan.

 

Beberapa kali sukmanya bagaikan terpukul

ingin pulang. Keghairahan kota sudah luntur

dalam hidupnya. Kini ia keseorangan,

nahkoda yang melayari bahtera mereka

telah berpulang. Tinggallah ibu muda ini

bergempur dengan angin dan gelora

samudera hidup.

 

Bukan ia tak mencuba mencari nahkoda,

satu, dua, tapi selalu tak kesampaian ke-

pelabuhan. Ketika kematian mata angin

atau ketika lautan bergelora, dirinya sendiri

nahkoda. Adakalah ia berhanyut-hanyut,

melihat kejuitaan alam raya di waktu malam.

Ingin ia merangkul keindahan itu dalam

sukmanya. Tapi ia tak sendiri.

 

Di kotaraya ini ia adalah seorang ibu,

seorang pekerja dan seorang nahkoda.

Ia tak akan dikalahkan, sekalipun kabus

jerebu ia tetap memandang ke depan

mengawasi gerak langkahnya sekalipun

jerebu menusuk-nusuk pada kedua

mata dan mencekik rongga dadanya

ia tetap seorang wanita, seorang ibu

sambil berkata,"Ma akan membawamu

terbang sekalipun sampai ke bintang suriya."

Memandang kasih kepada anaknya

yang tersenyum duduk di atas kereta roda.

 

Kota Kinabalu

23 Januari 2013

 

33. Dodoi, Tidurlah Anak

 

Tidurlah sayang hari semakin malam

Kodok di kolam masih memanggil hujan

langit enggan menyahut panggilanmu

angin lalu menghilang ke dalam hutan

gunung menyepi sendiri, sedang lembah

di hutan jati mulai berdekur. Rembulan

masih bertahta, kelip-kelap tenggelam
timbul di tepi sungai.

 

Anak comel, kau akan mewarisi hutan jati

laut biru dan pulau-pulau batu permata

Melaju perahumu melaju sampai ke simpang

mengayau. Terbang burung kenari terbang sampai

ke puncak Kinabalumu. Tidur sukmamu,

tidur, esok ma bisikan khabar dari jauh.

 

Aku melihat sebutir bintang gugur dari

cakerawala.Tapi wajahmu tersenyum dan

bercahaya. Kau mengucap salam dan berlalu.

Lalu kau menjadi cahaya dari kecil,

membesar dan lenyap.

 

Dalam ketiduran, wajahmu kulihat

tenang, setenang samudera di waktu malam.

 

Kota Kinabalu

15 March 2013

 

34. Rindu Tak Bertepi

 

Mesapol, igauku cuba menyentuh bumbungmu

sukmaku masih membumi di tanah leluhur

ada suara merayau ke sasar sampai ke anak tangga.

 

Tanahmu di Mesapol di kampung lama

atau jalan ke Lubuk, biarkan lembiding

dan Pakis tumbuh subur di halamanmu.

Pohon bambu, aku merindukan suaramu

berdesir dibawa angin bukit turun ke kali.

 

Pokok Kabayau, kau cepat membesar

bersama pokok manggis di tanah bukit.

Satu hari nanti kupulang membawa ma.

Impianmu tanah Mesapol adalah impianku.

 

Aku tak mengharapkan apa-apa dari

kalian. Langit dan bumi, keramaian

hutan di halaman telah mencukupi.

Sampaikan kepada telinga yang

belum mendengar tentang ini.

 

Tanah ini adalah

tanah selamat. Terbanglah kalian,

di sini ada langit biru lain dari yang

lain.

 

Aku tak menghentikanmu ketika

kau terbang dan berbual di udara atau

hinggap di pohon-pohon.

 

Lebah madu, musim hujan telah berlalu

bersaranglah di pohon tinggi

di tanah kasih sayang, Mesapolmu.

 

Kota Kinabalu

18 March 2013

 

35. Mak Tua Membersihkan Bilis

 

Tiap petang Mak Tua seperti biasa

duduk di atas lantai membuang

kepala ikan bilis dan isi perut ikan.

Di depannya masih selonggok bilis

di atas surat khabar lama. Diam

dan sabar, Mak Tua membersihkan

bilis lalu masukkan ke dalam berkas.

 

Kepenatan pada anak mata Mak Tua

tapi kehidupan ini tak boleh patah

semangat, berulang kali ia member

tahu pada anak-anaknya. Kita mesti

berjuang. Mak Tua jalan membongkok(kakak )

Sedikit dan perlahan.

 

Tidurnya sedikit. Ketika Mak Tua

merasa terlalu penat, ia tertidur

sambil tangan masih mengopak

bilis, sesekali tersedar, melihat

sekeliling dan memulai lagi.

Ia meneruskan pekerjaan tanpa

mengira rembulan telah jauh

di langit malam. Atau kereta jiran

pulang malam berhenti parkir.

 

Malam beredar, Mak Tua belum tidur

Nasi Lemak ini masih dibungkus daun

dan kertas. Pekerja telah mulai turun.

Pelajar jururawat  di Country Height

bergegas keperhentian bus.

 

Di atas meja kedai makan ada tempahan

tapi Nasi Lemak Mak Tua belum datang

hari ini. Pelanggannya setia tetap beratur

menunggu sabar Nasi Lemak Mak Tua.

 

Kota Kinabalu

25 March 2013

 

36. Urut Ma

 

Aku memang sedar diri

matahari telah condong dari paksi

tulang belulang dan sendi-sendiku

telah longgar dan sakit pun mulai

merata. Kukira aku tak sepantas
seperti kuda semberani, ketika
menaiki tangga denyut jantung
seperti dikejar anjing jiran di
jalan masuk di kedai hujung.
Otot-otot ini menjadi kencang
tapi langkah ini pula semakin
perlahan dan kecil.

 

Walaupun begitu aku masih

ada semangat burung, tiap hari

aku menerjah ke dalam siang

dan sampai ke tempat tujuan

tanpa bimbang dan takut.

 

Pertukaran musim, sempadan

dan lanskap tak sedikitpun

membuat aku jera sendirian

di perantauan. Sendirian

memanggilmu ketika sakit

tak tertahan.

 

Aku pantang menyerah

ketika kata putus telah dibuat

dengan Bismillah

aku melangkah siap pada

segala kemungkinan

yang tersembunyi atau

yang lahir. Keberanian ini

adalah kerana Tuhan Rahman

selalu disamping dan para

malaikat siap-siaga. Keselamatan

ini adalah kerana aku yakin

hidup mati dalam genggaman-Nya.

 

Ketika aku berada dekat

padamu. Aku tetap seorang puteramu

seperti anak kecil aku merangkak

ingin bermanja. Aduhai si anak,

tertiarap di atas lantai, berdekur

sedang ma mengurut otot-otot

kaki yang pejal. Sekalipun tangan

tak seberapa, aku rindu urutan mama.

 

Kota Kinabalu

4 April 2013

 

37. Salam Mak

 

Kau telah siap mengemas-ngemas akan pulang

di atas lantai empat ekor semut hitam membawa

serpihan roti bergerak ke lubangnya.

 

Di dalam kamar tercium baumu, lantai ini

kau melelapkan mata. Jendela masih terbuka.

Suaramu memberi perintah, seribu nasihat masih

bergema dan menampal di dinding-dinding.

 

Kau pernah berkata, "ketika kau berpergian, aku

terulit rindu dan sunyi." Selama ini akulah tamu 

yang datang dan pergi. Tapi, hari ini, kau tamu

dan musafir yang akan pergi.”

 

Sukmaku bagai dinding dermaga yang dipukul

ombak musim tengkujuh. Aku berdiri sendiri,

sedang hujan turun, air bergenang, aku menatapmu

hingga nokhta dan hilang di horizon.

 

Malam akan tiba, tiap detik itu adalah

bayanganmu. Di matamu ada rahsia.

Kau tak pernah mengalah. Semangatmu

langit siang berjuang, malam adalah bumi

bertahan.

Kunci telah dipulangkan, amanat telah

disampaikan, pintu itu telah terbuka dan

ma mengucapkan salam.

 

Kota Kinabalu

26 Mei 2013

 

38. Ibu Tua Bulan Ramadan

 

Ramadan Al Mubarak

Matahari siang bergerak

dan melontarkan salam.

 

Rembulan kembang kenanga

malaikat menemanimu

di malam-malam tahajud.

 

Ada seorang ibu tua

yang tekun berhari-hari di bulan puasa

ia duduk sepagian, kekadang sepetangan

atau semalaman rimbun.

 

Mata tuanya tekun

walaupun benang dan jarum

ketika terputus mengambil masa.

Ibu tua menjahit baju baru

dengan mesin tangan.

Kekadang ia menggunakan

tangan menjahit, duduk sendiri.

 

Ibu tua mengira-gira

tangannya, hari ini jatuh

hari ke berapa

Ramadan suci. Sesekali ia

berhenti seperti ingin melihat

rumah jirannya.

 

Ibu tua nekad dan berdoa

beberapa hari sebelum  menjelang

pagi raya yang ditunggu-tunggu

ia dapat menyerahkan sepasang

baju kurung corak pecah bunga biru

sepasang baju melayu kepada

anak jiran sebelah.

 

Setiap jahitannya dilakukan

dengan hati-hati dan kasih sayang

Ia berdoa, semoga ia dapat

menyelesaikan jahitan dan melihat

anak-anak itu tersenyum dan gembira

di pagi raya Ramadan Al Mubarak.

 

Kota Kinabalu

19 Julai 2013

 

39. Kelupis

 

Pada suatu siang menawan

diparuh kelapa dan diperah santan

bau berbaur daun pandan

menipis ke udara masuk ke

halaman sukmamu.

 

Tiap tindakan mengundang kesabaran
kusentuh kau dengan pengayuh, manis
bicara dan sopan dalam gerak.

 

Ketika kau siap bagai pengantin akan

diijab kabul. Kau disatukan ke dalam

kawah. Lalu tangan-tangan kasih sayang

ini membungkus dan melipatmu dengan

daun nyirik dan siap untuk dikukus.

 

Lai, aku kenal tanganmu

bertahanlah pada tradisi

tak akan kau lepaskan.

 

Kota Kinabalu

3 September 2013

 

* Kelupis, seperti lemang makanan terbuat dari nasi pulut dimasak dengan santan dan dibungkus daun nyirik dan dikukus. Kelupis bagi suku kaum Kedayan dan Jelurut bagi suku kaum Brunei.

 

40. Ma Pulang

 

Kelihatan dua ekor

Kuda

mengunyah rumput

dalam hujan.

 

Hujan masih bertahta

senja hanyut ke dalam

malam.

 

Mereka telah tiba

di penghujung jalan

ingin pulang.

 

Pulanglah,

Di sini sudah halamanmu.

 

Kota Kinabalu

8 September 2013

 

41. Nenek dan Bayi

 

Aku melihat seorang nenek

mendokong bayi

membawanya masuk

ke dalam kamar.

 

Nenek tua berbual

Sendiri

bayi berguling

ke kiri dan kanan

menatap

mata nenek

sedang gusinya

belum tumbuh gigi.

 

Suasana tenang

pada langit

tak

ada kelihatan

noda hitam

biru bersih

nenek tua

menyanyi.

 

Nenek tua

memangku bayi

baru enam bulan

ingatannya kembali

setengah abad lalu

pernah seorang bayi

lelaki

duduk di ribanya.

 

Ditelitinya

raut muka, rambut,

tangan dan kaki

bayi dalam pangkuan

lalu tersenyum sendiri.

 

Kota Kinabalu

14 November 2013

 

*42 Rimba Musa******4

 

*43*********5

 

44. Gak Gak Cendawang

 

Gak gak Cendawang

bukan aku tak menyapamu

atau melupakan wajah rembulan

suaramu indah seperti gema air

mengalir di celah-celah batu.

 

Sendiri. Kaki melangkah dan

membiarkan dirimu terbawa

hanyut di kotaraya atau di desa

yang hening.

Apa kau katakan itu

adalah artifak di sebuah pulau sepi.

Kata dan kalimatmu seperti

tak tahan melawan gelombang

tepat di saat itu kau datang.

 

Unggu warnamu

kerana di situ

ada ketulusan.

 

Gag gak Cendawang

Kau telah tumbuh bagai

pohon nyiur di tanahmu

hujan di pedalaman

air turun ke muara

ada orang membakar hutan

di mana-mana.

Mengapa peduli

pada perosak alam

bumi terbeban ribuan tahun.

Semalam impianmu hancur

denyut bumi bergerak.

 

Gak gak Cendawang

Suara yang kau dengar itu

membuat kau bersalah

lalu terhukum.

Tiada yang lebih hebat

perjuangan dan pengorbanan

sampai ke garis terakhir.

Siapa kamu ingin memadam sejarah

dan menconteng foto-foto silam

dan memotong lidah seorang  pendiam.

Sebenarnya mereka itu

dalam kegelapan yang nyata.

 

Gak gak Cendawang

aku mengulang kalimat suci

pengampunan alam sejagat.

Selebihnya itu Kemurahan Allah.

Ya Rabbi, akal budi adalah

senjata yang mampan

bahasa yang memikat

menembusi lapisan sukma.

Tiap kata dan kalimat

adalah kasih sayang

yang melunakkan seorang kaisar.

Siapa berdoa dengan air mata

di pojok malam yang dingin?

 

Gak gak Cendawan

Aku mengirim doa kepada-Mu

dengan lidah lembut

kerana di situ ada harga diri

sekali lagi sukmamu teruji

Siang ini kita berpergian

kau adalah seorang da'i

membawa khabar suka

di daerah-daerah rawan dan sepi.

 

Honiara

2001

 

45. Orang Tua Di Tanah Asing

 

Dia telah menemui kata-kata dan kalimatnya

di sebuah dinding gua silam jauh di luar kota

tapi ia melupai mengapa ia harus menulisnya

lalu meninggalkannya puluhan tahun lamanya.

 

Gema suaranya telah hilang dalam kepul udara

jauh sebelum ia teringat akan kembali ke sini

ternyata segalanya telah berubah, bukit-bukit

sukma telah diratakan dan hutan telah musnah.

 

Menurut orang yang melihat dan mengenalnya

ia telah berpergian dari kampung halamannya

sejak desanya sunyi sepi dari keriuhan kota.

Tapi kini, bandar raya ini telah menelan desa

di sekelilingnya berubah menjadi lorong  gelap.

 

Di suatu kota yang jauh dari tanah air

ia berdiri, usia sudah menjeratnya dalam diam

keinginan kembali ke desanya telah meredup

suatu hari ia berpapasan dengan sekumpulan

pemuda berbahasa Melayu di tanah asing

kepala tenggoraknya seperti dicatuk kerana

puluhan tahun ia tak mendengar bahasa itu.

Wajahnya tersenyum kerana ia masih dapat

memahami bahasa ini, sekalipun ia telah

merangkak ke hujung senja di perantauan.

 

Di jalan pulang di tanah asing benua selatan

ia memandang laut siang dan akhir musim

tengkujuh. Lalu berkata kepada dirinya sendiri,

“Ya, kau telah jauh berjalan dan belum pulang.”

 

Auckland

Mei 2009

 

46. Padamu, Ma

 

Menunggu hari tua

kau sendiri telah meragukannya

mereka berkata dari atas anak tangga

sedang kau mendengar dari bawah.

 

Tiap kalimatmu sampai ke telinga

kau memital sebuah harapan

suara itu makin bergema keras

mengingatkan kalian dalam tiap percakapan.

 

Mereka telah memindahkan lampu kamar

sejak itu

pintu rumahmu tak terkunci

dan mereka tak pulang.

 

Kau tak melihat rembulan

dendam di hujung mata pisau

langitmu gelap

mereka telah berpaling.

 

Canberra

September 2008

 

47. Nenek Di Kerusi Roda

 

Aku duduk di kerusi roda tenang

mata ini memandang terus ke depan

kegelisahan ini ketika aku tak melihat

atau mendengar suara anak perempuan.

 

Aku telah biasa mencari-carimu, nak

sekalipun kau berdiri disampingku

siap memberikan harapan dan khidmat

ketenangan sukma berdoa dan bersyukur.

 

Pernah aku menangis dan marah-marah

tapi, tak terlalu lama, sekejap saja

memang aku selalu bertanya kerana

bingung seperti aku ditinggalkan sendiri.

 

Aku mengucapkan kata bismillah tiap perbuatan

saksi langit dan bumi, Ya Rabbi, Empunya hidup ini

sepanjang perjalanan aku telah pasrah dan redah

Pada-Mu aku kembali dengan istighfar dan tawajuh.

 

Canberra

Januari 2007

 

48. Hari Ibu*****6

 

Aku tak hanya ingatmu pada hari ini ma

kasih sayang ma tanah gembur Khatulistiwa

sukma ma seluas cakerawala dan mindamu

Firasat tak luntur, tekadmu tak dapat dikalahkan.

Otot-otot kaki dan tanganmu seperti gunung anggun

mamaku ini, nenekmu juga seorang perempuan.

 

Kau menyayangi ibumu, rahmat Allah

turun dan senantiasa membawa berkat.

Usah berhenti di situ, sebelum ibumu

ada nenekmu, dan ia juga perlu sapaan

dan kasih-sayang merangkum langit biru.

 

Aku hanya mengenangkanmu seorang ibu

adalah bumi yang dilindungi dan langit

yang melepaskan dahaga musafir yang

pulang dari rantau. Kalau kau hanya terus

membatasi dirimu dan membuat tembuk

pemisahan, tunggulah hari mendatang

taufan pasir yang merobek-robek langitmu.

 

Tiap generasi berusaha tanah gemburnya

lebih baik dan terpelihara dari sebelumnya

antara satu tak ada pemisah, bergandingan

dan terikat satu sama lain. Generasiku dan

generasimu adalah mengangkat martabat ibu

sampai ke pintu samawi, pengorbanan abadi.

 

Hobart

Oktober 2008

 

49. Ibu Tua di Hari Ibu

 

Walaupun aku tak mengubahmu sebuah lagu

dan bangun membuatmu sarapan pagi

menulis kad dan memposkan hadiah hari ibu

dalam sukma ada doa-doa yang kulafazkan.

 

Datang berkunjung di hujung minggu

mencium dahi dan tangan ma, berbual 

dan kelakar. Lalu memilih lagu suka ma

sambil menari-nari kecil di atas lantai.

 

Kau tak pernah bersandar pada kejayaan

anak-anak. Melihat mereka di tangga bahagia 

Memastikan turunan tak pernah lapar dan

Mereka telah tidur selesa di rumah sendiri.

 

Dulu seorang gadis sunti lalu diisterikan orang

sejak remaja meninggalkan kampung halaman

Lalu nikah di perantauan, lahir seorang putera

benih tumbuh dalam rahim kasih sayang ma.

 

Lihat, selera makan ma masih kuat dan bagus

kau tak pernah meminta tapi lebih memberi

Kata kalimatmu senantiasa nasihat dan ingatan

sujudmu panjang berdoa kesejahteraan anak.

 

Hari itu aku melihat ma menimang cucumu

dan berkelakar senang dengan anak menantu

Dalam kesenanganmu berbual dan kasih

melihat ibu dan anak mertua mesra sezaman.

 

Mesapol

Julai 2006

 

50. Doa Ma

 

Aku terlalu perlahan

Membawamu

langit purnama.

 

Degup sukmamu dan suara

mengerang di malam buta telah

menyerap

ke dalam mimpi.

 

Waktu jauh

ke dalam senja.

 

Tapi sosok tubuh ini

Menunduk

membasahi sejadah

doa-doa panjang dan

suaranya ditelan waktu.

 

Aku melihat

syurga dalam sukma dan mata tuamu

Ma, memandang

samawi seperti dirinya telah

melayang ke pusar langit.

Nilai

Julai 2015

 

51. Nenek dan Kampung Warisan

Kampung ini telah lama ditinggalkan

Hutan belukar menutupi padi huma

Air sungai telah mengalir jauh

Pohon-pohon getah tua tumbang sendiri.

 

Kau pun tak pernah bertanya, dulu

Pernah ada sebuah kampung yang riuh

Penghuninya akan turun menoreh getah

Berpadi huma di lereng-lereng bukit.

 

Pada keratan tanah dan lereng bukit

Hutanmu penuh cerita warisan

Di halaman kampung rumpun bamboo

Bernyanyi lagu rindu anak kembara.

 

Malam hari nenek duduk bercerita

Sambil mengunyah sireh pinang

Tentang anak sayangkan ibu

Legenda Karuhai turun-temurun.

 

Tiap jalan ke bukit ke hutan jati

Ketuk Kulingtangan wanita bertakiding

Ada grafiti peninggalan leluhur

Rimba di sini tak pernah sunyi.

Tapi, tanah payah itu telah lama liat

Anak pelanduk berhijrah ke hutan jiran

Rimbamu kini sepi dari kicau burung

telah menjauh beberapa musim lalu.

 

Di penjuru nenek mengunyah kelupis

Berbual sendiri sampai jauh malam

Memanggil-manggil nama Karuhai

Pandangannya larut bersama malam.

 

Warisan Kampung Lama tinggal nama

Gema suara nenek telah lama hilang

Kapok sepohon di hujung kampung

Tumbang dibawa banjir ke muara.

Mesapol

November 2013

 

52. Dalam Kasyaf

 

Selamat Datang

Kembara Bahasa

ke Mesapol

tanah peribumi

tanah leluhur dan rimba raya

Sungai Mesapol masih berdenyut

merelakan sejarah silam terhakis

dalam perubahan zaman.

 

Dalam kasyaf, kau telah

melimpasi jembatan gantung

kampung lama nenek

duduk mengunyah sireh.

Si Karuhai, anak bonda

legenda kasih-sayang dan

pengorbanan

rimbamu masih terpahat

di perbukitan sukmamu.

 

Lambiding dalam Takiding

Pakis dan rumpun bamboo

di sini kau melipat kelupis

di tanah ini pernah kau

gores Laksamana

menghadang penceroboh malam.

 

Mesapol

kusebut namamu berulang-kali

supaya ia menyerap ke dalam sukma.

 

Mesapol

November 2011

 

53. Menunggu Karuhai

 

Langitmu indah menjelang senja

gunungmu agung dalam takaran waktu

nafasmu bau hujan hutan khatulistiwa

keindahan kata dan kalimat sempurna.

 

Duniamu kini kamar kecil di penjuru

matamu memandang bumbung langit

memanggil pulang Karuhai, anak Kedayan

seribu malam penantian kau tetap sabar.

 

Di ranjang ini kau berbual sendiri

menunggu salam terucap tamu jauh

Karuhai, pulanglah biar dalam mimpi

kau tak pernah derhaka, janjimu matari.

 

Tanah Peribumi melambaimu pulang

degup jantung seperti kapal belayar sarat

suaramu tak terdengar hanya gerak mulut

mencium dahi memegang telapak tangan.

 

Honiara

September 2012

 

54. Pohon Getah

 

Aku melihat pohon getah

tumbang dan tercabut

dengan akarnya sekali.

 

Di tanah waris

getah tua adalah

cerita dari zaman silam.

 

Tiap pagi kau dilukai

grafiti sejarahmu masih

terguris di dinding sukmamu.

 

Sydney

2006

 

55.Tepung Tumpe Ma

 

Tepung dan air sedikit garam

kasihmu berbaur larut dalam

tepung tumpe.

 

Matamu redup tersimpan rahsia

seperti kasih sayang samawi

tiap gerak di sukmamu membawa

khabar gembira.

 

Tanganmu pernah menimang

bayi di pangkuan dan lagumu

adalah getaran di danau cinta

membolak-balik halaman kenangan

perutusan masa silam

yang mengalir terus ke lautmu.

 

Kata-katamu mengiyang-iyang
bergema pada lembah gunung

suara seorang ibu ditinggalkan

Kesabaranmu adalah bumi

dalam takaran waktu.

 

Kau, gunung yang bertahan

ketenangan nadimu berakar

di rimba jati

dan tak akan pernah dikalahkan

sekalipun mereka menjauh.

 

Noumea

2006

 

56. Anak Yang Pulang

 

Waktu senyap mengalir jauh

mimpimu telah sempurna

kepulanganmu rindu terubat

sekalipun siang telah condong.

 

Bulan Ramadan menemukan

anak dan orang tua di tanah leluhur

tiada yang lebih bahagia dan gembira

duduk berbuka dan solat berjemaah.

 

Doa-doamu adalah senjata makbul

yang mustahil kau perlihatkan

samawi tetap tak akan melupakan

ketulusan dan keyakinanmu ini.

 

Anak yang pulang di bulan Ramadan

sebenarnya pengubat ibu dan bapa

kehadiranmu telah membawa cahaya

tak akan redup sepanjang takaran waktu.

 

Sydney

Oktober 2013

 

57. Cucu Dan Nenek

 

Doa mengalir bersama bertaut di muara

kasih-sayang melimpah dari dua sukma

tangan yang membelai jiwa menyerah

dianyam dengan takwa dan cinta Illahi.

 

Cucu yang tumbuh akarnya bersemi

di lahan tanah peribumi air dari samawi

mekar kembang bunga di musim semi

Ramadan Al Mubarak talian kasih.

 

Anak bulan muncul di langit Ramadan

pengalaman bersama hati yang pasrah

ilmu mengalir dari kalbu ke kalbu

Tazkirah di bulan suci penuh rahmat.

 

Nenek yang memberi tangan terbuka

cucu menerima duduk di riba kasih

kemenangan dua kalbu meraih kurnia-Nya

kelangsungan hidup menawan dan berberkat.

 

Nilai

Disember 2015

 

58. Takiding Ramadan

 

Menjelang purnama Ramadan

memandang langit

seperti sehelai sutera

kasih sayang-Mu

seperti air dingin turun

dari lembah gunung.

 

Geduk dipalu

muazin mengumandangkan azan

bagai cinta telah sempurna

lafaz seorang kekasih.

 

Berita musafir pulang

telah sampai

di halaman seorang ibu

telah lama menunggu

malam itu ia bersujud

Kau telah mengabulkan doa.

 

Kapal telah berlabuh

anak kapal menurunkan sauh

rindu tanah daratan

kembang kenanga

udara khatulistiwa.

 

Sandakan

Oktober 2013

 

59. Kita Masih Bersaudara

 

Hujan rahmat, kota digenangi air

tapi, aku masih melihatmu, jarak

bukan pemisah. Gemuruh hujan,

air melimpah turun dari bukit,

seperti warna teh susu. Sekarang

musim buah.  Aku memanggilmu,

saudaraku. Ia membalas selamba.

Mesapol, tanah bukitmu masih

tersimpan tanah waris. Kalau belum

saling mengenal, tiap pertanyaan

menimbulkan curiga. Bagaimana

aku dapat menerangkan sedang

kau tak punya waktu mendengarkan.

Lalu aku berkata, tak apalah lain

kali saja aku akan memanggilmu.

Bagaimana aku dapat menerangkan.

Semua memerlukan masa. Soalnya,

aku merasa tertekan ketika ditanya,

“Ada apa?” Kerana ia tak mengenalmu.

Jawabku mudah, "Tak ada apa-apa".

Tiap orang ada rahsia di bawah

kepak dan sebaiknya membiarkan

ia terus begitu tidak terganggu.

Asalkan kita masih bersaudara

sekalipun tak kenal atau pura-pura

ambil tak kisah.

 

Kudat

17 November 2012

 

60. Menunggu Sapaan

 

Malam ini aku mengingatimu

Mesapol, nama itu kembali

kau bukan sebuah kotaraya

tapi sebuah desa yang sepi

menunggu hadirnya sapaan.

Dari halaman rimbamu, aku

melihat airmatamu jatuh

menitik ke atas bumi. Kau

bertanya mengapa tiada

khabar si burung punai,

kera di hutan telah lama

meninggalkan sulap.

Pelanduk di hutanmu

menjauh ke hutan jiran.

Mesapol, kusapa kau

dalam puisi sekalipun

kau menganggap nyanyian

di pinggir jalan atau igau

di malam hari. Suara rimba,

getah tua, tanah sejengkal,

desa bagai pohon tak tumbuh

semuanya kuresapkan

ke dalam genta puisi.

Rumah kosong di kaki

bukit, pohon Bambangan

dan pohon bambu masih

memanggilmu. Tapi saudaraku

yang duduk di sana masih tak

mendengar ketukan pintu

suatu siang yang kelabu.

Ada waktunya air pasang

surut. Rembulan pulang

ke horizon di hujung malam.

Mentari menyingkap hari baru.

Aku akan memanggilmu

dengan panggilan yang

lembut hingga kau menoleh

dan melihatku. Kerana kau

dan aku bukan apa-apa

tapi saling menguatkan

satu sama lain.

 

Kota Kinabalu

30 November 2012

 

61. Ma, Aku Pulang

 

Ma, aku pulang. mentari masih tinggi sedikit

lihatlah aku masih bisa berdiri segak

gempal dan masih berkumis dan berjanggut

hanya perut gendut sedikit seperti pak Dogol.

 

Ma, aku anak pernah kau bawa ke sana ke mari

ketika ada kejahatan dan guntur dan petir

kau kandung aku dalam kainmu dan

merelakan tubuhmu dibelasah dan disakiti.

 

Ma, Allah telah menurunkan tangan-Nya

dan menghadiahkanmu di rumah ini

aku ingin mendengarmu tentang

pemuda Karuhai, anak yang taat itu.

 

Ma, aku mulai melihatmu jalan berbongkok

gigimu jarang tapi masakanmu selalu

membuka selera musafir, anak yang pulang

dan menanggalkan kasut ini sebentar.

 

Ma, mari kita adun mimpi bersama, jalan ke

anak bukit dan pohon getah, paya dan

pohon bambangan. Pohon bambu masih

mengirim rindu pada desir angin yang lewat.

 

Ma, mereka bilang kau warga emas

memang kau nilam gemala di sukma

sekalipun wajahmu terkandung usia

tapi hitam dahimu kerana lama bersujud.

 

Ma, aku menulis puisi. Ada huruf dan kata-kata

bersayap terbang jauh sampai ke alam kasyaf

ada Gazel, pandai menari, menerjang udara

dan ada sepasang kasut yang taat.

 

Ma, dari dulu kau pendengar yang baik

tapi ngomelmu selalu menjadikan aku

Karuhai yang kecil. Kerana telah ada,

akan kubawa kau ke tanah kebaikan.

 

Ma, lama kita tak melihat rumah lama

di daerah selatan. Barangkali tiangnya

digenangi air, atapnya telah bocor dan

dindingnya dimakan anai-anai.

 

Ma, ketika banjir turun sungai Mesapol

melimpah sampai jauh ke paya dan

desa di kampung lama. Bagaimana

nasib saudaraku di PantaiTimur?

 

Ma, aku telah pulang disampingmu

ini anakmu dulu, cuma aku

pulang bukan sebagai si tenggang

yang ada sekujur tubuh dan sukma.

 

Ma, kekuatan dan pengorbanan

telah menyatu dalam ketulusan dan

nizam. Dan di tanahmu telah disiapkan

pelabuhan, aku membawamu ke bintang kejora.

 

Kota Kinabalu

2 Januari 2013

*Terbit  di Majalah Wadah

 

62. Mesapol, Musim Buah

 

Musim buah datang lagi

adakalanya aku ingin meremas

tanahmu dan bergolek-golek

seperti kucing di atas debu.

 

Aku telah jauh ke depan

sekalipun langkah ini berat

memandangmu aku harus

menoleh ke belakang arah

selatan.

 

Kuselak daun pisang dan

mencium bau kenangan

hujan tropik turun bersama

angin petang bagai aku terhukum.

 

Aku telah menebus janji

di ranjang malam igaumu

seperti mengheret mimpi

ke dalam api belerang.

 

Kota Kinabalu

23 Disember 2013

 

63. Jalan Ke Selatan

 

Bualnya

seperti letusan minyak panas

memercik

mendekatinya

seperti memasukkan

tangan

ke lubang ular.

 

Sudah berapa kali

Diumumkan

pada dinding telah

ia tampal suara perintah

 

datang

bagai deru gelombang

dan badai malam

menghempas-pulas

tiang

rumah kasih sayangmu.

 

Hujan turun

Masuk

ke dalam halaman

akar-akarmu

menyerap sepuasnya

seperti musim kemarau

telah berakhir.

 

Kau menggulung

malammu dalam diam

jalan ke selatan

menggusikmu

dalam mimpi

jalan panjang

tanpa belokkan.

 

Noumea

2005

 

64. Serah Keris

 

Malam itu

kau bersembunyi

penantian yang gelisah.

 

Remang bulan

kau muncul

dari kembang

bunga di taman

 

Menyelinap

ke dalam malam

rembulan sarat

dan terpanah.

 

Kedua mempelai

datang menghadap

bapa mertua

dengan keris bersampul

sapu tangan putih.

 

Kota Kinabalu

1 Disember 2013

 

65. Karuhai

 

Aku mengenal namamu bukan dari membaca sejarah

tidak juga dari batu bersurat kerana kuburmu memang

tak ada. Namamu disebut, lalu cerita pun bermula

Karuhai, demikianlah namamu, begitu indah di hujung

lidah seorang ma. Karuhai diam di dalam sukma.

Kalau aku merindukan seorang Karuhai kerana Karuhai

adalah si legenda yang tak akan dilupakan. Karuhai

hidup dalam mimpi dan impian. Karuhai, namamu tak

akan dilupakan. Namamu hidup dalam imajinasi se-

orang ma, seorang anak, dalam cerita, dalam puisi.

Namamu tak hilang dibawa harus ke muara dan hilang

dan tenggelam selamanya. Aku tak akan membiarkan

itu akan terjadi. Kau adalah lambang ketaatan. Aku

bisikan kepada telinga alam sejagat, semuanya akan

menjawab, "ya, benar." Karuhai adalah lambang ketaatan.

Tak ada duanya dalam lagenda. Ketaatan tak dipertikaikan.

Ketaatan Karuhai adalah ketaatan seorang anak kepada

ma. Cinta tulus seorang anak kepada ibu. Cinta yang

membuat tradisi dimartabatkan. Diletakkan pada tempatnya.

Aku adalah anak-anak yang dibesarkan dalam cerita ma.

Karuhai, gagah perkasa tiada tandingnya di mata ma.

Ini rahmat Allah kekuatan yang istimewa anugerah

dan kemampuannya berkhidmat.Cinta Karuhai pada ma.

Cinta aku pada ma seperti cinta Karuhai pada ma.

Aku ingin seperti Karuhai. Karuhai mengkhidmati ma.

Aku juga mau, mengkhidmati ma.Tujuh lautan akan

aku berperahu kalau di sana ada yang membahagiakan ma.

Tujuh lipatan langit kudaki bersama ma kalau di langit

terakhir di situ ada kemahuan ma. Kerana ma, Karuhai

tak pernah membantah, maka aku pun mau begitu.

Karuhai tak pernah bersikeras dan menjawab walaupun

sepatah kata maka aku mau begitu juga. Karuhai hidup

mau membahagiakan ma, maka aku juga mau begitu.

Bagi Karuhai ma adalah segala-galanya, maka aku pun

juga mau ma adalah segala-galanya. Karuhai tak ada

bandingan, Karuhai satu-satunya di atas bumi ini,

insan yang tak pernah ingkar dan derhaka pada orang

tua, pada ma. Ketika ma bercerita tentang seorang

Karuhai, akulah anak ma yang pertama, si Karuhai itu

adalah aku. Bayangkan kalau ma bilang pada Karuhai

tolong ambil rembulan dari langit dibawa turun ke sini

supaya rembulan boleh menerangi pondok ma. Tentu

Karuhai, tidak mustahil akan mendaki langit membawa

pulang rembulan buat ma. Karuhai sukmamu sukmaku

telah menjadi satu. Aku bawa Karuhai dalam sukma ke

mana-mana. Namamu tak akan mati.Karuhai akan

hidup dan abadi, Karuhai melekat di tiap bintang di-

langit. Karuhai, pengorbananmu mencipta syuga

di bumi ini. Bukan syurga ilusi, adalah syurga tercipta

buat seorang ma. Tiada boleh menyangkal pengorbanan

Karuhai buat seorang ma. Ketika ma menyuruhnya

dedaun kering buat atap rumah, Karuhai, anak yang

gagah perkasa telah siap mengumpul dedaunan kering

setinggi bukit dan mengikatnya dengan tali akar.

Karuhai, namamu tercipta kerana pengorbananmu.

Karuhai, namamu hidup abadi pada bangsa yang

kenal pada pengorbanan seorang anak kepada ma.

Walaupun pengorbanan itu mengundang maut bagi

Karuhai demi kebahagian seorang ma, ia akan kerjakan.

Ketika tali akar yang melilit dedaunan merimbun

sebesar bukit dilucutkan, Karuhai, gagah perkasa itu…

Suara ma merendah dan perlahan. Ada emosi bagai

elektrik memulas sukma, air mataku menitis mulai

dari gerimis kemudian hujan turun lebat. Karuhai

tertimbus dedaunan sebesar bukit. Aku diam. Sekalipun

aku telah mendengar cerita  Karuhai mungkin lebih

dari ratusan kali, tiap akhir cerita Karuhai, air mata

pasti menitis. Karuhai, kuingat namamu, lambang

pengorbanan, cinta dan memartabatkan seorang ma.

 

Kota Kinabalu

18 Disember 2012

 

66. Segerombolan Pemburu

 

Malam itu telah bersatu hati semua akan pergi berburu

hutan belukar di belakang desa di kaki bukit memanjang

jadi banjaran gunung dan puncaknya menyentuh awan.

 

Segerombolan pemburu mempertaruh nasib dengan

senapang angin berangkat selepas senja mengepong

hutan belukar, mencium angin dan mempelajari

gerak-gerak mangsanya di sepanjang malam.

 

Soalnya hutan belukar ini telah selalu diburu

bukan sekali malah puluhan dan ratusan kali

hutan peribumi ini seperti terdera, akhirnya

senyap dan sepi, dan burung-burung tak pernah

singgah, apa lagi haiwan. Seakan Haiwan ini

berkata satu sama lain, 'Kami telah jerah,

di hutan ini, kami diracun, dijerat dan ditembak.'

Mereka tak menyukai kami, apa lagi menyayangi.

 

Dari desa ke dalam hutan gerombolan pemburu

mendengar hanya degup jantungnya tetapi tak

mendengar apa-apa, hutan sunyi. Para pemburu

merasa tersiksa, tak ada satu yang boleh ditembak.

Kemarahan para pemburu memuncak, mereka jadi

hilang akal, menembak apa saja ke mana-mana.

Ke pohon mangga, durian dan cempedak, tarap

dan nangka. Mereka menggeliat kehausan untuk

melihat darah dari mangsanya.Tapi malam ini

pelanduk dan rusa pun tak muncul di hutan belukar.

Akhirnya di atas bukit semua pemburu berkumpul

tak ada haiwan yang  jadi mangsa malam ini.

Mereka mengeluh. Mengapa pulang kosong?

Tak seekor kera, apalagi biawak yang boleh

didagangkan. Mereka kesal. Seorang dari mereka

bilang, “sial.”

 

Malam itu segerombolan pemburu pulang tanpa

banyak bercerita. Tak ada kelakar di sepanjang jalan.

Diam. Hanya sekali-sekali terdengar kata-kata

kesat dan menyumpah hutan belukar di belakang desa.

 

Kota Kinabalu

31 Januari 2013

 

67. Tanah Ma

 

Tanahnya tak terlalu besar

 memanjang dan mengecil ke tengah

Rumah lama itu di kaki bukit

tak jauh dari sungai kecil kampung lama

Langitmu selalu menurunkan hujan 

sungai  menenggelamkan tebing

Panas di siang hari dan dingin

malam hari mengumpulkan kenangan.

 

Tanah-tanah tetangga masih penuh

getah tua dan pendatang turun menoreh

Tuan punya tanah  berumah jauh ke selatan

dan telah meninggalkan kampung

Anak-anak baru telah lupa tapak

kampung lama kini kampung bertukar wajah

Pendatang baru telah menggantikan

penghuni kampung dan orang tak bertanya.

 

Tanah ma masih tanah warisan

tamu-tamunya  masih berdatangan

Di sini ma mesra alam ketika

hutan terbakar haiwan turun

mencari hutan baru

Langitmu penuh dengan burung-burung

berpasangan  terbang hinggap di pohon

Keriuhan hutan di tanah warisan

terus memanggilmu walaupun

kau jauh di rantau.

 

Hobart

2007

 

68.  Jalan Ke Selatan

Bualnya

seperti letusan minyak panas

memercik

mendekatinya

seperti memasukkan

tangan

ke lubang ular.

 

Sudah berapa kali

diumumkan.

Pada dinding telah

ia tampal suara perintah

datang

bagai deru gelombang

dan badai malam

menghempas-pulas

tiang

rumah kasih sayangmu.

 

Hujan turun

masuk

ke dalam halaman

akar-akarmu

menyerap sepuasnya

seperti musim kemarau

telah berakhir.

 

Kau menggulung

malammu dalam diam

jalan ke selatan

menggusikmu

dalam mimpi

jalan panjang

tanpa belokkan.

 

Perth

2007

 

69. Doa ma

 

Aku terlalu perlahan

membawamu

langit purnama.

 

Degup sukmamu dan suara

mengerang di malam buta telah

menyerap

ke dalam mimpi.

.

Waktu jauh

ke dalam senja.

 

Tapi sosok tubuh ini

menunduk

membasahi sejadah

doa-doa panjang dan

suaranya ditelan waktu.

 

Aku melihat

syurga dalam sukma

dan mata tuamu

ma, memandang

samawi seperti dirinya telah

melayang ke pusar langit.

 

70. Padamu, Ma

 

Menunggu hari tua

kau sendiri telah meragukan

mereka berkata dari atas anak tangga

sedang kau mendengar dari bawah.

 

Tiap kalimatmu sampai ke telinga

kau memital sebuah harapan

suara itu makin bergema keras

mengingatkanmu percakapan itu.

 

Mereka telah memindahkan lampu kamar

sejak itu

pintu rumahmu tak terkunci

dan mereka tak pulang.

 

Kau tak melihat rembulan

dendam di hujung mata pisau

langitmu gelap

mereka telah berpaling.

 

Sandakan

Jun 2014

 

71. Balada Nenek

 

Nenek terbaring di dalam kamar

Ia tak melihat matahari

telah masuk berapa minggu

apalagi mencium bau hujan.

 

Ingatan ini menipis dan menjauh

bau bunga kemboja dan melatih

ketika tercium bau lauk dan

seleranya masih tak lepas.

 

Siang itu nenek resah gelisah

terbaring sendirian dan lemah

anak perempuan dan cucunya

bermain di penjuru kamar.

Masa muda nenek tak pernah

duduk diam dalam rumah

turun ke kebun, menorah getah

dan berjual sayur dan halia. 

 

Suatu hari anak perempuan

merasa kasihan pada nenek

kerana usia makin bertambah

dan tinggal sendiri di kampung.

 

Dijual tanah ia berpindah

ke kotaraya membawa nenek

tinggal di rumah flat

dengan anak dan cucu.

 

Nenek sekarang di kotaraya

jiwanya terganggu mengingatkan

tanah sejengkal di kampung

telah dijual dan tak mungkin pulang.

 

Di kotaraya ini, nenek mengutip tin

botol dan kotak kertas dan menjualnya.

Matahari di sini tak sebaik kampung

di kotaraya ini dada nenek tercengkam.

 

Hari bala itu turun, ketika mengangkat

karung, nenek jatuh.

 Kini usianya makin jauh, tubuhnya

makin lemah tak bermaya.

 

Ia tak dapat menahan diri

keinginannya ke bilik air telah lama

nenek bingkas berdiri dan melangkah

ke bilik air.

 

Ketika nenek ingin mengapai

tempat berpegang, nenek  terpeleset

jatuh di atas lantai semen di bilik air.

 

Nenek merasa tangan kanannya sakit.

Tulang pinggang patah ditempat dulu.

Cicak di penjuru mengedipkan mata

Petang itu nenek ditahan di ICU.

 

72. Puteri Siti Payung

 

Ketika sungai beralih

lahir sebuah danau

dan pulau daratan

di tepi desa.

 

Kalau dulu

ia tebing yang kuat dan bertahan

sepak terjang banjir melimpah

ia tetap mencengkam bumi.

tanpa mengaku kalah.

 

Malam terakhir ini, sukmanya

bagaikan sungai yang terputus

terbagi dua

impiannya tenggelam

terbawa arus jauh ke laut.

Penghuni hutan diam

tak berani berkata-kata.

 

Musim cepat berubah

Puteri Siti Payung duduk

di atas tangga memandang

gerimis turun

menunggu kepulanganmu.

 

Kota Kinabalu

31 Disember 2013

 

*Menurut Tradisi kedayan/Brunei, Siti Payung itu, panggilan kepada tikus.

 

73.*********** (7)

 

74. Khabar Dari Kampung

 

Ada khabar dari kampung, sekarang musim penghujan

sungai terus naik arusnya semakin deras, tanah leluhur

digenangi air. Kebun buah tak menjadi. Jagung muda

tak sempat ranum.

 

Lama sudah tak berbual. Sekali bertelefon banyak yang

ingin dibualkan. Tentang kebun, buah-buahnya dimakan

monyet. Mesra alam masih belum dimengerti. Semua

dilihat hitam dan putih.

 

Nenek duduk di anak tangga, melihat cucunya

balik dari sekolah. Ia masih boleh menjawab cuma

tangan terketar dan jalannya lambat. Kekadang

suaminya turun berkebun, cuma jantungnya tak selincah

dulu.

 

Kota Kinabalu

20 November 2013

 

75. Nenek Dan Bayi

 

Aku melihat seorang nenek

mendokong bayi

membawanya masuk

ke dalam kamar.

 

nenek tua berbual

sendiri

bayi berguling

ke kanan dan kiri

seperti menatap

mata nenek

sedang gusinya

belum tumbuh gigi.

 

suasana tenang

pada langit

tak

ada kelihatan

noda hitam

biru bersih

nenek tua

menyanyi.

 

nenek tua

memangku bayi

baru enam bulan

ingatannya kembali

setengah abad lalu

pernah seorang bayi

lelaki

duduk di ribanya.

 

ditelitinya

raut muka, rambut,

tangan dan kaki

bayi dalam pangkuan

lalu tersenyum sendiri.

 

Kota Kinabalu

14 November 2013

 

76. Ma Pulang

 

Kelihatan dua ekor

kuda

mengunyah rumput

dalam hujan.

 

Hujan masih bertahta

senja hanyut ke dalam

malam.

 

Mereka telah tiba

di penghujung jalan

ingin pulang.

 

Pulanglah, di sini

rumahmu.

 

Kota Kinabalu

8 September 2013

 

77. Kelupis

 

Pada suatu siang menawan

diparuh kelapa dan diperah santan

baumu berbaur daun pandan

menipis ke udara masuk ke

halaman sukmamu.

 

Tiap tindakan mengundang kesabaran

kusentuh kau dengan pengayuh, manis

bicara dan sopan dalam gerak.

 

Ketika kau siap bagai pengantin akan

diijab kabul. Kau disatukan ke dalam

kawah. Lalu tangan-tangan kasih sayang

ini membungkus dan melipatmu dengan

daun nyirik dan siap untuk dikukus.

 

Lai, aku kenal tanganmu

bertahanlah pada tradisi

dan tak akan kau lepaskan.

 

Kota Kinabalu

3 September 2013

 

* Kelupis, makanan dibuat dari nasi pulut dimasak dengan santan dan dibungkus daun nyirik dan dikukus. Kelupis bagi suku kaum Kedayan dan Jelurut bagi suku kaum Brunei.

 

78. Berenang di Lubukmu

 

Kuseru namamu berkali-kali

di sungai ini kita pernah memancing

tapi bumimu cepat berubah, terlalu

cepat.

 

Butakah mata ini atau

aku memang tak melihatmu.

Ke mana perginya?

Dulu hanya ada satu jalan

sekalipun kupejamkan mata

pasti aku akan sampai

menyentuh airmu yang dingin.

 

Aku dapat meraba ke dalam

dasarmu dengan kaki dan

menyentuh pagutanmu.

Waktu telah berhanyut jauh

Di sini, kau kehilangan lubuk

Keli, Haruan Putian, Karuk

dan Pangal.

 

Manisku, berenanglah

ke lubuk sukma.

Kugenggammu

dan kulepaskan sebagai

kenangan.

 

Kota Kinabalu

15 Ogos 2013

 

79. Menggali Tanah Warisan

Aku menggali ke dalam tanah warisan, ma

Tradisi budaya berakar di tanah gembur yang subur

Yang membawa angin kesegaran hidup beradab

Anak-anak peribumi yang akan datang belajar.

 

Anak dalam kandungan sampai menjadi pohon dewasa

Kau dengar ma bercerita tentang anak sayangkan ibu

Anak mengalahkan raksasa dan suami yang turun ke sungai

Cerita ma seperti  menonton film yang diputar  tak berhenti.

 

Mendengar  ma berpantun dan bercerita , menyanyi  ketika

Mendodoikan adik kecil supaya tidur  di dalam buaian

Nyanyi dan cerita ma, dan keseronokan kami mendengar

Sampai kami dewasa dan berumah tangga tak akan lupa.

 

Kedayan nama suku ma hidup di sekitar sempadan Sipitang

Dan jalan arah ke Beaufort memberikan warna jati suku ma,

Kehilangan dan terkuburnya tradisi  seperti bertamu ke-

Rumah tak melihat hasil budaya pada dinding dan sajian.

 

80. Dodoi, Tidurlah Anak

 

Tidurlah sayang hari semakin malam

Kodok di kolam masih memanggil hujan

langit enggan menyahut panggilanmu

angin lalu menghilang ke dalam hutan

gunung menyepi sendiri, sedang lembah

di hutan jati mulai berdekur. Rembulan

masih bertahta, kelip-kelap tenggelam

timbul di tepi sungai.

 

Anak comel, kau akan mewarisi hutan jati

laut biru dan pulau-pulau batu permata

Melaju perahumu melaju sampai ke Simpang

Mengayau. Terbang burung kenari terbang sampai

ke puncak Kinabalumu. Tidur sukmamu,

tidur, esok ma bisikan khabar dari jauh.

 

Aku melihat sebutir bintang gugur dari

cakerawala.Tapi wajahmu tersenyum dan

bercahaya. Kau mengucap salam dan berlalu.

Lalu kau menjadi cahaya dari kelip-kelap,

Bintang  dan bulan purnama penuh.

 

Dalam tidur malam, wajahmu kulihat

tenang, setenang samudera di waktu malam.

 

Kota Kinabalu

15 March 2013

 

81. Rindu Itu Tak Bertepi

 

Mesapol, igauku masih cuba menyentuh bumbungmu

sukmaku masih membumi di tanahmu

ada suara merayau dan ke sasar sampai ke anak

tangga.

 

Tanah Mesapol di kampung lama

atau jalan ke Lubuk, biarkan lembiding

dan Pakis tumbuh subur di halamanmu

Pohon bambu, aku merindukan suaramu

berdesir dibawa angin dari bukit.

 

Pohon Kabayau, kau cepat membesar

bersama pohon manggis  di tanah bukit.

Satu hari nanti kupulang membawa ma.

Impianmu tanah Mesapol adalah

impianku.

 

Aku tak mengharapkan apa-apa dari

kalian. Langit dan bumi, keramaian

hutan di halaman telah mencukupi.

Sampaikan kepada telinga yang

belum mendengar.

 

Tanah ini adalah

tanah selamat. Terbanglah kalian,

di sini ada langit biru lain dari yang

lain.

 

Aku tak menghentikanmu ketika

kau terbang dan merawang di udara atau

hinggap di pohon-pohon.

 

Lebah madu, musim hujan akan datang

bersaranglah di pohon tinggi

di tanah kasih sayang, Mesapol.

 

Kota Kinabalu

18 March 2013

 

82. Bual-bual Ma Dan Aku 

Ma, sudah kupanggil berkali-kali

ternyata ia tak membalas panggilan

telah kurakam suara di peti suara

tapi masih ia tak membalas. Aku masih

asing di telinganya.

 

Ma, kau bilang aku punya banyak saudara

"Kau bukan sendiri." Mereka orang besar

dan dihormati. Perkenalkan dirimu,

kau adalah anak ma, pertalian darah.

"Ma, Kakak mereka yang paling tua."

 

Sudah ku bilang ma, tapi ia masih

belum terbuka sukmanya menerima.

Ia orang penting. Orang berpengaruh

dan orang-orang suka mengekornya.

Ia, orang yang paling sibuk di muka

bumi ini. Kalau bisa diminta tambah

waktu dari 24 jam jadi 30 jam, pasti

ia orang pertama memohon supaya

ditukar satu hari ada 40 jam.

 

Ma, sekarang aku selalu di tanah kita.

Pohon bambu, cempedak dan Bambangan

terlalu rindu pada Ma, dan aku.

Ketika mereka tau aku lalu di situ

hutan belukar di tanah Ma riuh-rendah

Mereka gembira kerana dapat khabar

aku berada tak jauh dari tanah kita.

 

Ma, lebih baik lupakan saja, kita telah

puas mengenangkannya dalam impian

tetapi dalam kenyataan ia telah menolak

Ma dan aku. Persaudaraan darah seperti

tak ada ertinya, hanya kalau saja kau

seorang berada dan berkedudukan.

 

Ma, kita tak mengharap atau tumpang

meraih kejayaannya. Biarkan mereka

memanggilnya orang berbangsa tapi

sebenarnya ia orang yang tak berbudaya

tohor dalam budi pekerti.

 

Ma, kalau  Karuhai masih hidup

apakah ia sayang pada saudaranya.

Ma, membalas, "Ya." sambil senyum.

 

Kota Kinabaliu

16 Januari 2013

 

83. Matahari  Kembali

 

Di anak tangga seorang ibu

dengan anak-anaknya

memandang deras air sungai

yang melaju ke laut.

 

Air menurun sedikit

dari semalam, langit perlahan

terang. Ada suara haiwan terjerat

semalaman telah terlepas.

 

Memang kau tak

berkata apa-apa

bagai gunung bertahan

kesabaranmu adalah

sungai yang mengalir

ketenangan wajahmu adalah

sumur yang bergenang.

 

Ketika kulihat

mataharimu kembali

di bumbung langitmu

resahku menjadi

kepul-kepul asap

menjauh terbawa angin.

 

Kuusap ubun-ubunmu

telapak tangan kanan

ke pipimu

dan menatap matamu

sambil tersenyum

Kau selamat.

 

Kota Kinabalu

28 Disember 2012

 

84. Hujan Pagi

 

Setelah fajar hujan pagi

kau menyanyi sambil

menggulum mulut

tanpa kata-kata.

 

Pesta perkahwinan

jiran sebelah

selesai malam tadi.

Tuan rumah puas,

keramaian Karaoke

pun telah berhenti.

Tamu telah pulang

kerusi dan meja telah

disusun.

 

Ma mencium dahi

anak perantau yang pulang

ditanya bila Ma dibawa pergi.

 

Malam tadi dalam mimpi

aku bertemu dan mencium

tangan seorang Khalifa

yang telah berpulang.

 

Sandakan

25 November 2012

*Disiarkan dalam Utusan Borneo 7 April 2013.

 

85. Menunggu Sapaan

 

Malam ini aku mengingatimu

Mesapol, nama itu kembali

kau bukan sebuah kotaraya

tapi sebuah desa yang sepi

menunggu hadirnya sapaan.

Dari halaman rimbamu, aku

melihat airmatamu jatuh

menitik ke atas bumi. Kau

bertanya mengapa tiada

khabar si burung punai,

kera di hutan telah lama

meninggalkan sulap?

 Pelanduk di hutanmu

menjauh ke hutan jiran.

Mesapol, kusapa kau

dalam puisi sekalipun

kau menganggap nyanyian

di pinggir jalan atau igau

di malam hari. Suara rimba,

getah tua, tanah sejengkal,

desa bagai pohon tak tumbuh

semuanya kuresapkan

ke dalam genta puisi.

Rumah kosong di kaki

bukit, pohon Bambangan

dan pohon bambu masih

memanggilmu. Tapi saudaraku

yang duduk di sana masih tak

mendengar ketukan pintu

suatu siang yang kelabu.

Ada waktunya air pasang

surut. Rembulan pulang

ke horizon di hujung malam.

Matahari menyingkap hari baru.

Aku akan memanggilmu

dengan panggilan yang

lembut hingga kau menoleh

dan melihatku. Kerana kau

dan aku bukan apa-apa

tapi saling menguatkan

satu sama lain.

 

Kota Kinabalu

30 November 2012

 

86. Impian Ma

 

Ma telah berhempas pulas melindungi tanah leluhur ini

Perjuangan tidak ada kalah yang dituntut kemenangan

Kesejesteraan anak-anak  yang nanti menerus perjuangan

Anak-anak kemudian mewakili zamannya meneruskan lagi.

 

Tiada impian selain berjaya dalam hidup dan anak-anak

Tumbuh membesar dalam lingkung dan mendahulukan rohani

Melangkahi sempadan menggali khazanah ilmu sampai ke orbit baru

Tawajuh dalam berdoa dan berzikirullah  rahmat-Nya.

 

Pengorbanan dan ujian yang tempuh dalam seribu ikhtiar

Jiwamu istiqamah berpegang pada kebenaran dan tak gusar

Menantang gelombang dan badai menuju pelabuhan damai

Kau betah dalam bahasa ibunda, bahasa Melayu.

 

Kasih sayang ma memegang tanganmu sampai ke jalan kebaikan

Di jalan ini, kau meraih pintu syafaat  sampai ke akhir

Takaran waktumu anugerah Tuhan Rahman dan setiap langkah

Kau bermunasabah dan merenung langkah selanjutnya.

 

87. Pintu Ini

 

Telah berapa kali ma bilang

kami telah lama di sini,

kami ingin pulang.

Pintumu masih terbuka.

Siang dan malam

tak ada had dan batas

tiap ruang ini adalah kepunyaanmu

kami adalah pengkhidmatmu yang rajin

kau selalu datang dengan warna pelangi

dan selalu membawa harum kembang

bunga di taman.

Buatmu, ma, aku tak pernah lelah

apa lagi membuang muka dan berdiam diri

kau adalah matahari selalu didambakan

kau adalah rembulan sukma sebuah rindu.

Datanglah, kami rindu pada suaramu

kami ketagih pada cerita-ceritamu sebelum tidur.

Sekarang banyak perubahan bukan atas kehendak

tapi adalah tekanan dan dorongan hidup itu

menjauh orang di bumi yang dipijak.

Kemenangan hidup selalu dihitung

dari pencapaian mata kasar.

Kegagalan adalah suatu yang tak mungkin

dan tak boleh bertolak ansur.

Mereka mengibar bendera di halaman rumah

kejayaan anak-anak pulang dengan ijazah

dan bekerja, roda kehidupan berjalan terus

Tiap keluarga memeras siang biar air sarbat

menitis dari genggamannya

memupuk impian pada malam supaya rezekinya

menjulang sampai ke langit.

Dalam kesibukan membesar rumah dan

menakluki sempadan baru

galaksi dan orbit baru

rembulan dan matahari

mereka terlupa di pojokan ada seorang tua

sendiri dan memandangmu dengan diam.

Saudaraku, bahasamu makin keras

dan kasih-sayangmu telah lama terbang menjauh

Tiap malam ma tua bercerita sendiri

seperti dulu masih kecil duduk mendengar

Cerita Karuhai dan menidurkanmu dengan

lagu rakyat.

Malam telah jauh meninggalkan halamannya.

bahasa ma dan mereka telah berubah

dan semakin tak dapat dimengerti.

Mereka, saudaraku, melihat dunia kembang api

dan bungai rampai.

Aku hanya mau melihatmu, ma

tenang dan tak mengigau dalam tidur.

Datanglah, pintu ini terbuka padamu.

Yang ada pada siang

itulah rezeki yang Allah berikan

Kami menunggu, membawamu pulang.

 

Kota Kinabalu

15 September 2013

 

88. Gubang

 

Tadi, tebing tanah pusaka

runtuh jauh ke dalam.

Hari ini, hujan tak turun.

Ketika lalu rumah Si Badin,

sepi. Memang ia pemburu

pelanduk dan payau. Kini entah

ke mana. Orang tak mengetam padi.

Durong, telah dimakan anai-anai.

Sekarang bukan musim banjir

lalu, berhanyut-hanyut sendirian

membawa gubangku ke Kuala

Sungai Lakutan.

 

Gubangku, tadi

di laut kini di atas pasir.

Di Pantai Palakat,

di bawah pohon

aku membuka bungkusan

tompeh dan ikan goreng.

Sendiri, tapi dalam sukma,

aku mengenangkan ma,

mengenangmu, Karuhai.

 

Kota Kinabalu

3 September 2013

 

Glossari kata-kata Kedayan, etnis suku Kedayan di Sabah, Malaysia.

* Karuhai-watak lagenda yang itaat kepada ibu

*Gubang-perahu

*Durong, tempat menyimpan beras

*mengetam-menuai

*Payau-rusa

*tompeh-pancake

 

89. Cukundai

 

Langitmu bagai catatan yang hampir penuh.

Rembulan cahaya mata

Bajumu kebaya kain lepas, gelang kaki

mas sewasa kerongsang emas berbunga

bagai gadis jalan berlenggang

cukundai pada rambut ikal mayang

rendah rimbunan

dua sukma, sempurna wajahmu

mengarak ke jinjang pelamin.

 

Kota Kinabalu

4 Januari 2014

 

*Cukundai-cucuk sanggul

 

90. Apa Yang Kau Tak Rasakan

 

Aku tidak melihat kerbau berkubang

di kampung. Orang seakan beranggapan

memelihara kerbau terkait kepada masa

lampau.

 

Semakin kurang orang kampung turun

menoreh getah. Selain pekerja upahan

berkongsi hasil. Sungai Lakutanmu masih

mengalir. Ketika musim banjir, arusnya

melimpah sampai ke anak tangga, bergenang.

 

Tanah pokok cempedak di pinggir jalan

tanah bukit pokok getah tua telah lama

ditebang. Kampung ini bertukar kulit.

Wajahnya kini wajah orang pekan.  Dari

dulu di sini, telah bermukim pendatang.

 

Kalau kau tak ketemu kerana aku berumah

di tanah bukit. Di situ tumbuh lebat lamiding

dan pakis, rebung dan cekuk manis. Aku

ingin merasakan apa yang kau tak rasakan.

 

Kota Kinabalu

3 April 2013

 

91. Kita Masih bersaudara

 

Hujan rahmat, kota digenangi air

tapi, aku masih melihatmu, jarak

bukan pemisah. Gemuruh hujan,

air melimpah turun dari bukit,

seperti warna teh susu. Sekarang

musim buah. Aku memanggilmu,

saudaraku. Ia membalas selamba.

Mesapol, tanah bukitmu masih NT

Kalau belum saling mengenal, tiap

pertanyaan menimbulkan curiga.

Bagaimana aku dapat menerangkan

sedang  kau tak ada waktu mendengar.

Lalu aku berkata, tak apalah lain

kali saja aku akan memanggilmu.

Bagaimana aku dapat menerangkan.

Semuanya memerlukan masa. Soalnya,

aku merasa tertekan ketika ditanya,

“Ada apa?" Kerana ia tak mengenalmu.

Jawabku mudah, "Tak ada apa-apa".

Tiap orang ada rahsia dibawah kepak

 dan sebaiknya membiarkan ia terus

begitu tidak terganggu. Ada esok.

Kita masih bersaudara walaupun

kita tak kenal, ambil tak kisah.

 

Kudat

17 November 2012

 

92. Sedikit Nasihat Ma

 

Berkata biar indah

salam bermuka manis

doa dipanjangkan.

 

Belajar biar rajin

membaca sampai tamat

kembara melangkau bumi.

 

Sabar biar berlanjut

tangan memberi

hidup sederhana.

 

Cinta biar sejagat

benci pada yang dosa

berdendam jangan sekali.

 

Berjuang biar maju

berpura-pura pantang sekali

taat bertunjang langit.

 

Menegur biar santun

makan bersopan

mata menunduk.

 

Solat biarkan sempurna

tahajud secara dawwam

pengorbanan amalan suci.

 

Canberra

21 Mei 2012

 

93. Dodoi Mama

 

Cerita ini belum selesai, sayang.

 

Melihat foto ma

berbaju kebaya dengan kerongsang emas

berkain lepas. Subangnya indah,

berantai dan bergelang emas.

 

Ma suka makan ambuyat dan gulai hati ayam

bila ke pasar ia membeli tapai nasi atau ubi

dibungkus daun pisang, buah kedundung,

mangga, timun dan kepayas muda dibuat jeruk.

 

Ma bilang,

"Nin, sekali-sekali langkuas, sekali makan puas."

 

Ada cerita, maukah kau dengar, sayang.

Ayah punya surat lahir zaman kolonial

alas plastik dijahit empat penjuru dengan benang

"Surat beranak penting, jangan hilang." tegas ma.

 

Malam cahaya lampu minyak gas

Ma mendodoi anak, kalau tidak bercerita

ada yang lucu ketika ma mengingat dan

mengucap dari abjad A sampai Z.

 

Ya, dodoi ma masih kudengar

jelas dengan sari katanya.

Canberra

18 Mei 2012

 

94.  Pulang Ke Selatan

 

Pulang ke selatan

jalan-jalannya telah tertimbus

menyatu menjadi hutan

di situ pernah ada sebuah rumah

dalam waktu bergeser

atapnya telah bocor

dindingnya dari masa silam

merindukan kekasih tak pulang.

 

Di situ ada rumpun bambu

selalu berseloka kini senyap

pepohonan tinggi telah reput

terpanah petir di suatu malam

jalan ke bukit sepi

gemerisik patah ranting

makin menjauh dan melodi

lagumu hilang.

Memandang ke selatan

terasa melangkah undur

menyemai benih tak tumbuh

mimpi jatuh sebelum ranum

cinta dan benci berbaur

bagai menyicip air buah limpahung.

 

Berdiri ke selatan

matamu tertutup kabut

sepotong bulan lebur

menjadi pasir

tapi, kau masih menyelak

ingatan, bau tanah

suara tilawat dan tafsir

selepas fajar.

Sebuah rumah di selatan

di situ, anai-anai

telah lama bersarang.

 

Canberra

29 Mei 2012

 

95. Aid Mubarak

 

Mesapol, aku berdiri di serambi

matahari Aidil Fitri terpencar

di atas bukit, jalan ke Weston.

Ramah alam: “Aid Mubarak”

hutan sekeliling berhias

hijau berkilat keemasan

burung terbang sekawan

lagu raya berkumandang

pokok getah cuti berkemas.

Sejak beberapa hari dapur

berasap memasak kelupis

tiap malam kunang-kunang

tersangkut di dahan-dahan

menjadi tanglung-tanglung

menerangi malam Lailatul Qadar.

Harum masakan ma berlingkar

dalam udara menyerap ke dalam

sukma di malam-malam tarawi.

Mesapol berdandan dan berinai

malam itu, sungai Lakutan mengalir

membawa salam ke setiap pintu

rembulan dalam mimpimu.

Di sini aku masih mendengar

suara-suaramu yang hinggap

di anak bulan dan panggilanmu

titis madu di hujung lidah

sesekali kau menyebut nama

aku mendarahi lidahku.

 

Honiara

17 Ogos 2012

 

96.  Warnamu Bertukar

 

Mesapol,

warnamu sedikit bertukar

hutanmu adalah

khutub khanah, tidak terlalu besar

sederhana dari keluasan mata

memandang.

 

Apalah erti sebuah bukit yang terhakis

ketika hujan turun terbawa air sedikit

demi sedikit, khazanah

masa silam, menjadi lumpur yang

bertekong esok.

 

Namamu selalu dipanggil

sungaimu adalah urut-urat nadi

hutanmu itu adalah sukma

langit dan lautmu, memori hidup

udaramu penyambung masa

lalu dan esok.

 

Patutkah kau melupakan

adat dan tradisi

menjadi barang silam

yang terbiar dan luntur?

 

Lalu datang

musim perasmian

kita pun berdandan

berhias dan berpakaian

warna-warni, kain polyester.

 

Seharusnya ia hidup

dalam sukmamu

mengalir dari satu generasi

ke generasi lain.

Budayamu bukan tempalan,

tanpa menjiwai.

 

Dalam rumahmu

kosong tanpa seni kraf tradisi

yang bernilai tinggi!

Didik citarasamu,

mengapa perabutmu

barangan murahan

di pasar filipina,

atau bunga plastik jualan

di pasar borong?

 

Aku suka caramu

membuat kelupis,

apa lagi kuih Jelurut.

Mesapol,

ketika bertamu,

makan berulam dan

sayur lemak nangka

dari hutanmu.

 

Honiara

6 Oktober 2012

 

97.  Khazanah Ditemukan

 

Mesapol, telah lama tak terdengar

dekurmu. Sekalipun sungaimu belum

bertukar arah. Kerinduan rimbamu

bergenang dalam diam.Irama hujan

turun di atap zink. Pokok Bambangan

masih di situ. Kau tak akan dilupakan.

Khazanah ditemukan. Musim panas

semalam, kau hilang. Lalu terasa kau tak

akan kembali, bermukim di samudera

lautan dan kau tak dapat diraih hilang

terbawa angin benua. Tadi, kau datang

setelah lenyap, bau nafas dari perjalanan

jauh dan mendarat ke telapak tangan.

Mesapol, kucium bau tanah

udaramu dalam sukma mimpi.

 

Honiara

28 September 2012

 

98. Resepi Dan Ma

 

Biar kau mendengarkan, sayang.

Bagaimana ma mengulit tepung

tari jemarinya lincah menggiling

lalu memanas tompe di kuali logam.

 

Aku rindu resepimu, ma

bau kaki kerbau dibakar

di atas kompur minyak gas

lalu dikupas kulitnya

diambil isi dan tulang

dibuat sup.

 

Ketika turun ke pasar

ma membeli lemak lembu

di atas daun simpul.

 

Suatu malam kulihat

ma melukis bunga

pada sarung bantal

pensilnya teliti di atas kain putih

merenda ke dalam malam.

 

Canberra

17 Mei 2012

 

99. Firasat Sebuah Hati

Masih kuingat pesan ma ketika kutinggalkan

mosaik hati di pintu masuk ke bilik tunggu

ia berdiri dengan mata redup, bersandal getah

kain pelikat dan berbaju kurung agak besar sedikit.

Ia mendakapku, bagai mendakap rembulan

berjengkit sedikit mencari keningku

lalu menciumnya, ke dahi kepala dan kedua pipi.

Aku menatap matanya bagai mencari kekuatan

sambil memeggang tangan kanannya

"Mohon doa."

"Ya, ma selalu mendoakanmu."

Kami terdiam sebentar. Panggilan keberangkatan

terakhir. Lalu kupegang kedua bahu ma

terasa ringan dan tanpa perlawanan.

Kudakap ma sekali lagi. Para penumpang

bergegas masuk. Ma meregutku,

aku membongkok dengan rela.

"Ada pesan ma yang terakhir buatmu."

Kudekatkan telinga cuba mendengar bisik ma.

"Ikut suara hatimu, ikut suara hatimu." ma mengulang.

"Firasat." tegas ma.

Lalu tangan kanannya menyentuh pipi kananku.

"Pergilah, usah menoleh."

 

Canberra

10 Mei 2012

 

100. Lagu Ma Dan Kucing

 

Ma berjalan mundar-mandir

sekejap pandangannya melihat ke luar jalan

menyelusuri pagar, melihat ke bawah ranjang

ke pinggan nasi di penjuru. Ia tiada.

 

Ma menaiki tangga memanggil namanya

(kepada dirinya) tak pernah ia berpergian

hujan telah berhenti. Anak-anak sekolah telah

lama pulang. Jalan lengang dan sepi.

Kenderaan telah pulang dan parkir.

 

Ma lalu di kamar Dahlia

dia sudah lama di dalam kamarnya

malam turun sekerat-sekerat. Pintu

kamar di tingkat bawah segaja terbuka

kekasih ma belum pulang. Ia menunggu.

 

Mata ma setengah terpejam. Suara muazin dari

masjid memanggil jemaah. Dengkurnya kendur

ma berbicara sendiri. Rasa menyesal berbaur

rindu. Mata ma masih melihat ke penjuru.

Senyap.

 

Bagai lagu laut dan ombak

memulangkan rindu

rahsia suatu malam terjawab

senyum merekah, mata ma bercahaya.

Ia melangkah masuk dan mengelus

kaki ma, lembut dan manja.

 

Canberra

8 Mei 2012

 

101. Aku Dan Ma

 

Suatu siang di sebuah

pohon di tepi jalan

aku melihat cermin

ada paruh di dahi.

 

Malam mendayu degup jantungku

seperti anak kecil menemukan sesuatu

di halaman laut. Lalu bercerita sendiri.

 

Aku beryanyi kecil lagu dari masa lalu

rumpaian laut lambang kasih yang sampai.

burung helang di pohon tinggi di atas bukit

melebarkan kepaknya di langit perkasa.Turun

mengenapkan kasihnya pada laut.

 

Di tepi laut senja aku berdiri memandang

laut, mengagih harapan. Sepasang mata

menatap dan perlahan berpaling dari kanan

Degup jantungnya menabur gendang siang.

 

"Ya Allah, turunkan kepadaku, kasih-Mu."

 

Seperti memasang lampu selepas hujan

kunang-kunang bertebaran di malam remang

Pengorbanan memang diagihkan. Lalu aku

Mencium syurga pada kembang ros di dahi ma. 

 

Canberra

8 Mei 2012

 

102. Puisi Buat Ma

 

Melihat matamu kendur

gelombang nafasmu.

Langkahmu semakin terbatas

perlahan dan lemah.

 

Bagai air menitis

selepas hujan

membuat riak dan

bunyi sesaat jarak.

 

Kau semakin perasa

pada dunia sekitarmu.

 

Aku ingin melihatmu

makan berselera

berbual dan mengusik.

 

Kenangan pun semakin

rapuh dan menjauh.

 

Dalam bola matamu

yang redup dan kabur

kau menatap sekilas

klik, lalu berlalu

terasa ada yang masih

belum terbuat.

 

Canberra

7 Mei 2012

 

103. Kanan

 

Aku diajar guna tangan kanan

kepada semua yang baik.

 

Ma, menasihati

makan guna tangan kanan

bersalaman tangan kanan

menulis tangan kanan

jempul ibu jari kanan

terima hadiah tangan kanan

jemput masuk tangan kanan

melangkah ke kanan

berbaring ke kanan.

 

Di kanan itu malaikat

bulan berpusing ke kanan

bumi berpusing ke kanan

memakai baju dari kanan

jantung ke kanan.

cincin di tangan kanan.

 

Pak Lah, Badawi, BJ Habibie,

Harry S. Truman, Ronald Reagan,

George H.W. Bush, Bill Clinton,

Barack Obama, Ghandi,

Winston Churchill,

Alexander Agung, Aristotle

Charlemagne, Julius Caesar,

Raja Perancis Louis XVI,

Ratu Inggeris Victoria,

Raja muda Inggeris Charles

Raja muda Inggeris William,

Fidel Castro, Benjamin Netanyahu

Ehud Olmert, Jack the rapper.

Mereka ini pula biasa kiri.

 

Kau pula tangan apa kebiasaanmu?

 

Canberra

6 Mei 2012

 

104. Pesan Dari Nenek

 

Ketika melangkah pulang

nenek memandang sekilas.

degup nafasmu masih segar

segala pesanmu sampai

segala beritamu telah dibaca.

 

Mesapol, genggamanku semakin kendur

pelukanku semakin lemah dibawa arus menjauh

datangmu tanpa paluan kompang

pergimu tanpa selamat jalan.

 

Mesapol, mimpiku kesiangan

telah kucuba, segalanya hanyut ke muara.

Cintamu, Mesapol masih jelapang hijau

dendammu telah jadi hakisan runtuh ke laut lepas.

 

Honiara

20 September 2011

 

105. Mesapol

 

Mesapol, menyebutmu manis madu di hujung lidah

Memetik pakis di hutan harimau berjuntai

Padi huma kini selamanya tamu dalam kenangan

Pepohonan getah, Batu Belah Batu Bertangkup

Halaman hutan pelanduk kini kosong menyepi.

 

Mesapol, kukenangkan cerita si Keruhai

Tak usah dahimu berkerut kau telah terlupa

Kasihmu lebih dari Kinabalu yang utuh

Pengorbanan meremaskan dedaunan kasih merimbun

Ketika mama memberi isyarat tiada dua kata berulang

Keruhai berlari sepintas waktu menurut perintah.

 

Mesapol, kau dilahirkan kampung lama tinggal nama

huyung-hayang meniti jambatan mencari nenek

Sayang kebun durian di tebing sungai telah mati

Sungai Lakutan kusimpul arusmu mengalir lesu.

 

Mengapa mengatap rumah mama segunung daun?

Kata mama sambil mata meredup, “Keruhai mati tertimbus”.

 

Kampung lama

Mesapol

Sipitang

2007

 

106. Cerita nenek

 

10 March 2011. 


Nenek tua

ke mana tak ada khabar

ia dicari dan dipanggil pulang

semak jalan ke sana masih itu 

hutan bamboo mengenalnya baik

Siti payung, nenek tua menggelarnya

berkirim pesan supaya pulang cepat.

Jalan melintas kampung lama masuk

Ke pepohonan cempedak, halamanmu.

pohon getah di lereng bukit rindu

dendam sentuhan pisaumu

di sini, di jalan lereng ke bukit

lurah curam, keringat nenek menitis

di sepanjang jalan pulang nenek

mengomel sendiri

pohon cempedak, rumpun bambu,

limau kapas akur pendirian nenek tua

pertukaran musim semakin menembus liang hati

sekarang kehilangan nenek mencatuk

ria hutan pepohonan getah

suara dan cunggap nafasnya dan

omelan di awal pagi kini telah tiada

kerinduan pada nenek

kekosongan dan kehilangan 

hutan halaman rumah lama.

Di suatu pagi cerah, datang

berita merayau-rayau mencari nenek

bertanya khabar dan berkirim

pesan ke rumah lama di lereng bukit

kalau ketemu, kata pegawai kebajikan

katakan kepada nenek, datang ke pejabat Daerah

kami ingin berbuat-bual dengan nenek tua.

 

Sipitang

13 April 2011

 

107.  Hidangan Kasih

 

Lama kita tak ketemu lalu bersalam

Nasi dihidang kita makan bersama

Siang berkeringat, tanahmu masih ramah

Kau menerima tamu dan memberi.

Di sini orang suka bermimpi

Kalau tidak hatinya disayat-sayat.

 

Aku terus bertanya kerana asyik

Senyum mekar bunga kemboja

Kami diulit rasa saudara.

Waktu luntur di tapak tangan

Mengapa mengadai kasih

Lalu membuat pintu meminta upah.

 

Maaf, kata orang jauh

Malam ini aku pulang

Mendengar cerita dari

lidahmu sendiri

Kita masih saudara.

Datanglah ke rumah lama

Kerana ia mengingatkan riamu

Pada pohon bambangan dan

nyanyi pohon bambu.

 

Kota Kinabalu

12 April 2011

 

118. Rumah Tua

Pohon cempedak di atas bukit

telah tumbang disambar petir

rebah menjadi batang mati.

 

Jalan-jalan pepohonan getah tua

lama tak dikunjungi penoreh

menjadi semak-belukar yang sepi.

 

Dulu duduk-duduk di serambi

melihat sekumpulan monyet

bergayutan dari pohon ke pohon.

 

Burung merak terbang menjauh

dari penggetah burung

yang masih berpendam.

 

Ketika banjir besar

memukul tebingmu runtuh

sampai ke pohon bambangan.

 

Jambatan bambu hanyut

tenggelam sampai ke lutut

biawak teman di jelapang.

 

Tanah sebidang itu ranjang tidur

yang memanggilmu sekalipun

beberapa musim telah kautinggalkan.

 

Rumah tua di pinggir paya

pohon bambu yang merimbun

masih menunggumu datang.

 

Kampung lama

Mesapol

Sipitang

25 April 2010

 

109. Aku Mengusikmu

 

Mesapol, kau tetap ramah sekalipun tak ingin bicara

mengenangmu sepanjang musim sampai ke hati tamyiz

haruskah sebak terluka kerana kasihmu ikut bermusim

biarkan tekiding silam di dinding yang dilupa-lupakan.

 

Mesapol, aku masih rindu padamu, air mengalir keruh

pelanduk sudah menjauh di kaki bukit ke dalam hutan

mundar-mandir pemburu telah lama tak melenting

jerat dipasang tak dikunjung, ditinggal-tinggalkan.

 

Mesapol, kita tak ketemu tapi masih bersaudara

sekalipun aku datang jalan sudah bertukar arah

jambatanmu pernah menemukan sepasang hati

sungai mengalir membawa cerita ke laut.

 

Mesapol, tak mungkin kau bisa dilupakan

aku pun ak akan berpura asing di tanah leluhur

pakis dan batang nibung masih tumbuh meliar

rumah lama di situ, pohon cempedak masih berbuah.

 

Mesapol, getah tua di tanah pusaka kering satu demi satu

tapak-tapak kaki dingin pagi, bau peluh dan gemerisik rumput

atau patah ranting terpijak,  jalan kecil di lereng-lereng bukit

segalanya bercerita dalam angan dan mimpi yang menjauh.

 

Mesapol, bau hutanmu merangsang rindu si burung punai

pelanduk yang mengucil telah pulang ke rimba malam tadi

sayang, kalau ada belum mendengar cerita si Keruhai

mari, aku akan bercerita supaya kau suka mendengar.

 

Kota Kinabalu

6 April 2011

 

110. Ma Pulang Kampung

Kerisik kaki nenek tua menuruni jalan bukit

langit menitis doa, tabik burung terbang melintas

wajahnya tersenyum, salam pada pohon getah,

nenek pulang kampung, sabar alam menunggu.

 

'Assalamualaikum,' kata nenek membuka pintu

air masih dalam tempayan, minyak kerosen di penjuru

nenek pulang kampung, sekarang bukan musim buah

langit malam masih mengirim mimpi.

 

Air melimpah, hujan turun sebagai kekasih

kerinduan bukit dan lambaian pohon bambu

air paya bergenang sampai ke pinggang

gelegar jambatan bambu telah hanyut

tapi nenek pulang kampung, hatinya puas.

 

Tanah sejengkal, satu musim buah berlalu

ia terpegun cengkerama orang kota

selama itu tidurnya tak pernah mekar bunga

kini nenek pulang kampung, tumis pakis ikan kering

semalam hujan, rahmat tujuh tempayan penuh.

 

Canberra

11 Jun 2011

 

111. Harapan!

 

Pernahkah kau

bernyanyi

sebuah irama tanpa

senikata

menghibur diri

di malam kelam,

derap langkah

mengusik tidur

anjing desa sepi

menepuk  bintang

dan bulan sebagai

teman bercanda.

 

Dengarkanlah

sekalipun air mengalir

telah jauh ke muara

rakit ingatan membuat

riak ke tebing kenangan

Engkau penghiburku

di malam gusar dan gundah

selamat tinggal 2010.

 

Honiara

26 December 2010

 

 

112. Nyanyi nenek

 

Nenek berpesan,

“Tak apalah,

dari dulu nenek sendiri.

Dodoi anak, tidurlah,

malam telah jauh.

Hujan telah berhenti.”

 

Balas anak,

“Mak, lihat kami sekarang,

bergelang emas dan bertanah.

Anak-anak dah besar ke universiti.

Aduh, Mak, kenapa berbaju lusuh

di majlis perkahwinan.”

 

Cucu-cucu bernyanyi korus

“Untuk mama dan ayah,

kami lengkapkan,

dijauhkan kemiskinan

dipohon derajat dan mewah.”

 

“Maaf cu, nenek makan bersepah

berbaju lusuh, jarang mandi,

berselipar getah.”

 

“Dari dulu nenek sendiri.

Dodoi anak, tidurlah,

malam telah jauh.

Hujan telah berhenti.”

 

Canberra

5 Jun 2011

 

113. Nenek

 

Bola matamu menafsir gerak dan kerdip

menghimpun cerita belum selesai

malam pun menghamparkan isi hatinya

pada malam Ramadan al Mubarak

di  malam kemerdekaan.

 

Hanya menatapmu melayani selera

Urutan tangan pada bahu dan kepala

nasihatmu mengalir dalam urat nadi

kami adalah nafas dan mimpimu.

 

Kalau bunga, kau bunga raya merah

yang tumbuh di tanah tradisi

sekalipun rumahmu tak ada perhiasan

berandamu seluas tanah di jelapang.

 

Ketika kau mencium dahiku

kubalas dakapan sepenuh purnama

pada itikaf Ramadan al Mubarak

di hari kemerdekaan

kau membisikan satu kata...

 

Kota Kinabalu/Kuala Lumpur

1 September 2010

 

 

*114. Memaknakan

 

Di kelas kami belajar sejarah seperti ma duduk bercerita

kemelut politik,  peradaban runtuh, manusia tragik

bau darah, nanah pekat meleleh, kota ranap, tanah dipagari.

Dari silam roda waktu bergerak tuntas pada batu kerikil pejal

meregut suara dan mendiamkan amarah menyembur inferno.

 

Bayang wajah-wajah kosong pun hilang jejak

tak pernah tercium bau gemilang, keagungan nasib

nafasmu berentap mengisi pundi rongga dada

kami orang kecil tinggal di kebun getah dan buah

barangkali memang tak akan mengenal udara bukit

pohon kertas di lereng rebung bambu di halaman.

 

Kami melukis langit gerimis yang membasahi tanah

air bukit mengalir dari sungai ke laut

kurnia pada rahim yang mengandung

roda waktumu bergerak mencipta sejarah sendiri.

 

Honiara

7 Oktober 2010

*Mesapol sebuah pekan tak jauh dari Sipitang, 2 km, Sabah, Malaysia.

 

115. Aid Mubarak

 

Aid mubarak

rumah kami di kampung lama

bau pohon cempedak menggurung

bukit dan jauh ke dalam hutan.

Aid Mubarak pada pohon bambangan

pada kekasihku, rumpun bambu

teman ketika sunyi, sang biawak

pada langit sabar mencurahkan air

tanah, pendengar yang dermawan,

sungai yang mengalir, jembatan bambu,

cicak, tikus, pohon kertas, burung, monyet,

pohon pinang, rambai, dan jalan ke bukit.

 

Silakan masuk,

lama tidak mendengar khabar

lama sudah tidak bercanda

hari mulia di bulan suci

masuklah, ada kelupis dan ikan goreng

ramai anak si siti kembang payung

harga getah naik, harga getah naik.

 

Nenek menyanyi sendiri,

 “Angin menderu

pohon jatuh menimpah batu

hatiku bimbang....”

Hiburan, setahun sekali

 kasih nenek pada semua.

“Sesekali-sesekali langkuas

sekali makan puas....”

“Biar sedikit makan ramai-ramai sedap

sambil ketawa, gigi ngompong nenek

yang atas tinggal sebilah.

“Pok amai-amai belang kupu-kupu....”

“Lihat, si belang ke mana saja

kau merantau baru pulang...”

 

Malam pun berunsai

ketuk kulingtangan rumah nenek meredup

dekur nafas dari wajah pewaris masa silam

menarik nafas kendur perlahan-lahan

menutup mata, tersenyum, dalam mimpi

memandang jalan pulang, sendiri!

 

Honiara

13 September 2010

 

116. Bual

 

Berkumpul warga ikan di kampung lama

ketika pohon tarap berbuah lebat.

sejak Putian dan Bantang hanyut dibawa banjir

sunyi yang memulas dan sejak itu mereka pun diam.

 

Pohon bambangan memang ada di situ

ketika orang kampung masih berpadi huma.

Sesekali air berkocak, ikan kulian, toan dan tanai

berkirim salam, tapi suara itu semakin menjauh.

 

Orang pun berumah di pinggir paya

Di situ masih ada ikan sapat, haruan,

karut, balut dan kali

Oh kali sungku, lami, kami mengenangmu.

 

Aku hanya melihatmu dalam mimpi

Putian dan Bantang telah tiada

kemudian Kulian, Toan dan Tanai

di airmu yang kering.

 

Mesapol

Sipitang

17 Mei 2010

 

117. Dodoi

 

Nyanyi ma mendodoi anak

tidurlah sayang dalam koyotan

hentikan tangismu jangan bersedih

ma nyanyikan lagu untukmu.

 

“Angin menderu pohon jatuh menimpah batu

hatiku bimbang orang jauh lagi dikenang.”

 

Kami telah mendengar

nyanyi ma mendayu dalam mimpi

mendodoiku kala hujan petang

atau menidurku sampai jauh malam.

 

Kuingat cerita-cerita ma

sambil duduk mengurut kaki

Cerita batu belah bertangkup

Karuhai  anak sayangkan ibu.

 

Dalam kamar di malam berkeringat

musim panas kami duduk berdua

kali ini aku pula yang bercerita

kutatap seperti ma menatapku.

 

“Angin menderu dahan jatuh menimpa batu

hatiku bimbang orang jauh lagi dikenang.”

 

Ku ceritakan padamu, wahai sayang

rambut ma yang hitam berkilat

matanya menyimpul kasih selautan

senyumnya merangkum benua.

 

Kini sayat usia mencuri jauh ke dinihari

langkahnya melemah menitih jembatan

kabus berendam di pinggir mata

tapi, hati ma masih seperti umbut kelapa.

 

“Angin menderu dahan jatuh menimpa batu

hatiku bimbang orang jauh lagi dikenang.”

 

Sekalipun mesapol telah berubah

tapi matahari masih ramah

kau tetap tak berubah ma

ibu yang suka mengucup dahiku.

 

Mesapol

Sipitang

10 May 2010

 

*Karuhai, cerita anak yang gagah perkasa sangat sayang pada ibunya. Suatu hari ibu menyuruh si keruhai mengatap rumah. Dia pulang membawa gumpalan daunan terlalu banyak. Ketika Karuhai membuka akar ikatan, tertimbus Keruhai, menemui ajalnya.

 

118. Hujan Angin

 

Berkali kubisikkan ke telingamu

suara hati meletus pada

ranting kering dalam berkas api.

 

Malam itu badai pun bingkas

atap rumahmu terbang dibawa angin

lalu hujan pun turun.

 

Aku menyemak kata dan langkah

kau mengingatkan aku

tentang moyangku, perkasa.

 

Kuseru nama-Mu

pada batu-batu kelikir

yang mendarahi sebuah doa.

 

Honiara

7 Jun 2010

 

119. Suara Rindu ma

 

Ketika kau berdekatan dengan ma

Kau melihat sampai gerak kesalahan kecil

Dan membualnya berulang kali berhari-hari

Pertukaran iklim cepat sekalipun berubah sedikit.

 

Kini kau telah berjauhan lautan rasamu bergolak

Kau mencari cahaya purnama di malam gelap

Tapi kau lihat kegelapan pekat tak berbintang

Guruh bagai bom yang meletup tetiba.

 

Kerinduan telah mencuat di permukaan dan

Perpisahan itu menjauhkan jarak dan kehilangan

Lalu kau memanggil ma dalam kerinduan

Kesedaran ini telah menguak pintu lama terbuka.

 

Honiara

Oktober 2011

 

120. Pohon Kasih Sayang

 

Kau tumbuh menjadi pohon kasih sayang

Tanah bukit  bumi peribumi ditinggalkan

Di situ ada sebuah rumah tua dan lama

Penghuninya datang pergi sepanjang tahun.

 

Pohon buah tumbuh dekat pohon bambu

Kalau musim tak ada  penghuninya pulang

Desa berhampiran datang memetik buah

Dan mengayau dalam kebun ini sesuka hati.

 

Yang datang mencari rebung, mengetah burung

Mengambil buah, atau turun menorah getah

Singgah di halaman Nenek atau berteduh di

Bawah pohon kasih menunggu hujan berhenti.

 

Kalau orang beradat kita pun beradat

Dalam kebun ini tak akan habis dimakan

Dan sayur seperti pakis, lembiding dan nangka

Tangan memberi baik dari tangan menerima.

 

Kota Kinabalu

September 2009

 

121. Impian Esok

 

Kita meraihi pintu ini bersama

Waktu indah pemberian samawi

Jauh kita melangkah tak terasa

Penat atau menyerah di tengah jalan.

 

Kau telah memegang tangan ini

Sepanjang  jalan ketika kau lepaskan

Aku meneruskan jalan di bawah langit

Jauh ke benua selatan dan lautan teduh.

 

Ke mana aku berpergian tali pengikat ini

Menyatukan kita walaupun terlalu jauh

Ketika pertukaran musim dan mata angin

Kita dalam kandungan samawi.

 

Kau telah mengingatkan pada kembara ini

Doa-doa disemai sejak awal itu tak akan

Pernah sia-sia malah dalam istiqamah ia

 terus berkembang dalam sabar dan tawakal.

 

Sydney

April 2008

 

122. Doa-doa Ma

 

Doa-doamu telah mengalir jauh sampai ke cakerawala, ma

Tak dapat kubayangkan kau bersujud dan telah terangkat

Sampai ke bintang-bintang gemerlapan, berteduh di purnama

Kesabaranmu tak ada sempadan, lafaz doamu senantiasa tulus.

 

Ma, kau asyik dalam berdoa dan tak pernah berhenti

Ketika sujud, bisik suaramu seperti kau berada di langit baru

Melafazkannya dalam bahasa ibunda dengan tertib dan yakin

Kesungguhan ma berdoa memberikan harapan dari langit.

 

Kini telah lahir keturunan baru di tanah peribumi ini

Mewarisi dan meneruskan tradisimu berdoa tulus

Dan berzikirullah amanat hidup tak akan pernah

Menyerah dan ketahanan dari kekayaan rohanimu.

 

Perjuangan ini kau serahkan kepada anak-anak turunan

Purnama yang mencintaimu dan talian yang kuat ini

Kukuh menjadi butir-butir bintang pada orbit baru

Jayanya kami kerana doa-doa ma yang tak pernah berhenti.

 

Kuala Lumpur

March 2014

 

123. Melangkah

 

Kita melangkah sambil melakukan ishla

Masa silam telah kau tinggalkan jauh

Kerinduan tak akan mengendurkanmu

Dari meraih kemajuan rohani tiap langkah.

Doa-doa itu terkumpul menjadi kekuatan menolong

Istiqamah dan ketakutan dalam dirimu yang didambakan

Pengorbanan yang abadi berlangitkan kebenaran nyata

Segala kepalsuan itu adalah kegelapan yang merugi.

 

Dari mula sampai akhir, dari perjuangan ma, kita lanjutkan

Tiap gelombang yang kita harung perlahan-lahan membawa

Ke pelabuhan damai  yang abadi, kita melangkah bersama

Tawakal dan tanpa-Mu  perjuangan ini tak ada erti samasekali.

 

Kau telah mendidik aku dalam berdoa dan menjadi insan

Dan aku mendidik anak-anak hari ini buat persiapan esok

Kemenangan kau capai dengan Qurub Illahi dan Zikirullah

Istighfar akan meluaskan jalan lurus ke pintu-Nya.

 

Nilai

April 2014

 

124. Ikatan

 

Persaudaraan itu bila-bila musim

Ketika gerhana kau berikan cahaya

Menghalau kegelapan menebal

Yang menjadi tembok pemisah.

 

Ikatan persaudaraan rohani  berjuang

Membina jalan-jalan kebaikan dan

Tak akan meninggalkanmu ketika kau

Masih berjuang meraih tebing tinggi.

 

Kalah bangun adalah pengorbanan

Dan setiap langkah ujian atasmu

Ketika kalbumu tercabar kau pohon

Dari kekuatan menolong  dan rahmat-Nya.

 

Persaudaraan ini bukan dari niat merangkul

Dunia dan merebut kekuasaan singgahsana

Jelas ia adalah persaudaraan rohani  yang

Mendahulukan perintah samawi dari dunia.

 

Nilai

Mei 2014

 

125. Makan Malam

 

Kalau rumah di desa makan malam setelah maghrib

Ma telah menyiapkan makanan, makan kampong

Pakis, lembiding, anak rebung, buah cempedak, betik

Kalau tak bersantan, makan berulam dan rebus.

 

Tak ada sambal belacan, kicap pun boleh dan ikan masin

Lain hari makan ikan tin, sotong tin, telur dan ikan bilis

Makan tumpeh waktu pagi, lain hari makan jemput-jemput

Teh sedikit gula, kopi  itu pilihan, ma kurang minum kopi.

 

Waktu makan kami makan diam dan bersyukur rezeki hari itu

Masa sarapan ada nasi goreng, ada bawang dan udang kering

Bulan tua, musim hujan makan apa saja mengenyangkan perut

biar nasi dan kicap, nasi tak putus cukup sepanjang bulan.

 

Tanah leluhur ini tanah yang luas cukup berkebun dan

cucu berkunjung ke rumah lama raya dan cuti sekolah

Di sini sejarah kami, hidup sederhana dan berkongsi bersama

Merindukan ma dan nenek telah menjadi mimpi awal kami.

 

Kota Kinabalu

Ogos 2014

 

126. Hulur Tangan

 

Aku selalu bertanya pada diri

Apakah aku telah menyahut panggilan

Samawi memberikan yang terbaik

Padamu, ma. Kalau tidak, aku malu.

 

Usiamu  ikut bersama senja

Kasih sayangmu tetap dan makin bagus

Ketuaanmu tak menghalang kau terus

Memberikan inspirasi selama hayat.

 

Urat tanganmu makin jelas, kulit wajahmu

Makin berkedut, semangatmu masih hebat dan

Bertahan. Kau mencintai anak-anak turunanmu

Tak membiarkan waktu berlalu tanpa isian kasih.

 

Makin lama doamu makin panjang, ma

Sujudmu  makin lama dan isyakmu makin terang

Kaulah, ma, yang kami cinta dan kasih

mewariskan pada keturunanmu nikmat berdoa.

 

Kuala Lumpur

November 2014

 

*127. Tafsir Mimpi

 

Kau tak akan pernah percaya

Aku bilang selama ini aku tak pernah

Bermimpi. Semua orang yang mendengar

ketawa dan berkata ada yang tak betul.

 

Aku tak pernah cemburu kerana kau bermimpi

Paling tidak seminggu sekali kau akan bermimpi

Tapi jangan heran tidurku gundah dan terbangun

Di tengah malam buta di tempat tidur.

 

Ketika terbangun waktu pagi aku telah lupa

Kisah semalam, lalu memulai hariku seperti biasa

Malam tiba aku tidur seperti orang lain

tak mengharapkan malam ini aku akan bermimpi.

 

Sebelum subuh aku terbangun hairan

Apa telah terjadi datang seperti ombak

aku telah bermimpi sekali dalam hidup

Cuma aku tak tau menafsirkan mimpimu.

 

128. Malam Panas

 

Malam ini seluruh tubuh ini merasakan

Bahang panas di negeri Khatulistiwa

Aku cari hawa dingin dari malam purnama

Atau di lembah pergunungan sebelum fajar.

 

Bisik kasih yang kau lafazkan dan pegang

Pada dahan harapan berpijak pada bumi iman

Kebenaran itu adalah siang benderang 

Mententeramkan jiwamu sampai kiamat.

 

Kata-kata mengalir seperti anak sungai

Yang mencari sungaimu yang lebih besar

Menjadi satu kekuatan ketika mengalir lalu

menjadi air terjun yang dingin dan indah.

 

Hawamu langit  telah menyejukkan kalbu

Dan seluruh tubuhmu mendambakan air samawi

Membebaskanmu dari malam-malam panas

Tapi kesabaran dan tawakal adalah ketahananmu.

 

Sandakan

November 2013

 

129. Kuburan

 

Mengenangkanmu kembali ke masa silam

Keupayaan dan langkahmu kecil ketika itu

Tiap yang hidup menemukan garis terakhir

Yang silam telah berlaku sekarang pasti berlalu.

 

Ma kasih pada ibunya walaupun sangat sedikit

Tapi menjadi kenangan sampai akhir hidup

Ditanya tentang ma, ibu, nenekmu seorang baik

melahirkan dua anak,  jatuh sakit dan meninggal.

 

Ketika itu ma masih 12 tahun selain berkabung

Langit telah mengirimkan isyarat meninggalkan

Tanah leluhurmu ke seberang laut Pulau Labuan

Kuburan ibu ma bernisan kayu merata dengan tanah.

 

Kota Kinabalu

 Julai 2000

 

130. Langit Maghrib

 

Tabir langit maghrib telah turun perlahan

Doa kelangsungan hidup pada-Mu demi

Kekuatan menolong dan kesabaran tak

Pernah dikalahkan, kasih pada ma.

 

Kata-kata keterlanjuran dan kekasaran

Datang seperti badai dibawa angin kemudian

Redah sendiri laut tenang di bawah langit siang

Selalu mengharapkan terbaik pada seorang ma.

 

Aku telah kembali padamu dari kembara jauh

Jarak waktu yang panjang  ini satu ujian terus

Waktu indah ini adalah anugerah Allah Taala

Di dalam doa kita melakukan yang terbaik.

 

Ketika aku berjanji tentang dunia di pundak

Dan waktu tiba tak menjadi sempurna kerana

Aku telah memilih samawi dan ketika datang

Padamu, hanya musafir melangkah garis terakhir.

 

Sandakan

Oktober 2013

 

131. Sujud Berdoa

 

Ma, kau makin asyik berdoa tiap solat

Langit makin dekat dan tersentuh lembut

Bisik-bisik dalam berdoa terang dan jelas

Kau melihat alam maya penuh pengertian.

 

Dunia telah lama kau tinggalkan bagai bayang-bayang

Kau telah memilih jalan ini ke pintu syafaat Muhammad

Perhatianmu hanya satu perjuangan bertemu Kekasih

Inilah jalan kemenangan, tak ada jalan pintas, menghadap-Mu.

 

Ma, kau merenungkan hidup ia sebatang pohon kayu

Di rimba jati tentu tinggi dan mempunyai daun-daun

Merimbun dan tunjangnya menjunam kuat di dalam tanah

Ketika melihatnya, tiap hati tenteram anugerah Tuhan.

 

Kota Kinabalu

Januari 2014

 

132. Sarapan Pagi

 

Tiap pagi selepas fajar kau telah sibuk

Ikut suara hatimu menikmati  langit siang

Kedatangan siang menawan telah memberi

Kekuatan anugerah dari samawi  sehari lagi.

 

Ma, kau tak selalu mengomel hari yang datang

Dan pergi membawa rahmat Illahi  dan kau

Terus menyatakan kesyukuran tambahan waktu

Kau berdoa dan bercakap dengan Tuhan Rahman.

 

Di pojok dapur ma berfikir sajian makan pagi

Kegembiraan ma, keluarga makan semeja

Kenyang  dan lapar biar dihadapi bersama

Berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

 

Derita-derita masa silam telah berlalu

Anak-anak telah dewasa mengurus hidup sendiri

Pada ma, mendirikan solat itu mesti dikerjakan

Tak akan ada kejayaan duniawi tanpa doa mengalir.

 

Sandakan

Disember 2013

 

133. Ingatan ma

 

Kampung lama telah bertukar wajah

Dulu kampung kedayan orang berpadi bukit

Menoreh getah di musim panas ketika banjir

Air melempah sampai kaki bukit, tebing runtuh.

 

Ramai penduduk asal telah berpindah ke pekan dan kota

Orang baru berkahwin tempatan duduk di kampung lama

Hutan getah di bukit telah ditumbang getah baru ditanam

Jauh ke dalam hutan ramai mulai berkebun di tanah sewa.

 

Mesapol masih kampung-kampung orang Kedayan

Ada yang merantau pulang  ke tanah leluhur tapi

Yang asli pergi tak pulang-pulang  ke desa halaman

Pelatnya berubah kampung kedayan hingga Sipitang .

 

Rimba dan hutanmu telah terbongkar orang baru datang

Rusa dan pelanduk telah mulai menghilang di hutan sendiri

Suara rimba mulai mengendur dan terbang menjauh

Tanah leluhur Kampung Kedayan berubah samasekali.

 

Mesapol

March 2014

 

134. Usia

Kalau usia nenek seperti pokok getah

Kau berkata lebih dari  pokok getah walaupun

Sekarang tak bisa mengeluarkan getah

Kerat-kerat di kulitnya telah terlampau banyak.

 

Ketika pokok getah siap masanya ditumbang

penduduk di sini telah setuju tanam getah baru

Susunya nanti banyak,  pendapatan akan tambah

Kehidupan pasti berubah selangkah lagi ke depan.

 

Tapi kalau dibiarkan pokok getah tua tumbang sendiri

 Tanahnya ditanam kelapa sawit, hasil lumayan

Sekarang orang tak mempedulikan pokok getah tua

Disambar petir atau mati sendiri menjadi batang buruk.

 

Soalnya nenek bukan pohon getah tua yang tak berharga

Ia adalah segala-galanya lambang dan warisan hidup

rencah-rencah kehidupan nenek dapat diturunkan waris

penerus anak keturunan di bawah langit dan bumi baru.

 

Mesapol

Oktober 2013

 

135. Semangat Nenek

 

Cucuku, kau telah mengenal nenekmu

Usiamu baru anak rebung yang tumbuh

Hubungan kasih yang telah tersimpul erat

Satu sama lain dalam titis waktu mendambakan.

 

Cucuku, kau telah mempelajari bahasa ibunda

Kata-kata beradat, bersulam tradisi dan ugama

Dalam kalbumu membentuk keperibadianmu

Kau meniru pengucapan dan perasaan nenek.

 

Kau telah pandai memanggil nenek turun sarapan

Ketika nenek dan cucu berbual dalam bahasa rasa

Aku dapat melihat cahaya pada kedua pasang mata

Hubungan erat seperti kapal dan laut belayar tenang.

 

Nenek berdoa hari-hari mendatang dan keselamatanmu

Hari semalam dan hari ini berjalan bergandingan

Membawa cerita-ceritanya sendiri saling kait-mengait

Pengalaman kasih dan cinta nenek dan cucu menjadi pulau.

 

Nilai

Disember 2015

 

136. Makan Berulam

 

Selera makan ma masih hebat

Makan Berulam, nasi berlauk ikan tin

Kalau ada ikan bilis dan udang kering

Kesukaan ma dicampur dengan sayur tumis.

 

Kami makan bersama semeja dan

nasi tambah berkuah sayur labu rebus

Telur dadar, keropok ikan, ayam goreng

Tukar sajian setiap pagi dan makan sekahrli.

 

Setelah maghrib kami berhenti makan

Minum ringan sebelum tidur, dikurangkan makan

Begitulah tiap hari kami di rumah, makan seadanya

Walaupun selera makan masih bagus pada ma.

 

Nilai

Mei 2014

 

137. Perjuangan Ma

 

Halaman perjuangan hidupnya telah

Menjadi teladan hidup yang gah dan berani

Perjuangan dan pengorbanan ma tak berhenti

Sampai akhir hayat menjadi pengucapan yang dikenang.

 

Perjuangan Ma adalah perjuangan kita bersama

Memberimu pakaian, atap tinggal dan pergi ke sekolah

Kejayaanmu di sini membuka pintu yang lain dan

Kau mengambil peluang seperti ini tak akan berulang.

Pandangan hidup ma telah menjadi kutipan

Tiap yang terbaik dari penghidupan ma akan

Tinggal dalam dirimu  dan ia tak akan pernah

Selamanya menjadi langit biru dan lautan damai.

 

Ma hidup dalam doa nenek, dan kau hidup dalam doa ma

Doa nenek dan ma akan hidup dalam kelangsungan hidup

Tazkirah nenek dan ma telah menyerap ke dalam kalbu

Doa mereka telah menjadi perlindungan kekal abadi.

 

Kuala Lumpur

Ogos 2015

 

138. Kebahagiaan

 

Tiada kebahagiaan tanpa kerja keras dan doa 

terus-menerus dari takabur dan sombong

Kesabaran dan rendah hati membawamu pada

Kemenangan batin yang tak terkalahkan.

 

Katamu kebahagiaan itu yang dekat dalam dirimu

Ketika kau berkelana ke hujung  dan keliling dunia

Memburu dunia tak pernah berakhir sampai kiamat

kau tak ingin berhenti seperti mengejar mata angin.

 

Kebahagiaan rohanimu hanya ikut jalan lurus

Sekalipun ia tetap cuba menghadang kau supaya

Kau kalah dalam kehidupan ini dan berundur

Dan berputus asa pada sikap dan tindakanmu.

 

Jiwa yang tenteram ketika kau kembali pada Allah

Kebahagiaan bukan pada lahiriah sedangkan batin

Menderita sampai ke gunung api dan tak ada jalan pulang

Tapi kebahagiaan hakiki jiwa yang pasrah pada samawi.

 

Kuala Lumpur

Mei 2012

 

139. Melangkah Malam

 

Malam telah terhampar luas

Aku telah melangkah masuk

Kau berdiri membuka pintu

Matamu bintang gemerlapan.

 

Selama ini kau nahkoda

Penumpangmu adalah dirimu

Pelayaran tanpa gelombang

Dan ribut bukan kembaramu.

 

Di tengah laut kau menafsirkan

Rahsia langit terbuka luas misteri

dan pertanyaanmu terjawab sendiri

pada malam ada kekuatan abadi.

 

Kau telah membaca peralihan malam

Bergerak menuju ke pelabuhan damai

Aku memandangmu dalam takaran waktu

Menafsirkan arah perjalanan malammu.

 

Honiara

April 2009

 

140. Kenangan

 

Matahari senja turun tenang dan perlahan

Tanpa disedari hari telah menjelang maghrib

Alam bertukar wajahnya dengan terbuka

Atas kesedaran ini kau bersiap tanpa membantah.

 

Kenangan silam kau lipat dengan baik

Lalu  menyimpannya dalam almari kalbumu

Kekadang ia mencuat ke permukaan menyedut

nafas atau kau terpanggil menyatakan rindu.

 

Kenangan itu telah tersusun kemas dan rapi

Ia tak akan tersentuh terkubur selamanya

Dan kepulangan ini membawamu kenangan

Amanat yang disampaikan pada yang tinggal.

 

Honiara

September 2010

 

141. Pakis

 

Nenek baru pulang  dari memetik pakis

Dari hutan dekat kebun getah tanah leluhur

Sayur Pakis tak pernah habis asal ada selera makan

Masak tumis seperti menumis kangkong.

 

Makan sayur kampung tak pernah jemu

Mancing ikan di sungai Lakutan atau di-

Pinggir kali memang selalu berikan air tawar

Asal ada usaha pasti tak lapar di tanah sendiri.

 

Hujan turun tanah bukit basah sampai seminggu

Adakalanya petir dan kilat sabung menyambung

Sungai Lakutan mengalir penuh sampai melimpah

Dulu memang payah ke Mesapol di musim banjir.

 

Wajah Mesapol kini banyak berubah

Resah penduduk ikut mengalir  jauh ke laut

Musim pakis dari kaki bukit sampai puncak

Matahari bersahabat dengan langit Mesapol.

 

Mesapol

September 1214

 

142. Panggilan Dari Rantau

Dulu memang kerap berkirim surat

Zaman bertukar cepat dan pantas

Dari surat menyurat lalu panggilan

Telefon rumah ke telefon bimbit.

 

Musim dingin di selatan, panas di Mesapol

Lama tidak menulis dan bertanya khabar

Berapa Ramadan telah datang dan berlalu

Rindu ma di perantauan, jauh ma di rumah lama.

 

Siang itu kupanggil ma di rumah lama

Tak berlestrik dan bertali air, menunggu hujan

Telefon bimbit masih berdering panjang

Tapi seminggu sekali ma turun ke pekan.

 

Kalau tidak di rumah lama ma jual buah

Atau ke Sandakan menjenguk dik perempuan

Sakitkah ma kerana lama tak jawab telefon

Aku berdoa satu purnama, anakmu akan pulang.

 

Canberra

Februari 2008

 

143. Buah Bambangan

 

Pokok Bambangan itu masih di situ

Dekat halaman rumah lama yang ditinggalkan

Ia berdiri seperti pegawal yang menjaga tuannya

Kesetiaannya tak diragukan kau dapat melihat sendiri.

 

Rumah beratap zink itu bertahan sekalipun

Penghuninya tiada khabarnya entah di mana

Tapi Pokok Bambangan masih tegak berdiri

Ketika  ribut petir, pokok cempedak yang tumbang.

 

Pernah penceroboh datang suatu siang ingin

Menumbang pokok Bambangan di halaman

Tapi pencereoboh itu membatalkan niatnya

Pokok Bambangan terselamat dari rencana jahat.

 

Rindu Pokok Bambangan akan nenek tua di rumah lama

Selalu nenek mengelus-ngelus batang Pohon Bambangan

“Kau berbuah lebat, nenek ingin pertama merasakannya.”

Tahun ini Pokok Bambangan berbuah lebat, nenek belum datang.

 

Sandakan

Julai 2011

 

144. Nasihat Ayah

 

Ketika aku dengar berita, senja mulai berkepak

kapal yang bertarung gelombang semalam

telah tiba di pelabuhan dan melabuh sauh

kini nahkoda bisa menghirup udara puas.

 

Bukan kembara kalau kisahmu hanya bulan purnama

kerana ketika langkah pertama kau telah melihat

isyarat pada langit dan perubahan bumimu

tak akan menghalangmu menyempurnakan impianmu.

 

Doa seorang ayah sampai ke pintu akhir zaman

dalam kalbumu hidup kalimat tauhid dan kecintaanmu

Muhammad, Rasulullah, wujud agung dan suci

mengalir dalam darahmu, kedamaian yang hakiki.

 

Aku mengingatimu dalam doa-doa anak

kata dan kalimat yang tulus dan rendah hati

kelembutan pada wajah dan pembawaan diri

tanpa rahmat-Mu, gerak dan tindak tak ada kelazatan.

 

Canberra

April 2013

 

145. Rahmat turun

 

Solat di rumah nenek pengalaman indah

Biar rumah lama dan kecil  masuk waktu

Turun mengambil wuduk waktu solat fajar

Dengan air hujan sedikit dan berhati-hati.

 

Azan berkumandang menembusi dinding papan

Masing-masing sibuk membuat persiapan diri

Pagi buta yang penuh berkat berdiri saf kecil

Nenek lebih duluan siap menunggu makmun.

 

Imam mengangkat takbir dan meletakkan kedua tangan

Di atas pusat penuh  perhatian di atas sejadah

Aku membacanya perlahan dan tenang, berdiri, ruku

Dan sadjah sampai ke salam terakhir lalu sedikit daras.

 

Menunggu tabir siang tersingkat dan nenek sibuk

Mengulit tepung dan mengoreng cempedak dan kopi hitam

Memandang  halaman, rumpun bambu, nyanyi burung pagi

Dan kilas cahaya matahari lembut masuk dari jendela.

 

Kemeriahan langit Mesapol menerima kunjungan tamu

Ma menginginkan tiap pertemuan satu kenangan istimewa

Rumah lama jalan turun ke bukit kehadiran anak dan cucu

Ini anugerah rahmat Allah turun dan tak pernah berhenti.

 

Mesapol

Julai 2010

 

146. Cucu Datang

 

Tahun itu cucumu datang  dari benua selatan

Ia turun dari angkasa dengan kawan-kawannya

Lama ia mendengar tentang tanah bukit rumah lama

sebagai anak muda masih ada waktu menjenguk nenek.

 

Mereka menukar rumah lama menjadi tenda bermalam

Tanah bukit dan sungai kecil  dan sebilah parang cukup

Menggeledah hutan halaman rumah menjadi kubu lanun

Terjun ke dalam sungai seperti  berkelah di  pantai pasir OZ .

 

Tanah kebun ini suara-suara mereka melaung seperti

Tarzan walaupun musim cempedak  telah di hujung musim

Rumah lama tak berkamar, malam itu tiga pemuda terlayah lelah

Sepanjang hari nenek memberikan segala yang ada padanya.

 

Kunjungan kilat ini meninggalkan kenangan pada nenek

tanah kebun tak pernah menerima tamu dari Southern Cross

malam itu langit Mesapol mengirimkan sekilas cahaya dan

nenek menyambut perpisahan ini hadiah istimewa dari langit.

 

Canberra

November 2009

 

147. Doa Terkabul

 

Jauh di Selatan Kepulauan Pasifik

Rindumu pada langit tanah leluhur

Datang ketika kau dalam kesunyian

Mencakar-cakar dalam impianmu.

 

Ketenangan kalbumu  ketika berdoa

Kau lafazkan kata-kata yang tersusun

Tulus dari suara rindu datang dari kalbu

Suatu masa kau akan datang bertemu ma.

 

Gelombang waktu telah merubah

Wajah lautan  dalam sekelip mata

Kepulanganmu diperhitungkan

Walaupun perubahan pada bumimu cepat.

 

Doamu telah sempurna tepat musim bunga

Kepulangan anak dari rantau menggenapkan

Mimpi-mimpi yang terhimpun selama ini

Menjadi pertemuan anak-anak sungai di muara.

 

Canberra

Ogos 2009

 

148. Hidup, Hidup

 

Langkahmu terus dan tak berhenti

Ketika berada di atas puncak kau

Memandang laut luas dan langit

Denyut nafasmu tenang merelakan.

 

Berada di puncak kau tak memikirkan

Segalanya telah berakhir di sini

Kembara ini terus dan tak akan berhenti

Tiap perhentian kelangsungan hidup.

 

Pada wajahmu memang ada perubahaan

Alam sekitarmu pun ikut berubah

Perlahan dan cepat itu masih perjuangan

Dan tiap perjuangan ada pengorbanan.

 

Tiap penggal kau tinggalkan di belakang

dari cerita sendiri dan zamannya

Kau hanya melakukan ikut keupayaan

Selain itu tawakal pada Tuhan Rahman.

 

Canberra

Julai 2012

 

149. Kasih Abadi

 

Kerinduan ini telah terbabat

Pada samawi menghulurkan tangannya

Bumi yang pasrah pada kasih sayang

Dan kau menyerapkan semua ini dalam doa.

 

Ketika usiamu melangkah naik ke tangga langit

Keyakinanmu bertambah pasti dan tumpuan

Makin pasti berpijak pada landasan yang kuat

Ini jalan yang tak keliru dan benar bertemu-Mu.

 

Kebenaran itu  adalah keyakinan dan pengertian

Yang tak keliru dan semua kepalsuan telah tertutup

Jalan batil membawa langkahmu pada kegelapan

Dan kau tak akan menyerah dan berpatah balik.

 

Kasih sayang abadi yang terpencar dari kalbu

Yang tulus dan menerima maut lalu memulai

Kehidupan baru sekalipun berat  mata melihat

Tiada yang abadi hanya kembali kepada Rabb-Mu.

 

Kuala Lumpur

March 2014

 

150. Hari Wanita Buat Ma

 

Aku telah kembali padamu suatu malam bulan purnama penuh

kembara ini tak merubah langit junjunganmu bumi berpijak

barangkali yang berubah pohon di halaman kehilangan daun

kerat-kerat di wajahmu, telah menunjukkan jati dirimu, ma.

 

Di lautan rindu dan bumi terasing aku terus memanggilmu

ketika aku bergelut pada gelombang dan jerebu kemarau

padamu, aku mencari kekuatan dan ketahanan diri, ma

aku tak pernah mengalah pada segala musim bertarung.

 

Kau telah menunggu kepulangan ini di negeri pergunungan

malam-malam gerhana dan gempa di kalbumu telah berlalu

mimpi-mimpi buruk seperti komet yang hanggus di cakerawala

gema suaramu ma, kelangsungan hidup dan kebenaran samawi.

 

Dalam doa-doa tawajuh di Malam Tajalli aku mengenangkanmu

denyut nafasmu ada kelembutan dan rendah diri seorang wanita

kau mengajarku melangkah di tanah peribumi di bawah langit baru

berjihad nafsi dan dalam aksaramu tak ada derhaka dan kekerasan.

 

Bernyanyilah Cenderawasih, tiap lidah mengucap kejuitaanmu

lagumu Zikirullah menurunkan hujan samawi  di tanah gersang

menyempurnakan harapan dan purnama di langit kalbumu, ma

zalim dan penderaan terhadap wanita, musuhmu yang dikalahkan.


*Tersiar di Utusan Borneo 13 March 2016

 16 April 2019, 10:57 pm

End/….

 

Comments